Thursday, August 11, 2011

Leader di masa depan

Beberapa kali kita dapati satuan-satuan pendidikan mencanangkan bahwa tujuan mereka mengelola satuannya adalah untuk mencetak para pemimpin di masa depan.

Saya agak merenungkan hal ini bbrp waktu belakangan ini. Ada banyak kita dapati di dalam teori (penelitian mendalam yang berbuah pada teori-teori) tentang definisi atau tanda kepemimpinan. Umumnya terkait kepada satu hal, yaitu "pengaruh", lebih lanjut pengaruh tadi berbuah pada "pengorganisasian". Tindakan seseorang yang memiliki pengaruh kepada orang lain menjadi tanda hadirnya suatu kepemimpinan. Yang memberi pengaruh itu disebut pemimpin.
Bila teori ini disosialisasikan, tentulah pengertian "Leader di masa depan" menjadi lebih terarah.
Tetapi bila pengertian Leader tidak utuh, saya merasa ada bahaya besar yang mengancam.

Perjalanan hidup yang saya lalui membuat saya ada dalam beberapa kesimpulan. Pertama, tidak semua orang "berbakat pemimpin". Kedua, tidak semua orang "mau menjadi pemimpin". Pemimpin yang saya maksud di sini sudah jelas pemimpin dalam pengertian yang diambil dari sejumlah teori kepemimpinan yang ada, seperti yang disampaikan di atas.

Ada banyak sekali saya temui, orang yang memang tidak berbakat menjadi pemimpin. Kepada orang-orang seperti ini berbagai motivasipun dicoba untuk dimasukkan, dia tetap tidak bermetamorfosa menjadi pemimpin. Dulu saya menyimpulkan bahwa orang-orang seperti ini betul-betul tidak bisa diharapkan. Atau ada kesalahan organisasi dalam menanamkan kepemimpinan atas orang-orang tipe ini. Tetapi setelah saya dalami benar-benar, tampaknya ada suatu perangkat awal (sangat bisa jadi sejak dari lahirnya) yang dibawa orang-orang seperti ini, yang membuat dia memang tidak berubah menjadi pemimpin. Dalam hal ini saya kesimpulan saya tersambung kepada pernyataan yang pernah saya dengar: Tidak semua orang memang diciptakan Tuhan menjadi pemimpin. Kalau semua orang menjadi pemimpin, siapa yang menjadi anak buah?
Jadi, sebenarnya alangkah baiknya juga untuk memperlakukan orang-orang seperti ini dengan mencoba melihat apa sebenarnya yang menjadi perangkat awal yang dibawanya. Jangan-jangan justru kita bisa menemukan hal luar biasa pada dirinya yang sudah memang dibawanya sejak lahir. Bila dikaitkan dengan jabatan, ada orang yang luar biasa justru sebagai wakil pemimpin. Ada pula saya temui orang yang selalu menjadi kepercayaan dalam mengelola ke dalam (organisasi). Kemudian ada pula yang sangat hebat, teliti, sangat intuitif, kreatif dan setia dalam mengelola keuangan. Ada lagi yang begitu hebatnya bila diberikan tugas-tugas yang sifatnya mobile, begitu tidak kerasannya dia duduk di belakang meja. Dan lain sebagainya.

Yang berikutnya, saya juga menemui orang yang karena pertimbangan dalam dirinya dia merasa sangat tertarik/tertantang akan keingintahuan/penguasaan atas suatu hal. Dia memang tidak mau menjadi pemimpin. Orang-orang seperti ini merasa bahwa bila dia menjadi pemimpin maka dia akan terjebak pada hal-hal yang umum (general) dan tidak dalam, sedangkan dia justru lebih tertarik pada suatu hal yang sifatnya spesifik. Bila arahnya kepada suatu keprigelan, orang-orang seperti ini lebih ingin menuangkan hidupnya kepada hal yang spesifik tersebut. Misalnya seseorang yang ingin betul-betul menyelami bidang geodesi suatu pembangunan fisik. Biarpun semua orang berbicara tentang maraknya tantangan pembangunan secara umum, dia lebih senang hanya menyelami bidang geodesinya suatu pembangunan. Ada juga yang cuma ingin menghitung struktur, ada yang hanya menyelami pelistrikan, dan lain sebagainya. Banyak sekali (walau tidak semua) kita temui orang-orang tipe ini memilih jalan hidup sebagai peneliti, atau pengamat, atau pemusik/seniman untuk instrumen/seni tertentu saja. Dia tidak mau menjadi pemimpin karena dia tidak mau dicampuri urusannya dan dia pula tidak mau mencampuri urusan orang lain.
Bila arahnya pada tekanan tertentu dalam kehidupan, ada orang yang sengaja cuma ingin di posisi yang dia bisa mendapat uang sebanyak-banyaknya misalnya. Jadi dia pertahankan posisi itu sedapat mungkin asal dia dapat uang sebanyak dia bisa. Ada orang yang memilih posisi di organisasi sebagai orang yang berhubungan kepada lapisan masyarakat tertentu saja, karena itu kepuasan yang dikejarnya. Bila dia menjadi pemimpin maka dia merasa tidak akan berhubungan lagi secara intens dengan lapisan tersebut.
Banyak saya temui bahwa orang-orang yang memang tidak mau menjadi pemimpin ini, bila dijadikan pemimpin akan membuat dia menderita dalam batinnya.

Jadi, dari dua hal di atas semogalah kita tidak salah dalam mengartikan tentang definisi Pemimpin. Pemimpin tidak boleh diartikan hanya sekedar sebagai suatu posisi. Menjabat suatu posisi dengan kepemimpinan yang baik, itulah yang diharapkan. Tapi banyak kita lihat orang berada dalam posisi "Pemimpin", tetapi tidak memimpin dengan baik.

Bila para satuan pendidikan mengartikan Pemimpin secara benar maka bila ada lulusannya yang ternyata tidak dalam posisi pemimpin dalam suatu organisasi, bukan berarti satuan pendidikan tersebut telah gagal.
Setiap orang yang tidak berada di dalam posisi pemimpin dalam suatu organisasi, bukanlah orang yang gagal sebagai pemimpin. Dimanapun dia berada, selama dia bisa memberi pengaruh dan ada suatu pengorganisasian bergerak karena dia ada, dia adalah pemimpin. Apakah itu di rumah-tangga, di lingkungan, di antara teman, dan sebagainya.

Memimpin untuk hal yang baik adalah suatu tugas mulia. Berada di posisi pemimpin adalah suatu tanggung-jawab (berarti dia harus memimpin dengan baik). Tetapi kemenangan, adalah suatu kerjasama baik, yang palu kemenangannya justru dipukulkan oleh para anak-buah.

Oleh karena itu saya ingin mengatakan, "Leading Well" adalah baik dan sangat perlu, tetapi "Led Well"lah yang membuat organisasi menang.

Tuesday, February 15, 2011

Apakah ada Raja Batak? Sisingamangaraja Raja Batak?

Satu pertanyaan menarik, apakah Raja Batak pernah ada? Apakah Sisingamangaraja itu benar Raja Batak?

Ada banyak orang Batak yang asal menjawab, tidak ada. Yang betul, semua orang Batak adalah raja.
Jawaban ini pastilah salah satunya didasarkan pada adat umum orang Batak bahwa semua yang termaktub dalam sebuah "Dalihan na tolu", disebut raja. Karena banyaknya raja dalam Dalihan na tolu dan semua menjadi raja dalam pelaksanaan Dalihan na tolu, maka banyaklah saudara-saudara sesuku Batak langsung dengan cepat mengatakan semua orang Batak adalah raja. Bisa juga segala jawaban ini muncul karena saudara tadi memang tidak tahu bahwa sejarah kerajaan-kerajaan (asli) di tanah Batak. Atau dia sebenarnya tahu di tanah Batak benar ada raja, hanya karena dia juga tahu dia bukan keturunan raja (karena banyak orang Batak dulu dijadikan budak/belian oleh penjajah, maka dia ingin mengorbankan (menyama-nasibkan) semua orang Batak dengan mengatakan semua orang Batak adalah raja.

Dalihan na tolu (Tungku yang bertumpu tiga) adalah falsafah adat orang Batak. Dikatakan demikian karena sebuah tungku akan menjadi stabil bila bertumpu pada tiga batu. 2 pasti tidak stabil, apalagi satu. Itulah maksud orang Batak dengan falsafah tersebut. Orang Batak meyakini bahwa bila hidup orang Batak didasarkan pada Tungku yang berlandas tiga itu, akan terjadi kesempurnaan hidup.

3 landasan itu adalah:

1. Pihak Hula-hula (mereka yang memberikan boru/anak perempuan/saudara perempuan mereka menjadi istri kita). Mereka ini disebut Raja ni Hula-hula.
2. Pihak Dongan Tubu/Dongan Sabutuha (kita semua yang marganya sama, yang sedang mengadakan acara). Kitalah yang disebut Raja ni Dongan Tubu/Dongan Sabutuha.
3. Pihak Boru (semua mereka yang berbagai marga, tetapi mengambil anak/saudara perempuan kita menjadi istri mereka). Merekalah yang disebut Raja ni Boru.

Secara penghormatan, Hula-hula lebih tinggi dari Dongan Tubu. Dongan Tubu lebih tinggi dari Boru. Tapi karena pesta bisa terjadi di manapun, maka setiap orang akan pernah menjadi Hula-hula, pernah menjadi Dongan Tubu dan pernah pula menjadi Boru. Bahkan dalam konstelasi yang semakin kompleks posisi yang ada di dalam sebuah pesta akan menjadi terbalik di pesta di tempat lain.

Dalihan na tolu inilah yang diyakini orang Batak sebagai simbol keseimbangan hidup orang Batak, bahkan simbol demokrasi orang Batak. Sehingga orang Batak sering merasa tidak perlu merasa terlalu rendah setiap saat dengan orang lain karena dalam konstelasi berbeda posisi dalam adat dapat pula berbalik-balik.

Banyaknya penyebutan raja di orang Batak ditambah lagi dengan Undangan lain yang tidak terkait keluarga dengan kita disebut Raja ni Ale-ale (teman-teman) atau Raja ni Dongan Sahuta (teman sepertinggalan/tetangga).
Demikianlah banyaknya penyebutan raja dalam pesta orang Batak.

Tapi yang banyak orang Batak tidak tahu, itu semua (penyebutan raja sesuai Dalihan na tolu) adalah hanya ketika dilaksanakannya pesta/acara adat.

Dalam tulisan ini saya ingin menyampaikan hal yang penting, yaitu orang Batak sebenarnya memiliki Raja, seperti pengertian Raja yang dimiliki orang/suku/bangsa lain.

Memang seorang raja yang wilayah kekuasaannya adalah seluruh tanah Batak yang kita kenal sekarang, sepengetahuan saya belum ada. Tetapi raja-raja yang wilayah kekuasaannya tidak terlalu besar jelas pernah ada di tanah Batak.
Sisingamangaraja ke XII (bermarga Sinambela) adalah benar-benar seorang raja. Hanya kekuasaannya memang tidak mencakup seluruh wilayah tanah Batak. Dia adalah raja dari satu bagian wilayah di tanah Batak. Kerajaannya ada di daerah Bakara (ber-ibukota di Bakara). Kerajaannya disebut Kerajaan Bakara.
Dia jelas memiliki wilayah kekuasaan, walaupun tidak mencakup seluruh tanah Batak. Dia memiliki gedung kerajaan (sebagian sisanya kalau tidak salah masih ada). Dia memiliki singgasana. Dia memiliki tanda-tanda kerajaan seperti mahkota, pedang pusaka, tombak pusaka dan lain sebagainya. Diapun adalah seorang yang sakti. Dia tidak mempan ditembak. Pantangan atas kesaktiannya adalah bersinggungan dengan darah.

Semua benda pusaka itu adalah bukti otentik bahwa dia adalah seorang raja yang mewarisi kerajaan tersebut dari leluhurnya sejak Sisingamangaraja I.
Dia memiliki penjaga keamanan dan pasukan tempur. Jadi jelas dia seorang raja. Yang memberontak kepada Belanda adalah Sisingamangaraja yang ke XII. Namanya adalah Patuan Bosar. Gelarnya Sisingamangaraja ke XII. Karena kepahlawanannya itulah dia menjadi Pahlawan Nasional dari tanah Batak. Gelar tersebut didapatkannya bukan karena dia menguasai seluruh tanah Batak, tetapi karena dia adalah seorang yang gagah berani mengangkat senjata melawan bangsa penjajah yang selama ratusan tahun telah menjajah sebuah wilayah besar yang kelak disebut NKRI. Semangat kemerdekaan nasional NKRI inilah yang melayakkan dia disebut pahlawan nasional. Seperti Pangeran Diponegoro, Sultan Agung, Sultan Hassanuddin dan yang lain juga bukanlah pemimpin yang menguasai daerah yang terlalu besar juga, tapi karena mereka memiliki semangat seluruh bangsa yang tertabur di daerah yang kelak menamakan diri NKRI untuk merdeka, mereka disebut pahlawan nasional.
Jadi tidak boleh diragukan lagi, bahwa Sisingamangaraja ke XII adalah sungguh-sungguh seorang raja dan dia adalah pahlawan nasional kita.
Sedikit catatan, sebagai raja, Sisingamangaraja adalah juga seorang pemimpin dari kepercayaan kuno orang Batak yang disebut Parmalim. Jadi diapun sering disebut Raja ni Parmalim.

Kakek saya dari pihak ibu adalah juga seorang yang sungguh-sungguh disebut raja. Memang diapun tidak menguasai seluruh Batak, tapi jelas dia seorang raja. Kekuasaannya ada di sekitar Tarutung/Pansurnapitu. Dia bermarga Panggabean. Namanya (maaf kepada semua Tulang saya, saya menyebut nama Ompung itu) Marhusa Panggabean. Gelarnya adalah Patuan Natoras Panggabean.
Wilayahnya sekitar Pansurnapitu. Sisa-sisa kerajaannya masih ada. Bukti otentik bahwa dia betul dulu seorang raja juga masih ada di Pansurnapitu. Pasukannya ada. Benda-benda pusakanya masih ada. Sebelum dia memeluk agama Kristen, diapun dulu adalah seorang yang sakti. Bila dikeluarkannya kesaktiannya, badannya bisa menjadi sekeras batu/besi. Berkali-kali dia ditembak, dijatuhkan ke jurang yang dalam, disiksa dengan ratusan ayunan popor senapan oleh Jepang (kelak di kemudian hari), secara mengherankan dia tidak mati,

Ompung saya ini dulu bersahabat dengan Sisingamangaraja XII (penuturan beberapa sumber), walaupun mereka agak berbeda umur. Dari beberapa rekonstruksi cerita dan sumber tertulis, Ompung saya ini saya duga dulu pernah berkenalan dengan Patuan Bosar (kelak disebut Sisingamangaraja XII) dan seorang raja muda Aceh (kelak akan bertarung bahu membahu dengan gagah berani bersama Sisingamangaraja XII melawan Belanda) ketika mereka sama-sama menimba ilmu ke Malaka.

Agak berbeda dengan Sisingamangaraja ke XII yang non kooperatif dengan Belanda, Patuan Natoras Panggabean menempuh gaya perlawanan kooperatif. Belanda melikuidasi semua raja yang ada di tanah Batak, tetapi keluarga kerajaan mendapatkan hak untuk tidak diangkut menjadi budak (termasuk ibu saya). Wilayah kerajaan oleh Belanda disebut hanya sebuah "negeri". Maka Ompung saya menjadi seorang "Kepala Negeri".
Memang kelak ada banyak orang diangkat oleh Penjajah menjadi kepala negeri (sekarang kira-kira Bupati), tetapi tidak semua kepala negeri itu tadinya seorang raja. Mereka (kepala negeri yang lain itu) berbeda dengan Patuan Natoras Panggabean.
Demikian baiknya hubungan Belanda dengan Patuan Natoras Panggabean, tetapi Belanda tidak tahu bahwa Patuan Natoras Panggabeanlah yang menjadi pemimpin gerilya daerah itu melawan Belanda.

Anak laki-laki tertua dari Patuan Natoras Panggabean ini dididik dan dibentuknya menjadi seorang pejuang yang sangat tangguh dan sangat pemberani. Ditempanya untuk merebut kemerdekaan dari tangan penjajah Belanda. Walaupun sang ayah sepintas terlihat "berbaik-baik" dengan Belanda tapi sesungguhnya puteranya hidup di hutan belantara dan gunung serta lembah menjadi pejuang gerilya yang luar biasa hebatnya.
Kelak anaknya inilah yang menjadi Menteri Pertahanan dan Keamanan/Panglima Tentara Nasional Indonesia/Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.
Itulah orang Batak yang pernah pangkatnya paling tinggi dalam sejarah negeri ini. Belum pernah ada orang Batak lain yang berpangkat setinggi Beliau dan sebegitu dipercayanya oleh pemimpinnya (waktu itu Presiden/Jendral Soeharto).

Dialah Jendral Maraden Saur Halomoan Panggabean (maaf saya menyebut nama Tulang saya ini). Dialah Tulang (Paman) kandung saya yang tertua.
Meskipun secara hirarkis di atas dia masih ada Wakil Presiden, tetapi sesungguhnya waktu itu kekuasaan kedua atas negeri ini ada di tangan Jendral M. Panggabean. Itulah mandat rahasia Soeharto kepada Beliau waktu itu (menurut penuturan Beliau kepada saya pribadi).

Saya bersyukur kepada Tuhan karena diberi kesempatan mengenal beliau secara pribadi. Dengan rendah hatinya pernah dimintanya saya (waktu itu saya masih mahasiswa) untuk suatu periode memoles dia menjadi lebih ulung dalam bermain catur, karena dia tahu saya mencintai dan cukup menguasai teori bermain catur. Saya sangat mengetahui tingkat intelektualitas Paman saya itu, kehebatan dan juga pengabdiannya. Kalau ada orang yang melecehkan dia, mereka pastilah orang yang iri/sakit hati dan punya dendam pribadi, pembohong besar dan tidak tahu secara pribadi siapa sebenarnya Beliau. Dia pasti provokator yang membuat rekaan tanpa intelektualitas mendasar.
Salah satu yang Paman pernah katakan pada saya dulu: Bere (Keponakan), orang tidak pernah tahu bagaimana kami (dia dan seluruh jajaran koordinasinya) bertarung habis-habisan menyatukan ABRI, sampai sedemikian kompaknya dan mencantumkan di setiap kantor strukturalnya di seluruh Indonesia, kata-kata: Markas Besar Tentara Nasional Indonesia, dan seterusnya, baru menuliskan kekhasan/sesuai Angkatan dan Kepolisian kantor tersebut, di bawah tulisan itu.
Semua anggota TNI yang tahu, pasti tidak lupa akan jasa besar Jendral M. Panggabean yang menyatukan ABRI kembali dengan baiknya pada waktu itu.
Saya sangat bangga akan Tulang saya ini.

*Sedikit catatan:
Bukan maksud saya mengatakan orang Batak lain tidak hebat. Amir Syarifuddin Harahap pernah menjadi PM tetapi waktu itu situasi Indonesia masih sangat belum stabil dan berbentuk. Lagipula Beliau sama sekali tidak punya kekuatan di TRI/TNI. Dia hanya agak sepikiran dengan Jendral/Panglima perjuangan kemerdekaan kita yang hebat, Soedirman. Letjen TB Simatupang seorang pemikir hebat (pencipta Sapta Marga), tapi hanya sampai di Kastaf TNI (kalau tidak salah), runtuh dimakan pertikaian politik. Kolonel Zulkifli Lubis seorang tentara tulen (perintis cikal bakal Kopassus) tapi sayang juga tersingkirkan dalam persaingan tidak sehat dalam TNI. Jendral AH Nasution ahli perang yang hebat (pelaku dan penulis teori-teori gerilya), tetapi tidak mendapat mandat penuh/dicurigai oleh Presiden Soekarno sehingga jabatannya hanyalah Kastaf ABRI (Menko Kasab/Panglima Koti). Nasutionpun rasanya tidaklah terlalu berhasil menjadi seorang pemimpin tentara. Orang Batak lain yang bukan tentara juga hebat-hebat di bidang masing-masing. Ada pencipta lagu perjuangan, wartawan, ahli hukum, ahli bahasa, sejarawan, teknokrat, ekonom, pemain catur, hamba Tuhan, enterpreneur dan lain sebagainya. Saya mengagumi mereka semua.

Tapi perlu sekali untuk selalu diingat bahwa di tangan Jendral M. Panggabeanlah negara kita yang baru porak poranda dilanda revolusi, ditangani dan dikonsolidasikan dengan sangat baik sehingga keamanan dan ketertiban waktu itu boleh dikatakan sangatlah baiknya. Semua dilakukan oleh Jendral M. Panggabean dengan tanpa banyak bicara (karena sejak mudanya dia lebih mengutamakan tindakan/perbuatan, yaitu bergerilya naik turun gunung dalam kesenyapan, muncul dan hilang tiba-tiba tanpa diketahui orang). Beliau tidak suka bicara ke wartawan. Tidak mencari citra diri. Dia hanya mengabdi dengan setia kepada bangsa dan negara (bukan kepada Soeharto, karena di hari tuanya Beliau meminta mengundurkan diri dari pengabdian kepada negara, walaupun Soeharto tetap masih terus meminta dia untuk mendampingi sang pemimpin Orba itu). Sebelum mundur, sempat Paman saya ini mengingatkan Soeharto akan beberapa hal yang kelihatannya sudah mulai melenceng (menurut penuturan Beliau kepada saya secara pribadi jauh sebelum kejatuhan Orde Baru). Salah satu yang sering dikatakannya kepada saya: kelihatannya kebijakan nasional sudah semakin terfokus pada ekonomi saja, padahal perkara lain seperti keamanan dan ketertiban, sensitivitas nasional, pemerataan pendapatan, dsbnya tetap sama pentingnya.
Sejak saat itu Paman saya sudah tidak ikut lagi dalam pemutusan kebijakan nasional. Sering dia mengeluh dalam pertemuan keluarga, mengapa semakin banyak keputusan nasional menjadi tidak strategis lagi. Sedih sekali, memang akhirnya Orde Baru jatuh tahun 1998.

Buku memoirnya diberinya judul "Berjuang dan Mengabdi." Persis seperti kepribadiannya yang rendah hati, tapi pemberani (benar-benar berani mati). Persis seperti sifat mulia dari kebanyakan orang Batak, setia. Persis seperti Maha Patih Gajah Mada di era Majapahit yang besar itu.

Sementara itu dalam kilas balik, di Pansurnapitu/Tarutung dan sekitarnya, sudah sejak lama dikenal orang seorang jendral. Siapa dia?
Secara resmi memang anak laki-laki tertuanya yang berpangkat Jendral TNI/ABRI, tetapi sesungguhnya Patuan Natoras Panggabean itulah yang mereka sebut Jendral Pemberontak. Sampai sekarang di Pansurnapitu selalu tinggal kenangan akan seorang pejuang pemberani yang sakti mandraguna yang memimpin perlawanan bawah tanah melawan penjajah (meskipun penjajah tidak tahu). Dialah Jendral Pemberontak, Patuan Natoras Panggabean, raja yang tulen dari Pansurnapitu.

Sayapun sangat bersyukur kepada Tuhan sempat mengenal Ompung (Kakek) saya yang dulu seorang raja ini. Sejak kecil saya disayang Beliau (seperti juga dia menyayangi semua cucunya). Dia sungguh batu karang terjal yang tidak terkuasai. Walaupun dia sangat jago berdiplomasi (fasih berbahasa Belanda), tapi dia sangat anti dengan hati yang lemah. Dia selalu berkata bahwa memang Indonesia pernah dijajah Belanda, tapi orang Indonesia tidak boleh kalah dengan orang Belanda. Kita harus selalu cerdik, katanya. Saya tidak pernah lupa tangannya yang mengusap (tapi tetap menjaga jarak berdirinya dengan saya) kepala saya ketika sedih, lingkaran tangannya di bahu saya ketika memutuskan harus menghadapi sebuah perjuangan, kerasnya intonasi bicaranya untuk menyimpan air mata saya. Saya mengenang Beliau yang selalu mencari, mengunjungi, manasehati, membawa berjalan-jalan, memberi contoh kepada semua cucunya.

Kalau kita lihat "kelas"nya mereka-mereka yang sekarang diangkat sebagai pahlawan nasional saat-saat ini, baik Patuan Natoras Panggabean maupun Jendral M. Panggabean sudah sangat patut diangkat menjadi pahlawan nasional RI. Sudah harus ada di ibu kota Jakarta sebuah jalan besar bernama Jalan Jendral M. Panggabean.

Demikianlah saya postkan tulisan ini, untuk menyampaikan, baik kepada saudara-saudara non Batak, maupun bahkan kepada saudara-saudara asli Batak, bahwa di tanah Batak memang pernah ada raja, walaupun wilayahnya tidak sebesar tanah Batak atau lebih besar lagi. Bukan sekedar raja-rajaan, seperti yang suka dijawab dengan cepat oleh banyak saudara saya orang Batak, yang mungkin belum terlalu tahu bahwa di tanah Batak memang pernah ada raja-raja.

Walaupun tidak seukuran, bayangkanlah bahwa di tanah Jawapun ada raja Yogya, tapi bukan raja seluruh Jawa Tengah. Ada raja Solo. Di Jawa Barat ada raja Banten, ada raja Cirebon, ada raja Pasundan, dsb.

Di tanah Batakpun ada raja-raja.

Jong Bataks Bond, siapa?

Dalam sejarah, di mana Sumpah Pemuda diikrarkan tahun 1928, dikatakan ada satu perkumpulan yang ikut bernama Jong Bataks Bond (semoga saya tidak salah menuliskannya).
Ada banyak bond yang lain seperti Jong Sumatera, Jong Sulawesi, Jong Java, Jong Ambon dan sebagainya yang ikut menelorkan Soempah Pemoeda.

Satu pertanyaan yang menggelitik disampaikan Prof. Dr. Irzan Tanjung kepada saya, siapa saja itu yang ikut dalam Jong Bataks Bond? Pada tahun 1928 orang Batak yang ikut itu pastilah orang-orang yang hebat mengingat pusat kemajuan saat itu sebenarnya adanya di Jawa.

Telaah saya dari beberapa sumber menghasilkan bahwa pemimpin Jong Bataks Bond itu adalah Amir Syarifuddin Harahap yang hebat itu. Selanjutnya ada pula saya dapati kedua bersaudara Sanusi Pane dan Armijn Pane. Hanya itu yang baru saya dapat.

Sangat menarik bila ada sumber tertulis yang menyatakan siapa saja mereka orang Batak yang lain yang ikut dalam delegasi tersebut. Silakan saudara-saudara yang memiliki sumbernya memberikan informasinya agar kita rekonstruksikan sejarah yang hebat ini.

Tapi ada satu lagi pertanyaan menggelitik. Mengapa sudah ada Jong Sumatera tapi masih ada lagi Jong Bataks Bond?
Kalau ini saya mendapatkan sumber tertulis jawabannya. Memang Jong Sumatera sudah duluan ada. Tetapi dalam perkembangannya Jong Sumatera didominasi oleh saudara-saudara dari salah satu suku saja yang ada di Sumatera. Melihat gelagat tidak sehat inilah Amir Syarifuddin Harahap dkk tidak mau bergabung lagi dengan Jong Sumatera dan mendirikan terpisah, Jong Bataks Bond.

Orang Batak terkaya di dunia bermarga Tanjung.

Membicarakan record diri sendiri memang sebenarnya tidak begitu enak. Tapi ketika dalam suatu pesta kawin siang ini (ada seorang marga Tanjung menikah dengan boru Mangunsong di Ruma Gorga II/Pondok Bambu), kami berbicara dengan beberapa teman bermarga Tanjung. Ada terungkap dalam bincang-bincang tersebut bahwa sering sekali kami marga Tanjung dianggap "kecil" oleh marga-marga Batak yang lain. Yah anggapan yang mengecilkan kami tentu saja tidak perlu terlalu kami tanggapi dengan panas hati. Tokh kami sadar bahwa yang terpenting sebenarnya bukanlah kuantitas, tetapi kualitas kita.
Alangkah leganya hati kami dalam bincang-bincang tadi, ternyata terungkap beberapa hal yang cukuplah untuk membanggakan kami yang sering dianggap kecil ini.

1. Dalam suatu pesta adat (biasanya adat Toba), memang umumnya jumlah kami tidak terlalu besar. Tapi itu sangat bisa dimaklumi, karena biasanya yang menjalankan adat seperti itu umumnya adalah orang-orang Batak yang beragama Kristen. Memang kami marga Tanjung (putera dari Si Raja Borbor), yang beragama Kristen hanya sekitar 2% dari seluruh marga Tanjung.
98% an saudara-saudara kami beragama Islam (dahulu kebanyakan marga Tanjung meninggalkan tanah leluhur kami di Haunatas-Habinsaran-Parsoburan pindah ke selatan, walaupun ada juga yang ke utara, seperti leluhur saya ke Tarutung).
Jadi sesungguhnya bila tidak memandang agama, kami datang bersama, sangat boleh jadi marga-marga yang mengecilkan kami itu tidak ada artinya dalam hal jumlah, dibandingkan dengan kami marga Tanjung.

2. Dari Forbes terbaru (on line) dapat kita lihat bahwa hanya ada 1 orang Batak dalam list 40 orang Indonesia terkaya. Dia adalah Chaerul Tanjung (pemilik Bank Mega, Trans TV, Trans 7, Bandung Supermall, dsb.). Urutan ke 18, dg kekayaan 1.25 Billion USD. Berarti orang Batak terkaya di dunia adalah bermarga Tanjung.
Dalam daftar itu ada yang bernama Martua Sitorus, tapi dia bukanlah seorang yang asli Batak. (Maaf Pak Martua Sitorus, tulisan saya sama sekali tidak bermaksud merendahkan anda).

3. Dalam sejarah RI, hanya ada 1 marga yang pernah ada sekaligus 2 puteranya berpangkat setara menteri duduk di dalam satu kabinet. Dan itu adalah marga Tanjung. Itu terjadi dalam salah satu kabinet pembangunan yang lalu. Kedua orang itu adalah Akbar Tanjung dan Jendral Feisal Tanjung.
Marga-marga yang menganggap kami kecil, paling pernah menaruh puteranya satu orang dalam sebuah kabinet RI. Malah marga-marga yang suka vocal menghina kami itu barangkali belum pernah puteranya ada dalam kabinet RI.

Tulisan ini saya postkan bukan untuk mengangkat kesombongan, tapi hendaklah kita orang Batak kompak dan tidak perlu meninggi-ninggikan diri, apalagi merendahkan marga lain, juga saudara-saudara kita orang Indonesia yang lain.

Friday, January 28, 2011

Paradigma Korupsi

Kok bisa ya di negeri ini terbentuk pola pikir (mungkin sistem hukumnya begitu) bahwa yang namanya korupsi paradigmanya "Pemberi - Penerima". Sehingga seolah-olah si Pemberi itu yang inisiator dan lebih salah.

Padahal kenyataan di lapangan kita semua tahu yang ada adalah pola "Peminta - Pemberi". Pemberi itu kan terpaksa memberi, agar urusannya beres (tugas si pengemban otoritas dilaksanakan).

Peminta (peminta-minta) itu sebenarnya yang inisiator, atau setidaknya dipermaklumkan bahwa hendaklah semua orang tahu bahwa si pemikul tanggung-jawab pekerjaan (pemegang otoritas) harus disuap dulu.
Atau semua harus tahu bahwa kelak bila tugasnya dilaksanakan si pemegang otoritas itu harus diberi imbalan atas jasanya membereskan tugasnya. Padahal ketika dia hendak mulai mengemban tugasnya dia telah bersumpah jabatan, akan melaksanakan tugasnya (sesuai ketentuan/undang-undang), tanpa disuap dulu. Berarti itu memang tugasnya, dan dia digaji untuk itu.
Jadi kalau dia meminta lagi, berarti dia meminta uang lain lagi. Maka terang dia yang salah, melanggar sumpahnya. Kan dia yang justru paling salah. Paling harus dihukum.

Ada yg bilang di negara lain si Peminta itu yang dihukum mati. Bukan si Pemberi. Kalau itu dilakukan apa ada lagi yang berani meminta? Si Pemberi mau memberi kepada siapa kalau yang menerima tidak ada yang berani lagi?

Wednesday, November 24, 2010

Proses pelahiran seorang tokoh/pemimpin

Di tengah hiruk pikuk abnormalnya negara, entah mengapa pikiran saya terarah kepada proses pelahiran seorang tokoh/pemimpin.

Saat ini rakyat sedang menyaksikan suatu perjalanan panjang terpilihnya pemimpin KPK karena Antasari Anshar (pemimpin KPK sebelumnya) tervonis secara hukum. Kandidat terpilih ada dua orang. Secara hati kita cukup terharu (seperti biasanya bagaimana seorang tokoh akan terpilih di negara ini, karena kita sebagai rakyat selalu merindukan sosok yang kita harapkan mampu menjadi pemimpin kita), bahwa rasanya kredibilitas siapapun yang akan terpilih ini kelihatannya cukup menjanjikan.

Akan tetapi betapa sedihnya saya barusan, ketika melihat suatu tayangan dari salah satu stasiun TV yang menampilkan salah satu dari kandidat yang diadu dengan seorang lawyer kawakan. Acara ini sendiri dipandu oleh salah satu penyiar kawakan dari stasiun TV tersebut.
Penyiar mencoba membangun suatu kontoversi yang membuat salah satu kandidat pemimpin KPK pada posisi berseberangan dengan lawyer kawakan tersebut. Semua dimulai dari titik berangkat bahwa sesungguhnya pekerjaan sehari-hari keduanya sebenarnya adalah lawyer.
Saya sebetulnya selama ini termasuk seorang yang sangat tidak suka dengan gaya bicara, lagak dan opini-opini si lawyer kawakan, walaupun dia kebetulan satu suku dengan saya. Lawyer kawakan ini selalu membuat saya merasa terganggu selama ini dengan segala tutur sikap, bicara dan gayanya.

Di awal perseberangan sepertinya terlihat bahwa kandidat ketua KPK itu memukul telak si lawyer karena gayanya yang santun dan elegan.
Akan tetapi si calon ketua KPK mulai memukul si lawyer dengan kata-kata yang menurut saya kasar (walaupun dengan gaya yang kelihatannya sopan) bahwa si lawyer sedang menjalankan "stategi neraka", dan si calket KPK (secara konsekuensi pembicaraan berada pada strategi sorga). Di sinilah terlihat belangnya si calket KPK itu. Menurut saya dia tidak perlu mencaci (maaf sekali lagi, walaupun dengan gaya sok santun dengan suara mendayu sesuai kekhasannya). Menurut saya buat apa dia harus memukul orang lain dan menepuk dada seolah dia orang paling baik di dunia ini.

Si lawyer kontroversial itu tentu saja bereaksi dengan gaya khasnya yang tengil tetapi sangat intelektual dan sangat membuktikan bahwa dia seorang yang sangat profesional. Semua yang dinyatakan oleh si calket KPK dimentahkan oleh si lawyer dengan baik sekali. Konstelasi pencacian terhadap dirinya justru dibalikkan oleh si lawyer menjadi suatu ajang untuk mengejek kemunafikan si calket KPK. Saya sungguh terbelalak melihat hal ini. Meskipun si lawyer orang yang selama tidak saya sukai, justru pada malam ini saya jelas berpihak pada si lawyer. Bukan karena unsur primordialisme (tokh dari dulu saya tidak pernah suka pada si lawyer), tapi semata karena logikalah keberpihakan saya tertuju pada si lawyer.

Merasa sudah tersudut, si calket KPK mulai lagi dengan pembelaan yang sangat fals mencoba menyatakan dirinya pada sudut moral dan menyebut si lawyer terkenal pada sisi/pemikiran profesional (yang katanya sangat antagonis dan tidak bisa dengan mudah diperbandingkan). Tentulah di sini si calket KPK secara obyektif sudah kalah karena mereka sebenarnya mereka seprofesi, tapi gelar profesional sudah diberikannya pada lawan yang dicercanya dalam pembicaraan). Lalu makin munafiklah saya lihat ketertelanjangan si calket KPK itu. Jelaslah dia sudah main subyektivitas dengan mengelakkan konstelasi (buktinya dia kerutkan posisi menjadi moral vs profesionalisme, berarti dia sudah mengaku kalah secara profesi bahwa di antara kedua lawyer ini si lawyer kawakanlah yang disebutnya pada posisi profesional). Kalau dalam tinju sebenarnya dia sendiri yang sudah melempar handuk, tapi berlagak masih mau main.
Sebagai dalih untuk tidak mau kalah (karena munafik dan sifat ngeyel rupanya ciri khasnya), dikatakannya dia berada pada sisi moral. Mata yang tajam sebenarnya tentu melihat bahwa dia sudah menarik pembicaraan pada sentimen yang ada padanya. Dia merasa sistem sentimen yang dimilikinya yang lebih hebat (dari si lawyer). Kekecewaan saya makin mantap ketika saya lihat si penyiarpun sepertinya sudah lebih pula berpihak pada si calket KPK yang munafik itu. Lucu sekali segera terlihat bahwa si penyiar memberi pertanyaan atau tanggapan otomatis (terlihat dari cara bicara, gaya tubuh dan gaya matanya) yang lebih memihak pada si munafik. Mengapa? Sistem sentimen!
Sistem sentimen si penyiar lebih mirip dengan sistem sentimen si munafik.

Untunglah si lawyer kawakan pandai menempatkan dirinya dan terus mengepung dengan profesionalismenya. Sehingga ketika si penyiar menutup acaranya dia seolah juga ikut kalah.

Itulah titik penting olah pikir saya tentang terlahirnya seorang pemimpin di negara ini. Saya memakai kata pelahiran dan bukan kelahiran, karena istilah pelahiran menurut saya lebih menyiratkan peran dominan pihak lain dalam proses terlahirnya sesuatu. Baru saya sadar betapa kacaunya negeri ini. Para pemimpin yang lahir dari suatu seleksi yang mulanya selalu kita pikir bagus atau demokratislah atau sesuai undang-undanglah dsb, padahal sesungguhnya semu dan penuh rekayasa. Pantaslah lahir pemimpin-pemimpin semu. Pemilihan ketua KPK baru juga saya sadari sebenarnya tidak jauh dari pelahiran yang penuh rekayasa juga. Apalagi sebabnya kalau bukan sentimen-sentimen yang itu-itu juga.

Di Amerika, Eropa Barat yang maju, Jepang dan sebagainya selalu pelahiran seorang tokoh/pemimpin ditandai dengan upaya untuk meminimasi rekayasa. Dieliminirlah politik uang (walaupun tentu tidak 100% hilang, tapi sangat penuh konsekuensi untuk kasus yang jelas sudah telanjang), dieliminirlah unsur sentimen pribadi (lihatlah Obama yang kulit hitam bisa menjadi presiden AS), dsb.
Pelahiran lebih mengutamakan evaluasi atas program yang akan dijalankan. Bukan dengan melihat pada titik mana seorang calon berdiri yang sarat dengan aroma sistem sentimen. Kalau yang terakhir ini dipakai, maka orang akan fanatik dengan calon mana yang sistem sentimennya sama, jadi tidak obyektif lagi.
Di negara yang disebut demokratis, terbukti bahwa seseorang bisa memilih calon yang berbeda sistem sentimennya dengan dia karena terlihat bahwa program calon tersebut lebih masuk di akalnya dan jelas lebih berpihak kepadanya.

Jelaslah di halaman kita selama ini lahir pemimpin-pemimpin semu. Jelaslah penyebab hiruk pikuk semua keadaan dengan segala keabnormalannya. Kasihan negeri ini!

Monday, August 16, 2010

Rapat-rapat dimulai pukul 10.00

Setiap tahun peringatan detik-detik Proklamasi di istana dilaksanakan mulai pukul 10 pagi. Kalau tidak salah karena memang pada tahun 1945 yang lalu itu Proklamasi kemerdekaan negara RI dilaksanakan pukul 10 pagi di Jl. Pegangsaan Timur (sekarang Jl. Proklamasi) No.56.

Kalau saya membaca dokumen-dokumen sejarah, saya juga mendapati bahwa rapat-rapat PPKI/BPUPKI sebelum kemerdekaan itu dimulai kebanyakan pukul 10 pagi.

Entah apa persisnya sebabnya, pada masa-masa sekarang ini sayapun mendapati bahwa rapat-rapat di banyak sekali kantor, terutama kantor pemerintahan dimulai pukul 10 pagi.

Menurut hemat saya kita perlu untuk memperbaiki ini.

Nomor satu, rapat pukul 10 bisa membuat waktu pagi sebelum pukul/jam 10 pagi menjadi terbuang sia-sia. Untuk kantor yang mulai dibuka jam 8 pagi (umumnya kantor di Indonesia), para pegawai yang akan rapat jam 10, pikirannya sudah lebih terfokus pada rapat yang akan diadakan pukul 10. Untuk mengerjakan sesuatu sebelum jam 10 rasanya tanggung. Kalau memang ada yang dikerjakan sebelum pukul 10 maka pekerjaan tersebut dilakukan tergesa-gesa karena sebentar lagi rapat akan dimulai. Terlebih-lebih mereka yang punya hirarki cukup tinggi, mudah sekali untuk terjebak mencepat-cepatkan urusan dengan alasan sebentar lagi akan rapat. Keadaan menjadi tidak baik bila pekerjaan pra jam 10 ternyata belum/selesai jam 10, maka besar sekali kemungkinan akan terlambat datang ke rapat jam 10 yang telah diskedulkan.
Untuk tenangnya menjelang rapat, banyak sekali pegawai saya temui hanya killing time dengan aktivitas apa saja yang tidak produktif.

Nomor dua, rapat jam 10 adalah sangat riskan menyentuh jam 12 siang. Ini berarti harus disiapkan makan siang bila sudah menjelang jam 12. Dana rapat akan membengkak (anti penghematan), dan beberapa pegawai bawahan bisa terganggun mengerjakan tugasnya kalau diminta membantu mempersiapkan makan siang rapat.
Keadaan menjadi makin rumit bila rapat diadakan hari Jumat, karena jam 11.30an banyak yang harus bersiap akan menjalankan sembahyang Jumat. Betapa makin tidak efisiennya lagi rapat hari Jumat bila banyak peserta rapat terlambat datang ketika jam 10 rapat akan dimulai.

Rapat-rapat yang diteruskan setelah makan siang sering juga saya lihat menjadi rapat yang tidak bersemangat lagi karena orang yang kenyang (baru makan) mulai mengantuk. Penyakit orang Indonesia adalah tidak bisa menahan kantuk dan agak tidak perduli untuk tidur di dalam rapat.

Rapat jam 10 juga menyebabkan sejumlah orang (terutama hirarki tinggi) bahkan dari rumah sengaja melambatkan berangkat ke kantor atau pergi dulu kemana-mana, baru langsung menuju ke tempat rapat jam 10. Syukur kalau tidak terlambat. Syukur pula kalau tidak sesudah rapat pergi lagi keluar kantor entah kemana.

Rapat jam 10 juga secara psikologis membuat bawahan cenderung datang terlambat. Dalam pikiran mereka tokh baru mendekati jam 10 nanti bosnya baru datang.

Saya mengusulkan rapat dimulai sesuai dimulainya jam kantor. Jam 8 untuk kantor yang mulai jam 8, atau jam 9 untuk kantor yang mulai jam 9. Tidak usahlah kita bahas kantor yang mulai jam 10.

Memang untuk rapat yang peserta rapatnya multi kantor agak bisa diterima bila rapat dimulai jam 10 pagi, dengan alasan datang sebentar ke kantor sendiri dulu baru jam 10 di kantor lain tempat rapat diadakan. Tetapi bila dikaji masak-masak, sebenarnya langsung juga mulai jam 8 rapat di kantor lain tidak masalah. Itu cuma pengaturan yang baik. Urusan kantor sendiri bisa saja digeser ke jam sesudah rapat selesai.

Pengalaman saya ketika menjadi pimpinan di pekerjaan profesional (masa-masa sebelum saya memutuskan bekerja sebagai dosen), saya selalu mengatur rapat di waktu pagi (kalau tidak ada yang terlalu memaksa, dimulai jam 8).
Alangkah enaknya rapat di waktu pagi. Pikiran masih jernih, fisik masih prima, batin masih enteng.

Saya sangat mencela pengambil keputusan yang senang membuat rapat jam 2 atau 3 sore. Rapat jam 3 cenderung diikuti banyak peserta yang terlambat karena berbagai urgensi pekerjaan yang telah dimulai dan harus diakhiri sebelum rapat. Biasanya sudah tidak terlalu semangat lagi meneruskan pekerjaan sesudah rapat, apalagi rapat panjang sampai jam 5, 6 sore atau lebih malam.

Sepengamatan saya kebanyakan mereka yang memutuskan rapat jam 3 adalah orang-orang yang kurang bisa memanage/mengelola waktu. Walaupun tidak semua, tetapi saya amati kebanyakan mereka adalah orang yang cenderung datang terlambat ke kantor. Mereka juga adalah tipe orang yang senang mengisi waktu pagi yang cerah dengan banyak telepon, canda ceria, urusan pribadi, menunda sejumlah pekerjaan kemarin sore untuk diteruskan pagi keesokan harinya dan lain sebagainya. Saat-saat sekarang ini banyak yang harus buka facebook dulu di waktu pagi (dulu e-mail). Inipun saya lihat memang ada yang berhubungan dengan pekerjaan, tetapi sulit juga mereka menghindar dari bercanda di antara secuil hal yang katakanlah agak penting. Kalau dicermati benar-benar dan mereka mau jujur, saya amati sebenarnya banyak sekali kegiatan mereka di waktu pagi sebenarnya sangat tidak efektif.

Saya sering berpikir, bukankah lebih baik kita mulai rapat di pagi hari di mana kita masih segar secara fisik maupun pikiran? Bukankah setelah itu pekerjaan rutin kita akan kita kerjakan dengan tanpa hambatan? Lagipula sudah saya nikmati benar ketika saya memimpin beberapa kegiatan, semua orang menjadi sangat jelas akan apa yang akan dilaksanakan ketika semua sudah dibicarakan dengan matang di dalam rapat pagi hari. Bila rapat diadakan sore hari yang terjadi adalah kebalikannya, orang jadi meraba-raba apakah yang dilakukannya sudah benar.

Rapat yang dilakukan sore hari juga menjadi hal yang kurang konstruktif bila sebelum rapat kita sempat pada hari itu telah melewati sebuah silang pendapat, debat, cela, ketersinggungan dan lain sebagainya, terutama dengan rekan kita.

Bagaimana, maukah kita mengelola waktu bekerja kita lebih baik?