Sunday, March 8, 2009

Memanaskan mobil

Dalam sejarah hidup telah ada beberapa mobil yang pernah saya miliki. Kebanyakan mobil tersebut dibeli dalam keadaan baru. Kebanyakan pula akhirnya dijual untuk membeli mobil yang baru lagi. Hal yang menarik saya perhatikan adalah mobil-mobil yang pernah saya miliki itu selalu terjual dengan kondisi mobil yang sangat baik.

Sering sekali saya perhatikan bahwa mobil-mobil teman, keluarga dan lain sebagainya terasa sangat tidak baik kondisinya ketika dipakai. Kalau kebetulan saya mengendarai mobil orang lain sering sekali terasa sangat tidak enak mengendarainya. Ada yang persnellingnya sudah begitu kendor sehingga posisi netralnya begitu fleksibel walau hanya digerakkan sedikit. Ada yang terasa begitu bergetar selama dijalankan dan lain sebagainya.
Hal ini sangat kontradiktif dengan mobil-mobil yang pernah saya pakai. Bahkan sampai lebih dari 6 tahun masa pakai, mobil saya masih kencang persnellingnya. Tidak bergetar. ACnya masih enak/dingin, mesinnya masih halus dll.

Selain berkonsentrasi untuk selalu mengoperasikan persnelling dengan baik, yaitu mengoper pada kecepatan yang sesuai, menginjak kopling cukup dalam ketika berganti gigi dan tidak pernah memaksakan operasinya (gigi rendah dengan kecepatan tinggi, atau gigi tinggi dalam kecepatan rendah), saya selalu memanaskan mobil saya.

Memanaskan mobil terutama di pagi hari adalah sesuatu yang saya selalu lakukan. Betapa senang saya melakukan itu.
Ada banyak orang juga memanaskan mobilnya, tetapi hanya untuk saat yang sangat pendek. Mungkin di pikiran mereka, pokoknya cukuplah. Lalu mereka cepat menggas mobil dan mobil dijalankan.

Saya tidak mau cepat-cepat saja memanaskan mobil. Saya usahakan jarum penunjuk temperatur sampai pada posisi optimumnya (biasanya sekitar 40% dari maksimum, di mana untuk seterusnya dia tidak naik lagi).
Dengan senang saya menunggu mobil menjadi panas. Biasanya antara 7 sampai 10 menit. Kadang-kadang saya lebihkan sedikit. Tentu saja ini berarti kita memberikan kesempatan agar olie dalam mesin memanas dan akan tersebar dengan baik di seluruh bagian mesin sehingga pada saat dijalankan pergesekan antar metal dalam mesin akan terlindungi sempurna oleh olie yang sudah bersirkulasi dalam viskositas yang memadai.

Tetapi ada satu lagi hal yang amat menghibur pada saat memanaskan mobil terutama di pagi hari. Itu adalah saat di mana knalpot mengeluarkan sejumlah air dari dalam mesin. Ini bagian yang paling menyenangkan bagi saya.
Saya merasa bahwa itulah (air itu) perusak mesin. Setahu saya tadinya dia adalah embun/titik air yang mengendap di mesin ketika mobil belum dipanaskan (selama berhenti ketika malam hari). Saya selalu berpikir betapa jahatnya air itu kepada bahan-bahan metal yang ada di dalam mesin mobil. Betapa bahayanya bila titik-titik air itu terperangkap di dalam sirkulasi dalam mesin karena mobil tidak cukup dipanaskan. Air adalah pangkal terjadinya korosi bahan-bahan metal. Selain itu bila terperangkap dalam mesin, dia akan menyimpan panas berlebih (tidak sinkron dengan olie yang sedang bersirkulasi).
Alangkah baiknya bila pagi hari ketika dipanaskan, semua air itu dikeluarkan. Dengan melakukan pemanasan maka titik-titik air dalam mesin diubah sehingga mencair dan keluar dari knalpot.
Apabila saya merasa mobil sudah cukup panas, saya menggas mobil lagi untuk mencoba benar-benar mengeluarkan air yang ada dalam mesin.
Betapa senangnya saya melihat semburan air keluar dari knalpot, sampai air habis.

Banyak sekali saya mencheck silang dengan orang lain yang mobilnya benar-benar tidak enak ketika dikendarai (meskipun mobilnya lux), mereka memang tidak terlalu memperhatikan untuk sabar memanaskan mobil di pagi hari. Bahkan ada yang tidak mau tahu, pagi-pagi start mobil, langsung jalan. Tidak perduli bahwa mobilpun jalannya terbatuk-batuk.

Mau punya mobil selalu dalam kondisi baik? Silakan coba resep saya.

Main bola di pagi berkabut

Belum begitu lama sesudah menjalani masa perpeloncoan tingkat I (TPB) di ITB, kami seangkatan (78) yang masih botak-botak suka bermain bola di pagi hari. Mungkin karena kami ingat ketika diplonco kami harus datang ke kampus Jl. Ganesha No. 10 sejak sekitar jam 4 pagi, maka kami sering mengulang datang pagi untuk sekedar bermain bola di lapangan bola yang sekarang sudah tidak ada lagi.

Lapangan bola yang memorable itu membentang dari selatan menuju arah utara, persis di tengah bebangunan kompleks ITB. Jadi kalau kita masuk dari pintu utama, berjalan ke utara sedikit sampai dekat dengan kompleks Ruang Serba Guna/Kantin, yang akan kita lihat pertama adalah bagian belakang gawang sisi selatan.

Posisi favoritku adalah keeper. Jadi aku sering ada di bawah gawang selatan itu.

Suatu pagi kami datang cukup awal. Waktu itu kebetulan musim hujan, dan karena malam sebelumnya terguyur hujan maka pagi itu kompleks ITB tertutup kabut. Keadaan seperti itu cukup sering hampir di seluruh Bandung pada era tersebut. Jadi waktu kami mulai main memang masih agak gelap. Berkabut pula.

Dari bawah gawang saya tidak memiliki cukup visibility untuk melihat jauh ke depan, apalagi sampai ke gawang pada sisi utara di depan sana. Saya hanya bisa melihat sekitar 7 atau 8 meter ke depan. Jadi saya harus awas betul melihat kalau tiba-tiba sekelompok orang berlari ke arah saya, berarti bola sedang digiring dan diperebutkan dalam arah menuju gawang saya. Itupun saya harus ekstra hati-hati kalau bola datang tiba-tiba mengarah ke gawang saya. Itu berarti pemain lawan baru saja memutuskan untuk menendang jarak jauh ke gawang yang saya jaga.

Kalau saya menguasai bola, maka yang saya lakukan otomatis adalah menendang lambung sejauh-jauhnya bola itu ke depan, tanpa dapat saya ikuti lagi ke mana dan siapa yang merebut bola itu.

Kadang-kadang saya cuma tenang-tenang saja karena dari kabut yang di depan seolah tidak ada orang yang berdatangan ke arah saya. Berarti bola sedang diperebutkan di depan sana tanpa dapat saya lihat. Memang agak lega, tapi tetap harus waspada kalau ada serangan tiba-tiba.

Hal lucu yang saya ingat adalah bila sejumlah orang keluar dari kabut dengan jalan tenang-tenang. Apalagi bila saya jelas kenali bahwa sejumlah yang datang ini adalah teman satu tim saya. Tentu saya yang tidak tahu apa yang telah terjadi di depan akan bertanya pada mereka, "Gimana Mas?" Lalu dengan lugas mereka menjawab, "Gol!"
Saya ketawa mendapat jawab hanya satu kata itu.

Kejadian itu memang berulang beberapa kali dan kami menang cukup besar tanpa balas.

Can you imagine it? Saya tidak lihat apa-apa untuk beberapa jenak. Lalu sejumlah teman muncul dari kabut di depan. Saya tanya apa yang terjadi, jawabnya cuma satu kata: "Gol".

Saturday, March 7, 2009

Naik becak ke Universitas Pajajaran

Tahun 1978 saya bermaksud mendaftar untuk kuliah di Universitas Pajajaran.

Waktu itu saya baru kembali lagi ke Bandung setelah sekian lama tidak pernah ke Bandung. Secara umum saya tidak lagi mengenal kota Bandung. Oleh karena itu dari rumah keluarga saya di Jl. Aceh saya memanggil becak dan minta dibawakan ke Universitas Pajajaran.

Sudah cukup lama saya naiki becak itu. Tukang becak sudah lama mengayuh sepedanya, dan dia kelihatan cukup lelah mengayuh. Saya memandang ke kiri dan ke kanan pada sebuah jalan yang cukup besar dan datar.

Sesaat kemudian tukang becak itu bertanya kepada saya, "Di mana ya Den Universitas Pajajarannya?" Betapa kagetnya saya mendapat pertanyaan itu, dan saya menjawab: "Sayapun tidak tahu Mang. Saya masih baru datang ke Bandung."

Dengan keringat yang sudah cukup mengucur dia mengayuh lagi becaknya. Begitu banyak bangunan kami lalui tapi tidak satupun menyiratkan yang mana Universitas Pajajaran yang kucari.

Akhirnya ketika pada suatu titik ada becak lain yang berpapasan dengan kami, tukang becakku bertanya kepada tukang becak yang berpapasan dengan kami itu. Mereka berbicara dalam bahasa Sunda, tetapi kira-kira saya mengerti maksudnya: "Di mana ya Universitas Pajajaran?" Maka tukang becak yang satu lagi menjawab sambil agak menghardik, "Eh, Unpad mah di Dipati Ukur!" Lalu sambil kaget berteriaklah tukang becak saya, "Oh Unpad!"



Akhirnya barulah saya tahu, bahwa tukang becak saya tahu Unpad tapi tidak tahu Universitas Pajajaran (yang memang lebih dikenal sebagai Unpad). Jadi pada pagi itu rupanya dia bukan membawa saya ke Jl. Dipati Ukur (tempat Unpad berada), melainkan ke Jalan Pajajaran yang jaraknya cukup jauh dari Jl. Dipati Ukur. Jalan Pajajaran sudah agak ke selatan-barat Bandung, jalannya luas (dua arah) dan datar.



Si tukang becak membalikkan arah becaknya. Kami menuju ke Bandung utara lagi. Lagi-lagi keringatnya bercucuran karena menuju Jl. Dipati Ukur jalannya menanjak.

Akhirnya sampai juga kami di Universitas Pajajaran yang disingkat Unpad itu.

Saya menambah ongkos untuk si tukang becak yang bercucuran keringat dan napasnya memburu karena sudah sangat lelah.



Jadi, tukang becak itu tahu Unpad, tapi tidak tahu Universitas Pajajaran. Haiiiya ...

Thursday, March 5, 2009

My First Blog

Dunia ini milik orang pandai.