Sunday, April 26, 2009

Terbang Bandung-Jakarta

Dalam beberapa perjalanan naik kapal terbang, ada sejumlah peristiwa menarik yang kualami. Salah satunya seperti di bawah ini.

Untuk pertama kali aku naik kapal terbang dari Bandung ke Jakarta. Itu adalah perjalanan yang tidak terlalu terpikirkan akan pernah kulakukan. Jakarta-Bandung adalah jarak yang tidak terlalu jauh. Sekian tahun aku menjadi mahasiswa di Bandung kebanyakan aku memakai ka Parahyangan sebagai transportasi utama.
Ketika jalan tol belum ada biasanya pilihan siapapun kita yang akan pergi-pulang ke Bandung akan naik mobil dengan 2 alternatif utama jaman dulu yaitu lewat Jl. Raya Bogor Lama atau lewat Parung.
Setelah jalan tol Jagorawi selesai maka ada 1 alternatif lagi yaitu lewat Jagorawi dan melalui Puncak. Sekarang setelah Jl. Tol Cikampek disambungkan langsung ke Bandung, tentulah perjalanan menjadi sangat cepat (hanya sekitar 1,5 - 2 jam). Ini sungguh luar biasa kalau dibandingkan masa paling baheula yang silam di mana ke Bandung bisa memakan waktu 7-10 jam.

Waktu itu aku berdua dengan kawan kantorku, Andy Natanael Manik. Kami baru menyelesaikan suatu tugas di Bandung dan ingin pulang agak cepat ke Jakarta. Dengan ide yang melintas saja di kepala kami, kami memutuskan naik kapal terbang supaya cepat sampai di Jakarta. Kami start dari Husein Sastranegara di Bandung. Andy yang mencetuskannya ketika kami meninggalkan kantor klien kami. "Bagaimana kalau kita naik kapal terbang saja pulang supaya cepat sampai ke kantor Bang?", katanya. Dia memang selalu memanggil aku abangnya. Akupun sangat setuju.

Lucu rasanya, sekian tahun di Bandung dan sering ada sejumlah kegiatan sekitar lap terbang di Bandung, tapi baru sekali itu naik kapal terbang dari Bandung. Khusus bagiku lebih berarti rasanya, karena lap terbang ini dekat dengan Jl. Pajajaran, jalan panjang yang dituju oleh tukang becakku ketika kami bermaksud ke Unpad pada awal masa tinggalku di Bandung. (Lihat tulisanku Tgl 7 Maret 2009, "Naik becak ke Universitas Pajajaran")

Kapal terbangnya CN 235. Untuk kedua kalinya jenis pesawat ini kupakai (yang pertama ketika kami dari Ujung Pandang/Makassar menuju Pomalaa/Sulawesi Tenggara). Perjalanan udara ternyata begitu singkat, hanya sekitar 15 menit. Dalam waktu sesingkat itu kami telah mendarat lagi di lap terbang Halim Perdana Kusumah, Jakarta. Di sana supir dan mobil kantor kami masing-masing telah siap menjemput dan membawa kami langsung ke kantor.

Itulah uniknya perjalanan itu. Dari kantor klien kami yang cukup jauh (untuk ukuran Bandung) di sekitar Ujung Berung ke lap terbang Husein S. diperlukan sejumlah waktu karena siang itu traffic cukup padat di sekitar Jl. Pahlawan dan juga di sekitar Jl. Pajajaran/Andir. Untuk membeli tiket kemudian menunggu untuk naik ke pesawat juga membutuhkan sejumlah waktu. Ketika kami sampai di Halim PK Jakarta menuju kantor, juga makan waktu karena agak macet. Padahal komponen perjalanan terjauh (Bandung-Jakarta) justru berlangsung cuma 15 menit. Sebentar saja kami take off, lalu sudah turun lagi.

Waktu itu belum banyak orang memiliki handphone. Sebagai eksekutif di perusahaan kami, saat itu perusahaan belum membekali kami dengan hp. Hp pun waktu itu masih sangat mahal. Terlalu mahal untuk kami beli secara pribadi.

Yang duduk di depan kami di pesawat ternyata adalah orang yang sejak di ruang tunggu di Husein S. telah memakai-makai hp. Lumayanlah petantang-petentengnya dia. Maklum waktu itu pemakai hp masih langka. Dari penampilannya kelihatannya dia seorang eksekutif muda perusahaan swasta. Badannya cukup tegap. Tangan kanan memegang hp, tangan kiri menenteng tas kerja tipis.
Ketika pesawat berjalan, stewardess memeragakan petunjuk keselamatan terbang. Tapi kami lihat orang yang punya hp itu terus masih ngobrol menggunakan hpnya. Bahkan sampai ketika stewardess mengatakan agar semua peralatan elektronik termasuk hp harus dimatikan karena akan mengganggu sistem navigasi penerbangan, dia masih belum juga mematikan hpnya.
Hal ini membuat kami berdua kesal. Selain mungkin kami juga sebenarnya cemburu karena belum punya hp, perasaan kami yang tadinya masih agak cuek lihat orang terus bicara dengan hp berubah menjadi kesal. Norak orang ini, pikir kami. Mungkin dasar orang kaya baru, pikir kami.

Ketika pesawat sudah dalam posisi standby dan dalam beberapa saat akan dipacu untuk terbang, Andy yang sudah kesal betul nampaknya berkata kepadaku: "Yang macam ginilah bikin aku palak, Bang" katanya. "Palak" dalam bahasa Medan berarti kesal sekali/keki.
Bagaimana kalau kutegor si goblok ini Bang?, lanjutnya. Karena mengingat keselamatan terbang maka aku menjawab, "Tegorlah Dek". Lalu Andy memanjangkan badan dan lehernya ke depan menghardik orang di depannya itu, "Hey! katanya. Matikan hpmu itu!"
Agak kaget tapi cuek orang itu cuma memandang sebentar ke belakang di mana empat buah bola mata kami sudah memandang dengan kesal kepadanya.

Tidak disangka, orang itu berbalik lagi dan masih terus memakai hpnya! Makin marahlah si Andy. Bagaimana Bang, kutumbuklah orang ini? katanya. (Kutumbuk dalam bahasa Medan artinya kutonjok). Cepat nalarku memberi komando ke mulutku yang dengan geram berkata, "Memang gila ini orang!"

Selanjutnya terjadilah hal yang tak disangka. Andy melepas seatbeltnya, lalu berdiri, dan dari belakang langsung dijitaknya kepala eksekutif muda gila itu dengan keras.
Orang itu kaget dan melihat ke belakang, tapi bertumbukan mata dengan 4 bola mata nanar penuh amarah. Lalu Andy bilang, "Kau mau bikin mati kita semua?! Mau kuhantam lagi kau?!" kata Andy.
Mendengar bentakan keras Andy dan tak kuat melihat mata-mata kami yang sudah memiliki ukuran diameter di atas normal, barulah nampaknya dia kecut dan mematikan hpnya.

Kapal terbang memacu, Andy terduduk dan memasang seatbeltnya. Lalu sejenak kemudian kami sudah di udara, melihat bendungan Jatiluhur sebentar dari atas, lalu mendengar pengumuman akan turun lagi di Halim PK.

Sampai kami turun tidak sedikitpun eksekutif muda yang sok itu berani melihat kepada kami.

Monday, April 6, 2009

Kimia yang mengerikan

Waktu kami tingkat I tidak pelak lagi pelajaran yang paling sulit adalah mata kuliah Kimia. Di setiap semester mata kuliah itu ada.

Tidak hanya sulit, tapi juga mengerikan. Dikatakan demikian karena memang tingkat kesulitannya betul-betul tinggi. Memang belajar bersama itu baik, tetapi khusus untuk mata kuliah Kimia ini kita harus sampai ke tingkat penguasaan pribadi pada kategori mahir. Banyak textbook harus kita baca di perpustakaan. Banyak soal harus kita latih penyelesaiannya.

Setiap soal yang keluar sangat variatif dan kreatif. Lalu penjagaan selama ujian sangat ketat. Jangan main-main untuk coba-coba menyontek. Kalau sampai ketahuan menyontek, akan diblack list dan bisa di drop out.
Ada juga yang berhasil menyontek, tapi itu pasti pertama kenekadannya luar biasa (berani mati), atau sangat mujur tidak ketahuan. Sudah banyak sekali mahasiswa DO karena mata kuliah ini, entah karena memang tidak lulus-lulus, atau kena black list.

Koordinator dosen adalah seorang dosen super killer (biasanya dialah kebanyakan yang membuat soal-soal). Inisialnya HA. Kalau sudah bermasalah dengan dia maka masa depan pasti suramlah.
Hal yang unik lagi, soal-soal yang bersifat pilihan ganda bisa dibuat sedemikian rupa sehingga kalau kita salah mengerjakan selalu ada pilihan jawabannya. Kadang kala karena kita terlena (ada jawaban seperti yang kita buat), kita pilih jawaban itu. Padahal jawaban kita itu salah. Jadi seolah-olah pembuat soal itu sudah tahu ke mana mereka yang kemahirannya tidak terlalu tinggi akan nyasar pikirannya. Luar biasa!

Ujian itu sendiri untuk setiap soal hasilnya akan memperoleh nilai minus 1 kalau salah, nol kalau tidak menjawab, plus 3 kalau benar. Jadi tentunya kalau kita tidak yakin, lebih baik tidak menjawab. Kalau nekad menjawab, perkaranya tinggal dua, untung atau apes. Sayangnya probabilitasnya lebih besar pada apes (1 banding 3, karena biasanya pilihan jawaban ada 4).

Pengikut ujian selalu banyak karena selain mahasiswa tingkat I, mahasiswa yang lebih senior bahkan yang mahasiswa abadi (waktu itu masih banyak mahasiswa abadi) pun masih banyak yang ikut. Hal ini terjadi karena telah diterapkannya sistem kredit (sks). ITB adalah universitas pertama yang serentak memberlakukan sistem sks.

Midtest semester pertama merupakan outcome paling mengerikan dalam hidupku. Kalau tidak salah aku mendapat nilai 33. Seumur hidup baru itulah aku dapat nilai sejelek itu.
Tapi karena pengindeksan nilai berdasarkan sebaran statistik, maka nilai 33 ku itu masih menghasilkan indeks C! Yang dapat sedikit di atas 50 saja sudah pasti dapat A.

Adalah seorang teman kami yang sangat membuat kami sedih karena nilainya minus sangat besar (kalau tidak salah minus 30an/jumlah soal biasanya sekitar 33-34). Beberapa kami mencoba untuk menghibur teman kami itu. Kami banyak bertanya kepadanya mengapa sampai dia bisa mendapat nilai jeblok begitu.

Jawabannya sungguh mengagetkan kami. Dengan entengnya dia bilang bahwa dia melihat seorang teman kami yang berkacamata tebal orangnya cukup meyakinkan (waktu itu kami belum terlalu lama bersama-sama di kelas T06/baru sekitar tiga bulanan, jadi belum terlalu saling mengenal). Waktu ujian kebetulan mereka duduk berdekatan. Lalu teman ini nekad menyontek pada teman yang berkacamata tebal itu (rupanya dia mujur tidak ketahuan). Total semua jawaban teman berkacamata tebal yang duduk di depannya diconteknya.
Belakangan barulah kami semua tahu bahwa soal-soal kami telah diacak. Nomor 2 pada kita belum tentu sama soalnya dengan nomor 2 teman yang lain. Pantaslah teman kami yang nekad itu dapat nilai minus besar sekali. Lebih mengerikan lagi nilai midtest I, midtest II dan Ujian Akhir diberi bobot. Misalnya 20%, 30% dan 50%. Jadi, nilai minus besar menjadi lebih besar lagi minusnya! (Weleh, weleh ....)

Pada tahun-tahun belakangan rupanya ada semacam "gerakan reformasi" di ITB sehingga dosen super killer tadi barangkali diminta untuk tidak lagi menjadi penjagal mahasiswa. Sebenarnya aku kurang setuju dengan kebijakan itu, tapi yah sudahlah. (Aku tadinya merasa itu adalah trade mark yang mengagumkan. Itu adalah kenangan salah satu yang paling dramatis pada tingkat I).

Lucu sekali pada tahun-tahun aku mau lulus kulihat soal ujian mahasiswa tingkat I tidak masuk akal mudahnya (dari dulu semua ujian selalu dipampang jawaban/solusinya di papan pengumuman, jadi semua orang bisa melihat dan menyalin). Kuingat sekali ada dipampang solusi ujian mahasiswa tingkat I tahun itu yang cuma 10 nomor. Salah satu soalnya begini (aku selalu ingat): Diketahui sekian mol zat tertentu dilarutkan pada sekian mililiter larutan tertentu. Hitunglah Molaritas campuran baru itu.

Gila kan mudahnya soal kimia itu jadinya? Penurunan mutukah di ITB? Sangat boleh jadi! Entah kenapa kita tidak punya lagi pride sebagai orang yang dulu pernah menaklukkan mata kuliah Kimia yang mengerikan itu (walaupun cuma dapat C, itu dulu sudah luar biasa, tidak mungkin bisa dibandingkan dengan mereka yang dapat A dengan soal-soal yang mudahnya minta ampun).

Beberapa tahun kemudian terbetik kabar bahwa dosen super killer itu meninggal dunia. Well ... well ...

Sunday, April 5, 2009

Tidurnya orang Indonesia

Sepengamatan saya, orang Indonesia itu suka sekali tidur. Mudah sekali kita mendapatkan orang Indonesia tidur.

Di kendaraan umum yang begitu sumpek, ribut dan panas, tetap saja kita temui banyak yang tidur. Padahal barangkali perjalanan mereka tidak terlalu jauh (sebentar lagi juga akan turun di suatu tempat di depan). Di mana-mana di Jakarta mudah sekali kita temui orang tidur. Di siang hari bolong di taman-taman seperti taman pemisah jalan di Jl. Sutoyo (depan UI), banyak sekali orang beralaskan plastik atau koran tidur di bawah pohon. Demikian pula di taman-taman yang lain.

Supir-supir yang menunggui mobil di tempat parkir gedung perkantoran, perbelanjaan, sekolah dsb. banyak sekali bertiduran.
Gaya tidurnyapun bermacam-macam. Kebanyakan membuka satu pintu (ada juga yang dua pintu sekaligus). Ada yang tidak kelihatan dari luar kepalanya, tapi kakinya nyangsang ke atas ke sandaran kursi. Yang agak sama dari semuanya adalah lebarnya mulut mereka terbuka dan air liur mereka berlelehan (bagaimana baunya itu ya?).

Di kantor-kantor (terutama kantor pemerintah) banyak sekali yang tidur di siang bolong. Kadang-kadang mereka dengan tanpa dosa menelungkupkan dan menyilangkan badan dan kepalanya ke meja kerja. Ada yang kacamatanya dilepaskan dulu dan diletakkan di samping kepalanya.
Ada pula yang ngumpet di antara tumpukan berkas dan dokumen untuk tidur (barangkali terutama setelah kantor-kantor diberi AC).

Di kapal terbang kalau orang bule (atau mereka yang berasal dari negara lebih maju dari negara kita) biasanya membaca buku selama perjalanan. Entah itu buku novel atau buku non fiksi. Banyak pula yang terus membuka meja makan lipat dari belakang kursi di depannya untuk mengerjakan/menulis banyak hal, atau membuka laptopnya.
Kalau orang Indonesia, begitu kapal terbang take-off satu demi satu bertiduran. Gaya tidurnyapun seenaknya pula dengan muka terbuka lebar dan iler berlelehan. Orang-orang dari negara maju (atau Jepang) juga ada yang tidur satu dua, tetapi setidaknya tidur mereka kelihatannya lebih beradab. Tubuh mereka biasanya masih tegak, walaupun kepala mereka jatuh sekali-sekali. Tapi kalau kita perhatikan seksama seolah-olah tidurpun mereka serius (dahi mereka kebanyakan berkernyit, tidak seperti orang Indonesia yang tidur, dahinya polos sekali seolah tidak pernah berpikir apa-apa).

Meja makan lipat tidak pernah dibuka kecuali ketika pramugari menyenggol tubuhnya sedikit sambil menawarkan pilihan makanan (atau kalau aroma makanan sudah mulai tercium, berarti makanan sudah datang). Begitu bangun, dengan tenang mereka menyeka liurnya dan menegakkan badan karena mau makan. Mereka semangat sekali kalau mau makan. Dengan cepat makanan tandas, walaupun sebelum naik kapal terbang sudah makan (bahkan makan lagi di Executive Lounge sebelum menuju ke waving gallery) Orang-orang bule banyak yang tidak makan kalau memang mereka sudah makan sebelumnya sebelum terbang. Bukan cuma di Indonesia, di penerbangan-penerbangan di negara merekapun mereka punya kebiasaan itu. Paling cuma minum anggurnya.
Cara makan orang Indonesiapun penuh kecuekan. Dessert bisa disikat duluan, baru menu utamanya. Setelah makanan mau habis baru bingung di benaknya apa benar garpu di kanan pisau di kiri, apa justru terbalik? Entahlah.
Pokoknya apa yang sudah tersedia dimakan saja. Minum sikat saja, yang penting ada (minta) teh.
Lalu ritual penutupnya adalah mencongkeli sisa makanan di gigi dengan toothpicks yang biasanya dirobek dari bungkusannya. Dilakukan dengan penuh kelegaan dan kenikmatan sambil memandang keluar jendela yang cuma bisa melihat awan belaka, tidak ada pemandangan lain. Buranpun ada yang tidak malu-malu dengan kerasnya.
Kalau perjalanan masih jauh dan agak lama, bisa-bisa mereka tidur lagi sesudah makan kenyang. Untung sekarang tidak diberi kesempatan merokok.

Kalau saya pergi jauh ke benua lain (biasanya belasan jam perjalanan), sering saya perhatikan bahwa apabila telah sampai di negeri yang jauh, hal pertama yang dilakukan teman-teman orang Indonesia setelah check-in di hotel, adalah segera tidur lagi. Kalau esoknya ditanya kenapa langsung tidur, jawabnya, habis capek sekali sih perjalanan jauh. Padahal kemarin sepanjang perjalanan seingat saya mereka kebanyakan tidur!
Saya paling tidak betah seperti itu. Perjalanan jauh bagi saya adalah pengalaman yang amat mengasyikkan. Yang saya lakukan setelah check-in adalah justru keluar sesegera mungkin memanfaatkan sisa waktu yang ada hari itu untuk berjalan kemanapun saya mau (biasanya langsung ke Concierge/Reception counter, minta map, lalu jalan). Saya selalu merasa rugi, sudah datang jauh-jauh kok malah tidur.

Sekali saya memimpin suatu acara libur tengah tahun (panas) bersama dari perusahaan saya, di Anyer. Acara ini sifatnya internasional karena selain seluruh karyawan kami sekantor dengan keluarga masing-masing, juga disertai sejumlah teman counter-part kami yang berasal dari Perancis beserta keluarga mereka masing-masing juga (banyak ekspatriat waktu itu membawa keluarga ke Indonesia).
Kami berangkat dari Jakarta dengan armada sejumlah bus tour besar yang bagus-bagus. Seperti biasa, di bus walaupun sudah dibaurkan komposisinya (orang Indonesia dibaurkan dengan orang Perancis), kebanyakan orang Indonesia tidur! Sementara keluarga-keluarga Perancis bercanda dan ada yang bernyanyi dengan begitu senang (sepengamatan saya orang-orang dari negeri maju itu kalau liburan betul-betul all out). Di buspun orang-orang bule itu ada yang sudah bercelana pendek dan baju kaos yang siap dibuka kalau nanti sampai. Alas kaki mereka kebanyakan sepatu olah raga, ada yang cuma pakai sendal. Kontras dengan keluarga Indonesia ada yang pakai jaket tebal (mungkin takut kedinginan nanti di bus), dan ada banyak ibu-ibu berdandan dan berpakaian seperti mau ke pesta (pakai hak tinggi lagi).

Begitu tiba, kami check-in di sebuah kompleks hotel yang pada saat itu terbesar di Anyer. Semua kamar telah kami book. Telah diumumkan berkali-kali dan dinyatakan pula di buku acara yang dibagikan ketika bus mulai berangkat, bahwa setelah barang-barang diletakkan di kamar masing-masing, semua peserta harus segera datang dan berkumpul kembali di restoran utama untuk makan siang bersama.
Semua teman Perancis dan keluarganya telah berkumpul di restoran menunggu. Keluarga-keluarga Indonesia hanya segelintir yang datang. Ditunggu-tunggu sudah lebih dari sejam. Pengumuman dari pengeras suara berkali-kali menyampaikan agar segera semua keluar dari kamar masing-masing dan berkumpul di restoran utama. Tapi pengumuman itu semua seolah tidak ada gunanya.

Sebagai penanggungjawab acara, mulailah saya mendatangi kamar-kamar satu persatu. Mau tahu? Kebanyakan keluarga Indonesia memilih tidur (ngamar)!
Banyak yang bilang, Habis di luar udaranya panas sih (udara pantai musim panas), di kamar kan dingin!
Susah payahlah saya membujuk masing-masing keluarga dengan mengingatkan bahwa bila makan siang kita terlambat maka acara-acara lain yang disusunpun akan terlambat.
Akhirnya barulah mereka berdatangan untuk makan walaupun ogah-ogahan.
Teman-teman Perancis menggeleng-geleng kepala seraya bergumam, Kalau memang cuma mau tidur ngapain datang berlibur jauh-jauh ke Anyer?

Sore jam 16 direncanakan semua orang menuju berbagai venue untuk berolahraga (basket, volley, sepakbola, bulutangkis, dsb.). Di luar dugaan, hujan turun! Maka agak paniklah kami panitia untuk mengimprovisasi acara. Akhirnya karena terinspirasi semangat para bule untuk terus bermain sepakbola dan volley walau hujan atau bermain bowling dan snookers (ada pula yang bermain polo air di kolam renang walau hujan), kami usahakan sebanyak mungkin orang mau tetap main/berolahraga walau hujan.
Betapa kagetnya, keluarga-keluarga Indonesia di setiap tempat terbuka sudah tinggal segelintir saja. Kebanyakan sudah hilang entah kemana.
Selidik-punya selidik, rupanya mereka kebanyakan sudah pulang kembali ke kamar masing-masing untuk, ................tidur lagi!

Setengah mati lagi saya pada jam 19 malam mendatangi setiap kamar (hujan agak rintik-rintik) agar mau datang ke restoran utama lagi untuk makan malam bersama. Itupun banyak yang bersuara keras (nada tinggi) meminta kalau bisa makanannya dikirim saja ke kamar masing-masing.

Itulah sebagian yang saya tuliskan tentang "nafsu" besarnya orang Indonesia untuk tidur. Alangkah santainya bangsaku ini. Tidak pernah mudah untuk memanfaatkan waktu. Sulit untuk sedikit lebih "berbudaya". Selalu tidak mudah untuk bekerjasama demi kebaikan (lebih membawa segala hal hanya untuk kepentingannya). Susah sekali untuk praktis. Keras kepala, dan merasa pintar sendiri. Tidak mau belajar, padahal sudah jelas melihat contoh yang lebih baik. Dsb, dsb, .....

Semoga bangsaku bisa menyadari hal ini, dan berubah.
Michael E. Porter dari Harvard Univ dalam kedatangan terakhirnya ke Jakarta berkata bahwa krisis di Indonesia akarnya adalah Kontra Produktivitas (walaupun dikemas dalam kata-kata yang sedikit lebih halus).

Hiduplah tanahku, hiduplah negriku.
Bangsaku, rakyatku, semuanya.
Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya
untuk Indonesia Raya .........................

Huru hara II di KBB 45

Di KBB 45 ada kantin. Kantin itu bagus sekali. Kita senang sekali memiliki kantin yang bagus seperti itu. Di luar kantin disediakan tempat makan yang disusun dengan baik. Ada sejumlah meja dengan kursi-kursi memadai. Ditata dengan apik. Pokoknya enaklah.
Makanan yang disediakan walaupun tidak banyak tapi enak-enak. Favoritku adalah nasi dengan ayam opor. Biasanya disajikan panas. Sedaplah.

Penjaga kantin, sekaligus semacam pengurus harian dari KBB 45 (ditempatkan oleh pemilik tempat kost) kebetulan seorang laki-laki yang agak kemayu/banci. Secara alamiah, karena kami semua laki-laki agak seringlah kami meledek dia.
Sebenarnya aku tidak termasuk suka meledek dia. Biasa sajalah. Tapi dia memang selalu berusaha untuk dekat dengan semua kami.

Suatu hari sudah agak larut malam. Suasana agak hening. Aku belajar di kamarku karena ada midtest yang cukup berat. Cukup konsentrasi aku saat itu. Memang agak kudengar sedikit suara di salah satu kamar di atas. Pikirku, barangkali ada sejumlah teman sudah selesai belajar, jadi agak bersantai main kartu atau main apalah di atas sana.
Waktu itu kami masih belum lama selesai menjalani plonco. Jadi semua kami yang tingkat I masih botak, atau berkepala yang baru ditumbuhi rambut pendek/halus.

Tiba-tiba kamarku diketuk. Dari dalam kudengar suara si penjaga kantin mengetuk dari luar memanggil-manggil namaku dengan genit. Aku agak malas ngomong sama dia karena sedang konsentrasi. Kusibakkan saja gordijn jendelaku lalu tanpa membuka pintu kutanya padanya ada apa.
Lalu dia menjawab bahwa ada tamu. Katanya dia tidak kenal. Dia berbicara sambil agak-agak menahan ketawa, membuat aku agak merasa aneh.
Aku agak heran, kok mendekati jam 10 malam ada orang bertamu kepadaku.
Karena malas keluar, agak sedikit gusar (karena sedang konsentrasi belajar) kukatakan pada penjaga kantin itu, Mengapa tamu itu tidak disuruh datang saja langsung ke kamarku?
Lalu dijawab, Dia ngga mau. Dia tunggu di sana (ruang tamu) katanya. Akhirnya dengan enggan kuraih jaket, lalu kubuka pintu. Setelah itu aku berjalan ke ruang tamu (di lantai bawah, dekat kantin). Si penjaga kantin mengikuti di belakangku, sambil agak senyum-senyum mencurigakan.

Karena kulihat tidak ada orang di ruang tamu, aku menengok ke belakang bertanya pada si penjaga kantin, Di mana? Kok tidak ada orang? tanyaku.
Oh, dia tadi kayanya naik ke atas, jawab si penjaga kantin. Di atas mana? tanyaku lagi. Di atas, di depan..., jawabnya lagi. Tapi dia agak-agak menahan ketawa.
Aku sejurus melihat ke dia. Mau kutanya apa dia mempermainkan aku. Tiba-tiba dia berubah serius, lalu mengatakan tadi memang ada tamuku, dan dia yakin tamu itu menunggu di salah satu tempat di depan kamar di atas yang menghadap ke jalan.
Lalu aku berjalan naik tangga menuju tempat di atas yang dimaksud. Sesampainya di atas, mendekati tempat yang dimaksud, aku melihat seseorang sedang duduk melihat ke jalan. Tangannya bersilang dan bertumpu pada pagar di depan salah satu kamar yang biasanya ditempati seseorang teman kost yang tidak kuliah di tempat kami kebanyakan (universitas lain).
Agak aneh kurasa bahwa cara berpakaian orang ini tidak biasa, tapi memang karena agak malam jadi tidak terlihat jelas.

Ketika kutanya dengan sopan siapa dia, betapa kagetnya aku ketika dia menoleh ke arahku dia tersenyum menyeringai, rupanya dia seorang banci! Aku langsung berbalik arah bermaksud pulang ke kamarku secepatnya melalui jembatan penghubung antar bangunan dan turun di tangga yang dekat dengan kamarku.

Sementara itu kudengar di bawah sana si penjaga kantin tertawa-tawa. Jelas menertawai aku. Ketika kulewati jembatan penghubung antar bangunan, kulihat dia ketawa keras-keras. Senang sekali dia rupanya mempermainkan aku. Entah siapa banci yang ada di depan itu. Akupun bingung dari mana dan untuk apa dia ada di tempat kost kami. Tapi aku tidak mau ambil pusing. Dengan agak geram aku berjalan terus.
Tetapi di tengah perjalanan itu, karena kudengar ada suara-suara di kamar Micky, kuputuskan memasuki kamar Micky. Pintu tidak terkunci. Ternyata di dalam seingatku ada Rowin, Micky dan Putranto sedang bermain Risk (sejenis permainan keberanian memutuskan untuk menguasai daerah/dunia). Mereka bermain serius. Senang mereka aku datang. Masih berdiri aku berujar, Sialan Gua ditipu (si penjaga kantin)!
Serentak kawan-kawan itu menjawab, Banci ya? Lalu kawan-kawan itu serentak pula meneruskan, Kami juga ditipunya!
Wah ... wah ... wah ... kata kami (berdiskusi). Lalu satu sama lain melanjutkan, Tapi gila ya orangnya gede banget. Ngeri lagi, kata kami. Lalu kami ketawa-ketawa juga.
Ayo Rul, main! kata teman-teman. Tapi kujawab, Aku ngga lah. Masih ada yang mau kupelajari, kataku. Sorry ya, kataku lagi sambil melangkah mau membuka pintu dan pulang ke kamarku.

Betapa kagetnya aku ketika pintu kubuka, banci itu sudah ada di depan pintu dengan muka kencang. Langsung aku masuk lagi dan mengunci pintu. Sambil membelakangi pintu yang sudah terkunci, aku berkata (ketakutan), Bancinya ada di depan pintu! Barangkali dia akhirnya marah karena beberapa kali didatangi oleh kami yang ditipu dan diiringi ketawa-ketawa ngga karuan dari si penjaga kantin (yang kebetulan sejenis dengan dia).

Dalam hanya ukuran detik Rowin berlari ke jendela menutup jendela secepatnya. Micky langsung menarik gordijn. Putranto langsung mematikan lampu.
Di depan pintu mulailah banci itu menggedor-gedor pintu minta dibukakan pintu itu. Sumpah serapahnya langsung berhamburan. Katanya antara lain, Sialan Lu semua. Lu kira gua banci jalanan ya, dst.

Lalu aku berlari ke arah pintu kamar mandi untuk ngumpet. Putranto langsung melompat ke bawah tempat tidur, lalu diikuti oleh Rowin dan Micky. Di bawah tempat tidur Micky ada speaker audio systemnya. Kepala Putranto yang botak rupanya langsung menabrak sudut speaker. Dia berteriak mengaduh. Rowin dan Micky yang datang belakangan menyeruduk pantat Putranto pula dengan kepala-kepala mereka yang botak. Lalu kami bertiga ketawa sejadi-jadinya.
Putranto meringis karena kepalanya terantuk speaker, pantatnya diseruduk dua kepala botak. Tapi akhirnya ikut ketawa keras juga.

Ketawa-ketawa kami di dalam kamar yang sudah gelap itu rupanya makin membangkitkan amarah banci yang di depan pintu. Pukulannya ke pintu semakin keras (bukankah tenaganya tenaga laki-laki?). Makiannya sudah semakin keras dan kotor.
Akhirnya kami berempat diam saja, menahan mulut kami.

Gedoran demi gedoran rasanya sebentar lagi akan menjebol pintu kamar Micky. Ada dia mengatakan, Gua tembak lu semua!
Terus terang kami sudah menjadi agak takut, apa maksudnya mau menembak kami?
Lalu kami dengar di luar orang sudah ramai berdatangan, pastilah semua teman lain. Lalu terdengar suara senior kami Antony Marbun dan teman-teman lain mencoba menenangkan si banci.
Sudahlah, kata Bang Antony. Masa Lu musti urusin anak-anak kecil, lanjut Bang Antony.
Si banci menjawab, Apanya yang kecil?! Kepalanya doang botak, ............ (maaf saya sensor) nya semua udah pada gede tuh! Musti gua hancurin mereka semua, katanya lanjut.

Adalah hampir sejam kami dicekam ketakutan di kamar itu. Bang Antony dan teman-teman lain terus membujuk si banci. Akhirnya pergi juga dia, walaupun sempat melontarkan lagi kata-kata perpisahan: Gua dateng lagi bentaran. Gua bawa orang setasion, katanya.

Sesudah keadaan tenang, semua teman dan Bang Antony di luar memanggil kami keluar. Kami berempat keluar dengan sedikit agak lega.

Bang Antony mengatakan bahwa si banci tadi memang mengeluarkan sebuah pistol dari tasnya. Hanya kesabaran dan "usapan-usapan" Bang Antonylah rupanya yang meluruhkan amarahnya. Jago juga si Bang Antony menemukan "kelemahan"nya.

Demikianlah malam itu aku tidak berani tidur di kamarku (karena tadi hanya aku yang dilihat si banci ketika aku buka pintu). Aku ganti baju dan tidur di kamar Yanto yang baik.
Semua kami satu kost dalam keadaan siap kalau benar si banci datang lagi dan benar membawa orang stasion.

Aku tidak bisa tidur (banyak juga teman lain). Berjaga-jaga sambil pegang besi/pentungan pemukul (sisa bangunan).

Kasihan memang mereka yang kita sebut "tidak normal" ini. Mereka sering jadi sasaran ledekan karena gaya dan cara bicaranya. Disengaja ataupun tidak.
Heaven knows!

Huru hara I di KBB 45

Tempat kost yang di Jl. Kebon Bibit Barat 45 adalah tempat kost yang unik. Kami para penghuni menyebutnya KBB 45. Seingatku tipe kost seperti ini adalah yang pertama kali ada di Bandung saat itu (mungkin juga pertama di Indonesia saat itu).

Secara umum dia tidak terlihat sebagai tempat kost biasa. Dia lebih terlihat seperti sebuah hotel kecil. Bangunannya sangat bagus dan mewah. Ketika aku kost di situ bangunannya baru saja diselesaikan. Masih banyak bagian yang perlu disempurnakan. Masih tercium bau cat dan bau alat perekat di banyak tempat.
Bangunan itu bertingkat dua, jumlah kamarnya banyak sekali. Secara umum dia adalah dua bangunan utama yang masing-masing bertingkat dua. Setiap bangunan berupa bangunan yang memanjang menurut lebar tanahnya. Setiap kamar berseberangan dengan kamar yang menghadap berlawanan. Seingatku satu muka dari bangunan yang panjang itu memuat 8 kamar, jadi total kamar kalau tidak salah 64 kamar.
Di tengah dua bangunan itu terhampar taman yang cantik sekali. Aku memilih kamar di lantai satu yang menghadap ke taman, sehingga setiap bangun pagi dapat melihat ke taman yang bagus itu.
Setiap tingkat saling terhubung, dan di tengah bangunan terdapat jalan menuju kamar-kamar yang berseberangan, lengkap pula dengan tangga-tangga di tengah bagian. Jadi mudah sekali kita cepat menuju kamar manapun kita mau. Otomatis pula untuk kamar-kamar yang saling berhadapan, kami dengan mudah dapat melihat dengan baik semua kamar di kiri, kanan maupun yang di atas. Apalagi kamar-kamar di atas, itu yang paling mudah melihat ke semua arah.

Di sinilah kami dengan sangat kompak tinggal bersama. Ada Yanto yang pendiam tapi sangat baik hati, Rowin yang dinamis, Micky yang kreatif, Yoyok yang polos dan jujur, Gary yang hangat, Ritchie yang gentleman like, Tonny yang cerewet, Putranto yang innocent tapi luar biasa lucunya. Chrismar Adianto yang pintar juga pernah tinggal di sini.
Ada juga sejumlah senior angkatan kami seperti Bang Antony Marbun, Paul, Yance, dan lain sebagainya. Pada waktu-waktu rileks kami bermain kartu, domino, catur, master mind, risk game, dan lain sebagainya. Di awal-awal kuliah kami sering bernyanyi sampai malam, tapi kalau musim ujian otomatis semua menjadi serius.

Semua kamar memiliki kamar mandi sendiri. Desain kamarnyapun bagus sekali. Demikianlah keadaannya sehingga banyak sekali teman setiap penghuni berdatangan setiap hari karena indah dan bagus sekali kost yang seperti hotel ini. Ke sinilah dulu teman-temanku sering datang, seperti Erik, Totok dan sebagainya.

Walaupun hanya menerima laki-laki, tempat kost ini dilengkapi dengan penjaga keamanan baik siang maupun malam.
Meskipun sebenarnya setiap kamar sangat nyaman untuk tempat menyimpan semua peralatan, ada juga beberapa teman yang tidak menyimpan semua peralatan di dalam kamar. Mungkin juga karena kami semua merasa seperti bersaudara, jadi tidak terlalu kuatir meletakkan beberapa barang di luar pintu kamar masing-masing. Kekecualian hanyalah aku, karena sudah menjadi kebiasaanku untuk menyimpan semua peralatanku di dalam kamar, jadi di luar kamarku pastilah paling bersih keadaannya.

Sekali ketika sedang enak tertidur di sekitar musim ujian tengah semester aku terbangun karena ada suara gaduh di luar. Dalam sekian detik periode peralihan tidurku ke keadaan bangun sepertinya ada nama teman-teman dipanggil-panggil dengan cara berteriak-teriak, dan rasanya ada juga namaku dipanggil-panggil. Setelah agak lebih sadar aku mendengar suara Tonny teman kami yang kalau dari kamarku akan segera terlihat kamarnya pada arah 45 derajat di kiri atas.
Teriak Tonny memanggil nama-nama teman itu begitu kerasnya dan berulang-ulang.

Tonny adalah teman yang lucu. Dia keturunan Chinese. Dikaruniai suara yang agak cerewet. Karena cerewetnya dia kami panggil Tonce. Sebenarnya dia cukup tenang dalam gerakan, tetapi agak berlebihan dalam mengomentari banyak hal. Sering dia mengomeli dirinya sendiri karena merasa kurang belajar. Kalau kami pergi makan roti bakar keluar kost atau melakukan apapun yang kurang berhubungan dengan belajar, dia mulai mengomeli keadaan agar dia bisa belajar. Lalu dia biasanya belajar sampai pagi (jam 3 atau 4 pagi).
Dia sangat concern untuk melakukan sesuatu dengan sempurna dalam segala hal. Pernah ketika kami diplonco dia menyiapkan minuman yang dia anggap akan membuat dia "strong" sepanjang hari. Dia campur susunya dengan berbagai macam campuran lain (akupun sudah tidak ingat lagi apa saja dimasukkannya ke dalam mug minumannya/madu, telor, berbagai minuman penguat dan entah apa lagi). Lalu ketika dicemplungkannya lagi ke dalam multi campuran itu vitamin C dosis tinggi maka dia berteriak-teriak keras karena multi campuran itu mendadak muncrat ke atas setinggi hampir satu meter entah karena reaksi kimia apa. Persis seperti air mancur/muncrat. Berteriak-teriaklah dia histeris menceritakan pengalamannya itu kepada kami yang cuma bisa ketawa-ketawa sambil mengucapkan: Tonce ..... Tonce ........ada-ada aja Lu. Harusnya Lu taro tu gelas di lantai, lalu mulut Lu nangkep muncratannya sambil berdiri, kata kami.

Begitulah pagi subuh sekitar dekat jam 5 pagi yang dingin di Bandung itu, aku buka pintu kamarku. Ternyata si Tonce lompat-lompat sambil berteriak: Rul, sepatumu hilang ngga? Aku bingung kenapa dia tanya-tanya sepatu sepagi itu. Aku melihat ke dalam kamarku, sepatuku semua ada kok. Lalu kujawab sambil agak berteriak juga: Ada Ton, kenapa rupanya? tanyaku.
Cepat dia menjawab, Banyak yang kehilangan sepatu! Maling, ada maling! Hei semua bangun, bangun ooi! begitulah teriaknya. Lalu mulailah teman-teman lain berbangunan dan rupanya sepatu yang mereka letakkan di luar kamar telah raib. Setiap melihat teman bangun dan sudah dilihat Tonce sepatu mereka lenyap maka lompat-lompatlah si Tonce merasa geli karena orang kehilangan sepatu.
Wuaha ha ha ha ..... sepatu Lu hilang ya. Si anu juga hilang ......... si anu sana juga hilang ......... dan seterusnya.
Akhirnya kami semua keluar dan dari depan kamar masing-masing melihat ke samping dan ke atas saling melaporkan keadaan, Gimana, Lu ilang ngga? Yang ditanya menjawab, Wah iya eh, dua pasang lagi!
Begitulah, banyak sekali teman kehilangan sepatu. Ada yang kehilangan sepasang, ada yang lebih. Untuk setiap konfirmasi kehilangan, si Tonce lompat-lompat karena merasa lucu sekali.

Yah kami semua cuma geleng-geleng kepala. Bagaimana bisa begini? pikir kami. Kemana rupanya penjaga "hotel" kami. Begitulah kecamuk pikiran berseliweran. Toncepun melaporkan bahwa tadi dia masih belajar sampai jam 4 pagi, lalu tidur. Dia seperti merasa ada orang mondar-mandir mengendap-endap katanya. Waktu dia hidupkan lampu kamarnya dan melihat ke luar, dilihatnya katanya sejumlah kamar tidak ada sepatunya lagi di depannya. Itulah makanya dia berteriak-teriak membangunkan orang untuk mengatakan pada mereka sepatu mereka hilang.

Semua kami masih saling bicara dari pintu kamar kami masing-masing. Si Toncepun sudah mulai tenang. Secara alamiah kami jongkok di pintu kamar masing-masing.
Tiba-tiba si Tonce melompat-lompat lagi sambil berteriak sekeras-kerasnya, Wuaha ha ha ha ha ha ha, katanya. Rupanya sepatu Gua juga hilang !!!! Ha ha ha ha ha ...., katanya sambil tertawa tiada henti.

Bangkitlah kami semua lagi dari jongkok kami lalu bertanya kepada si Tonce, Lho rupanya dari tadi Lu ngga tau kalo sepatu lu juga ilang? tanya kami. Ngga!!! katanya sambil ketawa makin hebat. Gila lu, kata kami semua. Ngetawain orang ilang sepatu sambil lompat-lompat di depan kamar, tapi ngga tau kalo sepatu Lu juga ilang. Dasar Tonce! teriak kami pada dia.

Itulah pagi lucu tapi menyedihkan bagi kami semua (cuma aku dan Yanto kalau tidak salah yang tidak kehilangan).
Rupanya memang maling datang pagi itu ke "hotel" kami.
Kami melapor kepada pemilik tempat kost. Lalu diadakan sidang tertutup. Pemilik keberatan kalau dilaporkan ke polisi, mungkin takut kalau citra "hotel" kami tercoreng.
Kalau tidak salah memang ada kerjasama antara maling dengan penjaga keamanan kami.
Pemilik kost membayar ganti rugi yang agak fair untuk teman-teman yang kehilangan.

Beberapa tahun kemudian sesudah aku dikaruniai anak-anak, mereka kubawa ke KBB 45. Ternyata keadaannya sudah sangat menyedihkan. Kotor, rusak, jelek dan sebagainya.
Aku gagal melukiskan secara nyata pada anak-anakku tempat kostku dulu di KBB 45 yang permai itu. Entah apa hari ini KBB 45 masih beroperasi.

Landong sakit

Di tempat kostku yang artistik di Jl. Ciung Wanara 20 pernah ada kejadian menarik.
Landong P. Silalahi adalah salah seorang teman kostku di sana. Sekali masa dia persis di sebelah kamarku (kelak aku pindah ke kamar yang satu lagi yang berbentuk penthouse).

Landong menderita sakit suatu kali. Dia demam, tidak punya kekuatan, perutnya sakit dan lain sebagainya. Karena suatu sebab berkenaan dengan orangtuanya (bukan masalah keuangan) dia memutuskan untuk tidak memberitahukan sakitnya kepada pihak orangtuanya di Jakarta. Seorang adik perempuannya yang juga kuliah di ITB dan tinggal di Bandung juga mensupport ide untuk tidak memberitahukan ke Jakarta.

Tetapi aku sangat kasihan melihat Landong. Beberapa kali aku menjenguknya ke kamarnya. Dia cukup menderita kala itu. Setiap hari dia kedinginan (berselimut tebal), tidak bisa makan dan sebagainya.
Naluriku membawa keputusanku untuk menolong dia. Diapun tidak mau ke dokter, tapi bukan masalah keuangan. Maka mulailah aku mencoba menolong dia sedapat yang kusanggup. Karena di kost itu aku dianggap komandan, maka aku mengatur agar Mbok memasakkan khusus bubur untuk Landong. Bila bubur sudah masak dengan sepotong telor rebus dan garam kucoba menyuapi Landong makan. Memang dia tidak berselera untuk makan, tetapi setidaknya adalah yang dimakannya. Lalu aku mengusahakan agar Mbok bisa juga setiap saat bisa mengambilkan es batu dari lemari es empunya kost agar aku bisa mengompres kepala Landong dengan handuk. Panas tubuh Landong sendiri entah kenapa kucatat dengan rapih setiap 1 jam sekali, kecuali ketika aku harus kuliah atau keluar rumah untuk keperluan khusus.
Entah kenapa akupun merasa terdorong untuk menolong membersihkan ketika dia muntah beberapa kali.

Tiga atau empat harian berlalu, berdasarkan data panasnya yang tidak mau turun dan polanya sangat tidak teratur membuat aku memutuskan biar bagaimanapun Landong harus dirawat di rumah sakit. Lalu aku menelepon adik perempuannya di kostnya untuk datang.
Ketika adiknya datang, kuutarakan bahwa keadaan ini tidak boleh dibiarkan. Apapun yang terjadi Landong harus pulang ke Jakarta dan dirawat di sana.
Karena aku agak menekan dalam keputusanku, maka adiknya membawa Landong pulang juga ke Jakarta.

Dari Jakarta kudapatkan kabar bahwa Landong dirawat di rumah sakit karena terkena penyakit Lever. Ada hampir tiga minggu Landong di Jakarta.

Ketika Landong pulang kembali ke Bandung, dia telah sehat. Dengan senang dia menemui aku. Akupun sangat senang karena melihat dia telah sehat kembali.
Lalu katanya orangtuanyapun ikut dengan dia ke Bandung, menginap di hotel. Menurut dia orangtuanya mengundang aku untuk makan malam dengan keluarganya itu.


Maka pergilah kami semua ke restoran Queen di Bandung untuk makan malam yang enak. Kalau tidak salah adikku Tigorpun ikut. Orangtuanya (Bapak dan Ibu Silalahi) khusus mengucapkan terimakasih untuk apa yang sudah kulakukan bagi Landong.
Kami semua senang dalam makan malam yang enak itu.

Bagiku sebenarnya (seperti jawab pendekku atas kata sambutan orangtua Landong di restoran Queen), apalah sebenarnya yang terlalu hebat telah kubuat. Perasaanku timbul untuk menolong Landong hanyalah panggilan kesetiakawanan sebagai sesama teman kost. Landongpun banyak berbuat baik kepadaku dan adikku Tigor.

Tapi itulah bunga-bunga hidup. Sudah dua kali aku diundang khusus oleh orangtua teman-temanku untuk thanksgiving dinner.

Sekarang Landong menjadi pemimpin proyek Pertamina untuk tugas di Libya. Beberapa kali bila dia ke Jakarta, kami bertemu, makan dan bercanda. Dengan dia kami merasa dekat sekali seperti saudara kandung (istrinyapun kami kenal baik sejak masih di Bandung).

Itulah persaudaraan sepenanggungan (Dongan sapartinaonan).

Thursday, April 2, 2009

Totok dan Erik

Telah kuterangkan dalam tulisan sebelumnya bahwa Erik adalah seorang jagoan. Seorang teman lain yang tinggal tidak jauh dari tempat tinggal Erik (kalau tidak salah sekitar jalan Caladi) bercerita bahwa karena rendah hatinya Erik justru lebih sering berlatih malam hari. Dia sangat enggan dilihat-lihat orang dalam memeragakan kehebatannya. Beberapa teman yang pernah melihatnya berlatih menjelaskan beberapa gerakan hebat yang dikuasai Erik.

Erik seorang yang baik hati. Ganteng dan berbadan sangat bagus. Periang dan penolong. Gayanyapun tidak jadul. Tidak pula kuper kepada perempuan.

Kalau kami bertanding olahraga maka dia tampil sebagai salah satu jagoan kami. Orangnya ulet dan tidak gampang menyerah. Dalam pelajaranpun ok. Dia masuk jurusan Teknik Industri. Dulu jurusan itu adalah peringkat ke 2 dalam urutan IP rata-rata.

Sekali kami camping di suatu tempat yang cukup tinggi di puncak gunung, di hamparan kebun teh. Dingin sekali tempat itu. Matahari hanya terlihat 2 jam yaitu jam 11 siang sampai jam 13 siang. Selebihnya gelap seperti jam 4 atau 5 pagi umumnya atau gelap sama sekali di waktu malam. Itu adalah pengalaman camping yang sangat memorable. Begitu dinginnya, aku ingat bila kami memasak air panas maka pancinya bisa kami pegang bagian luarnya meskipun di dalamnya air sedang mendidih. Dalam dua jam munculnya matahari itu kami bermain bola atau berolahraga apa saja karena selebihnya kami kedinginan, meski telah berbaju hangat dan berjaket berlapis-lapis. Kami sering menunggu jam 4 pagi di mana kami akan mendengar deru angin diiringi hawa dingin luar biasa.

Ada sebuah sisa rumah yang tidak dihuni lagi di salah satu ketinggian. Temboknya masih ada di beberapa tempat walaupun di beberapa tempat lain sudah jebol. Atapnya beberapa bagian sudah ambrol. Untuk melawan dingin kami memutuskan untuk tidak membangun kemah tetapi menggunakan rumah tidak lengkap itu. Kami membersihkannya, menutup sebagian atap dan melapis dengan kayu beberapa bagian dinding.
Semua kami bekerja keras. Kebetulan akulah Ketua Kelas T06 78 saat itu, menggantikan Wied (Widjaja Hadinukerto).
Sampailah kami ke persoalan menghancurkan beberapa dinding beton di dalam rumah agar kami bisa memiliki ruangan agak luas. Banyak kami yang pusing mencari palu dan alat pemukul lain untuk menghancurkan sejumlah dinding. Ternyata cara kami tidak efektif dan lama.

Di saat itu Erik muncul sambil berkata, coba saya tendangi ya, katanya. Tahukah apa yang terjadi? Kami cuma menyaksikan seorang jagoan karate dengan tenangnya menendangi sampai hancur beberapa bagian tembok. Gerakannya santai saja. Aku teringat Bima dalam cerita pewayangan yang sedang membabat hutan Dandaka untuk membangun Indraprasta.

Begitulah Erik. Betapa banyak kehebatannya. Jadi yang sekarang membuat kami bertanya dalam hati adalah, adakah kelemahan dari Erik? Semua juga bertanya seperti itu di dalam hati. Mungkinkah Erik memiliki kelemahan?
Ternyata belakangan baru kuketahui bahwa Erik yang hebat itu tidak bisa berenang! Tapi atas kelemahannya ini dia minta aku tidak mengatakannya kepada siapa-siapa. Sejak saat itu aku sering bercanda dengan dia, Sekarang aku tidak takut lagi berantem dengan kau Rik. Aku akan tantang kau dekat air, kataku. Dia ketawa mendengar tantanganku.
Lucunya, mungkin diapun pernah keceplosan kepada teman lain ada juga yang mengetahui kelemahannya ini, salah satu yang mengetahuinya adalah Totok.

Aku minta maaf pada Erik untuk membeberkan cerita dalam tulisan ini walaupun Erik pernah bilang beberapa tahun yang lalu untuk tidak mengungkapkan kelemahannya ini. Aduh Kawan, janganlah sebut-sebut lagi itu, katanya ketika dia kutelepon beberapa waktu yang lalu sambil bertanya apakah dia sekarang sudah bisa berenang. Aku memutuskan mempublish cerita ini semata mempererat persahabatan. Aku yakin sekali Erik tidak akan marah. Betul kan Rik?

Juga dalam kepemimpinanku sebagai Ketua Kelas, kami suatu saat berwisata ke pantai Pangandaran. Senang sekali kami kala itu. Setiap waktu kami lewati dengan sukacita meskipun udara cukup panas.
Karena aku baru sembuh dari demam, aku memutuskan untuk tidak berenang di laut. Betapa heran kulihat Erik senang sekali pergi ke laut. Beberapa kali dia mengajak aku ke laut, tapi selalu kutolak. Totok dan Eriklah motornya teman-teman untuk berenang ke laut. Sekali aku berbisik ke Totok. Bukankah Erik tidak bisa berenang? tanyaku kepada Totok. Totok menjawab dengan ketawa geli sekali, Justru itulah Kawan, katanya, Erik selalu meminta aku mendorong dia. Sementara dia memakai ban. Ban tidak pernah lepas dari badannya, dan dia selalu minta aku mendorongnya. Lalu sambil ketawa menyimpan maksud, Totok mengatakan padaku sekali ini dia mau mengerjai Erik.
Erikpun dari pantai sudah terus memanggili Totok. Lalu sambil ketawa kepadaku Totok berlari ke pantai dan mereka menceburkan diri ke laut. Aku dan hampir semua teman yang tidak berenang mendatangi pantai di sore itu. Terlihat Totok sudah mendorong Erik cukup jauh dari pantai. Lalu secara kami tidak sadari Totok berenang ke tepi, meninggalkan Erik di tengah laut. Barulah kami lihat di kejauhan Erik teriak-teriak, Totoook, Totoook .... gua bunuh Lu.
Totok sudah sampai di pantai sambil ketawa-ketawa. Kamipun semua ketawa-ketawa di sore menjelang senja itu.

Beberapa saat kemudian tiba-tiba entah dari mana kami melihat sebuah perahu motor bergerak cepat ke tengah laut (Samudera Hindia). Kami semua terpana sampai tidak sadar perahu itu telah mendatangi kami di pantai sambil membawa Erik. Ternyata mereka adalah Pengawal Pantai.
Salah seorang dari mereka bertanya siapa pemimpin kami. Aku menunjuk tangan. Lalu aku didatangi. Kata mereka perbuatan ini tidak boleh diulang. 5 menit lagi saja kalau tadi Pengawal Pantai tidak datang, Erik akan terseret ke tengah Lautan dan tidak akan dapat diselamatkan lagi.
Betapa terperanjatnya kami dan kami minta maaf serta berterima kasih.
Para Pengawal itu kemudian pergi. Lalu Erik mengejar Totok. Mereka berkejaran entah ke mana. Yang pasti mereka muncul lagi kemudian sambil berpeluk-pelukan tertawa-tawa.

Syukurlah tidak terjadi apa-apa waktu itu. Semua adalah juga kemurahan Tuhan Yang Maha Kuasa.

Sekarang Erik menjadi salah seorang Eksekutif di Bank Mandiri.

Salam Sahabat. Kiranya sukses selalu.

Erik

Erick (Erik) adalah kawan baikku juga di tingkat I. Semua kami di T06 mengenal Erik sebagai seorang kawan yang baik hati. Orangnya periang, optimistis, santai dan pengawan. Tubuhnya berotot bagus, atletis dan geraknya lincah.
Sekali sepulang sekolah aku menanyakan padanya apakah olahraganya. Dengan santainya dia jawab bahwa dia senang bermain volleyball. Wah karena akupun senang main volley maka kukatakan senang sekali kalau kita bisa bermain bersama.

Di awal kuliah Erik sering datang ke tempat kostku yang terletak di Jl. Kebon Bibit Barat No. 45. Kami yang tinggal di situ menyebut diri kami Kelompok KBB 45.
Sering Erik datang untuk belajar bersama di kamar kostku.
Dalam kedatangan-kedatangannya tentu kami juga bercerita dan berdiskusi tentang banyak hal. Erik yang keturunan Kawanua adalah seorang teman bicara yang baik. Dia bisa mengimbangi pikiran kita dengan baik. Segala hal yang menarik perhatian kami, kami bicarakan dan obrolkan. Mulai dari politik, pemerintahan dan lain sebagainya sampai ke olahraga.

Sekali kami membicarakan topik seputar olahraga beladiri. Aku kebetulan seorang yang amat menyukai dan mengamati banyak hal. Senang sekali aku memotret dalam hatiku banyak hal yang menarik perhatianku. Biasanya orang senang dan menikmati sekali ketika aku mengeluarkan lagi apa yang ada di hatiku itu.
Begitulah mulai dari membicarakan soal tinju. Aku pengamat tinju sudah lama. Dengan fasih aku dapat meretrieve banyak fakta tentang tinju, apalagi kelas berat. Padahal kebanyakan itu kudapatkan dari bacaan atau menonton televisi/rekaman dokumenter. Aku dengan senang akan menceritakan tentang Jack Dempsey, Rocky Marciano, Max Baer sampai kepada Joe Louis. Aku ceritakan kehebatan mereka masing-masing. Selain aku ceritakan pula Jack Dempsey yang bisa sekali pukul membengkokkan tiang listrik dari besi. Rocky Marciano memecahkan kepala banteng aduan. Joe Louis (AS) mematahkan tulang rusuk Max Scmelling (Jerman) di sekitar Perang Dunia ke II.
Apalagi tentang petinju-petinju seputar jaman remajaku seperti Mohammad Ali yang bisa kuperagakan dengan baik gaya "float like a butterfly and sting like a bee"nya, atau gaya "rope a dope"nya, bahkan ducking, weavingnya. Belum lagi jab, counter dan hook/long hooknya yang dilontarkan sambil mengejek lawannya. George Foremanpun agak bisa kutirukan gayanya. Joe Frazier, Floyd Patterson, Oscar Bonavena dll kutahu sekali gayanya.

Mengimbangi cerita-ceritaku Erik sangat menyukainya. Itu terlihat sekali dari pancaran matanya yang menyatakan kesukaannya. Kami berdiskusi dalam sekali dalam hal ini.

Pembicaraan bergeser ke beladiri. Mulailah kami bicarakan tentang Judo, Tae Kwon Do bahkan sampai kepada Karate. Kebetulan yang kuketahuipun ada jugalah tentang beberapa jenis beladiri ini. Aku tahu bahkan sampai pada kembangan pukulan intinya perbedaan Karate Non Contact dan Full Body Contact. Akupun agak tahu sampai ke beberapa gerakannya perbedaan gaya pukul Lemkari, Inkai sampai ke Kyokushinkai.
Salah satu yang sangat menarik perhatian Erik adalah ketika aku memeragakan bagaimana juara dunia karate Non Contact waktu itu memenangkan finalnya yang gemilang. Aku memeragakan bagaimana dari gerakan siapnya (awal pertandingan), dengan satu gerakan harmonis memasukkan satu kali saja pukulan langsung ke ulu hati lawannya, lalu langsung kembali ke posisi siap dan menang Ippon (kemenangan KO sempurna, seperti skak mat dalam catur).

Beberapa kali adegan ini kami ulangi. Erik memeragakan lawan yang dikalahkan dan aku memerankan sang juara dunia. Hal ini kukuasai benar karena aku melihat film rekaman pertandingan itu, di mana gerakan itu berulang kali diputar dalam gerakan lambat.
Erik berkali-kali meminta aku menjelaskan kembali gerakan itu. Beberapa kali dia menggeleng-gelengkan kepala menyatakan kekagumannya akan gerakan itu. (Sering Erik curiga bahwa aku disangkanya seorang karateka. Padahal kubilang aku hanya seorang pencinta karate dan pengamat)
Semua itu kami lakukan di kamar kostku di KBB 45 itu.

Sekali waktu datanglah libur panjang. Banyak kami kembali ke kota masing-masing. Setahuku Erik berasal dari Surabaya tapi sudah cukup lama tinggal di Bandung sebelum masuk ke ITB.
Waktu libur itu sedang dilangsungkan PON (Pekan Olah Raga Nasional). Di tengah libur ada beberapa kali aku memutar TV untuk melihat beberapa tayang langsung dari berbagai arena. Tak kusangka suatu saat disiarkanlah final karate untuk kelas berat (kalau tidak salah). Dalam karate kelas dinyatakan dalam ukuran berat (satuan kg berat). Penyiar mengumumkan bahwa salah seorang yang akan tampil di final adalah karateka dari Jawa Barat, bernama Arnold Frederick Lumanauw. Betapa kagetnya aku, karena setahuku itu adalah nama panjang dari Erik, temanku.

Ketika dia disorot, ternyata betullah bahwa karateka dari Jabar itu adalah Erik sahabatku. Dia penyandang Black Belt. Astaga malunya aku bahwa selama ini aku sok tahu di depan seorang juara karate nasional. Aku benar-benar terkelabui. Dan bukan aku saja, ternyata banyak juga teman sekelas yang tidak tahu bahwa Erik adalah salah seorang juara karate nasional. (Erik sempat beberapa kali mewakili Indonesia ke event internasional karate, termasuk Olimpiade)
Bisa dibayangkan bagaimana sumpah serapahku waktu ketemu lagi dengan dia di kuliah setelah libur itu bukan? Yang jelas kata "sialan" pastilah beberapa kali keluar.

Itulah Erik yang benar-benar rendah hati. Sampai kepada aku sahabatnyapun dia tidak perlu untuk membangga-banggakan diri. Aku dan semua teman sangat bangga memiliki seorang teman yang jagoan tapi rendah hati ini. Bahkan ketika dikonfrontirpun dia hanya senyum-senyum saja.

Sekali waktu kelas kami dikepung sejumlah senior dari salah satu jurusan yang punya masalah dengan salah seorang teman kami. Kami semua siap untuk membela teman kami itu. Erikpun ikut menemani, tetapi dia selalu tenang dan mengatakan sedapat mungkin tidak perlu kita berkelahi. Di suatu tempat yang sudah dijanjikan, kami semua datang untuk menemani teman kami yang bermasalah itu. Di antara kami Erik duduk saja berjongkok dengan tenang di salah satu sudut.
Ketika senior-senior sudah datang mengepung dalam jumlah banyak, pemimpinnya begitu sombong menantang kami. Kelihatannya mereka tukang-tukang pukul juga. Sambil mengelilingi kami satu persatu dia menantang-nantang kami. Betapa kagetnya dia melihat salah seorang dari kami yang duduk jongkok dari tadi melihat ke bawah (tanah) tanpa suara.
Eh, Elu Rik!, kata senior itu kaget. Iya, jawab Erik tersenyum.
Waaah, Gua kagak tau Lu dari tadi di sini, kata senior itu kemudian. Kontan senior itu ikut jongkok dan berubah jadi seperti orang paling baik hati di seluruh dunia dan berbicara sopan sekali dengan Erik.
Sore itu senior-senior itu pulang tanpa ada perkelahian dengan pihak kami. Belakangan baru saya tahu bahwa pemimpinnya itu juga seorang karateka, tapi kemampuannya masih di bawah Erik.

Kontras sekali bukan, yang mana yang juara sejati dan yang mana yang macan ompong?

Ferry dan Agus

Ferry dan Agus adalah teman-teman tingkat I yang pernah tinggal bersama aku di Jl. Ciung Wanara 20.
Mereka datang bergabung setelah mendapat informasi dari aku. Ferry tinggal di kamar yang persis di sebelah kamarku. Agus jauh di kamar yang paling ujung. Di rumah kost itu ada 7 kamar. Masing-masing kamar diisi satu orang.

Rumah kami di CW 20 adalah rumah yang paling dekat dengan kampus. Tempat-tempat lain yang dekat dengan kampus adalah asrama-asrama, seperti Asrama B, Asrama F, Villa Merah dlsb. Tapi kalau rumah, yang terdekat dengan kampus adalah rumah kami. Berdekatan dengan rumah kami adalah asrama mahasiswa asal Bali, lalu tempat kost (cukup banyak kamarnya) di mana tinggal dua bersaudara terkenal Amir Sambodo dan Umar Djuoro.

Tapi karena dekatnya (paling-paling 5 menit berjalan kaki ke ruang kuliah), akulah yang paling sering terlambat masuk kelas.

Rumah ini kudapati kosong ketika aku mencari-cari tempat tinggal yang lebih dekat dari rumah kost sebelumnya di Jl. Kebon Bibit Barat No. 45. Ibuku selalu mendesakku agar mendapatkan rumah yang lebih dekat dengan kampus agar beliau lebih tenang di Jakarta.
Tadinya rumah kost ini adalah rumah kost putri. Karena lama kosong, jadi kamar-kamarnya cukup kotor. Belakangan baru kutahu bahwa rumah ini sudah lama tidak didatangi oleh pencari kost karena katanya banyak hantunya. Orang takut dan tidak mau tinggal kost di situ.
Semua saya tahu ketika saya sudah masuk dan membayar kost di situ. Secara manusia sempat juga aku agak takut ketika mulai tinggal di situ. Seorang diri pula. Tapi kuserahkan semuanya kepada Tuhan.
Setiap ada orang yang sudah lama di Bandung bertanya di mana aku tinggal dan kujawab di Jl. CW 20, Oh rumah yang ada hantunya itu ya? tanya orang. Udah pernah diganggu? tanya mereka pula.
Selalu kujawab, Tidak pernah. Barangkali hantunya takut sama orang Batak.

Sebenarnya rumah kost ini sangat cantik. Struktur dan dindingnya terbuat dari kayu, demikian pulan dengan lantainya. Terletak di lantai 2. Meskipun seperti diletakkan di atas rumah utama (masuk harus dari pintu samping dekat garasi), tetapi dalam kesehariannya kita tidak berkontak langsung dengan pemilik rumah.
Indah dan artistik tempat kost itu, bahkan kamarku kelak aku pilih yang berbentuk penthouse. Banyak orang senang dengan keindahan rumah ini. Karena dekatnya dengan kampus, rumah kami ini juga menjadi semacam pos untuk teman-teman yang belum mau pulang ke rumah masing-masing pada setiap harinya.

Ferry Tanzil dan Agus Kristianto adalah dua teman yang tertarik bergabung ke CW 20. Lalu ada lagi beberapa orang lain.
Ternyata Ferry dan Agus tidak akur. Ferry orangnya easy going dan supel. Agus orangnya serius walaupun bukan kaku sekali. Agus ini kelak menjadi mahasiswa angkatan kami dengan IP paling tinggi (980 dari maksimum 1000). Tidak ada yang menyaingi kerajinan dan kepintarannya. Semua orang yang terkenal pintar kalah angkanya dibandingkan dia. Sayang karena sifatnya yang tidak akomodatif, nasibnya di ITB hancur lebur (masuk Elektro, keluar, ujian lagi angkatan baru, masuk Sipil, dimusuhi kawan, dlsb.)

Di rumah, aku lebih berperan sebagai penengah bagi keduanya. Ferry benci sekali pada Agus yang sering membawa koran (iuran bersama) ke kamar dan tidak mengembalikan ke ruang tamu. Sudah ada perjanjian kami yang tinggal satu kost bahwa koran (yang dibayar dengan iuran bersama, demikian pula dengan makanan) harus dibaca di ruang tamu. Kalaupun mau dibaca sebentar harus cepat dikembalikan lagi ke ruang tamu.
Sering Ferry pulang ke rumah dan ingin makan di ruang makan, makanan habis. Usut punya usut ternyata Agus menyikat jatah Ferry. Kalau kencing di kamar mandi Agus sering tidak membersihkan/flushing.
Antar mereka tidak ada kontak. Akulah mediator mereka.
Pernah kutemui mereka hampir berkelahi. Ferry sudah sempat mengacungkan pisau roti ke leher Agus, di kamar makan.

Ketika suatu masa libur panjang datang, keduanya keluar dari CW 20. Biasanya kami pulang ke kota asal kami. Ferry ke Jakarta, Agus ke Semarang. Aku juga pulang ke Jakarta, tapi karena senang di CW 20, meski kosong kamarku tetap kubayar.

Ferry bercerita kepadaku ketika masa perkuliahan dimulai lagi dan semua mahasiswa telah kembali ke Bandung. Cukup sulit dia mencari kamar kost, apalagi Bandung makin padat mahasiswa dan tempat kost banyak yang penuh. Akhirnya di saat sudah agak sore dia mendapat satu kamar di dekat Jl. Pasteur. Pemilik rumah mengatakan hanya tinggal satu kamarnya yang masih kosong. Itupun untuk berdua. Pemilik minta maaf tempat tidurnya masih tempat tidur besar dan belum sempat membeli 2 tempat tidur kecil untuk 2 orang.

Ferry bertanya siapa orang yang satu lagi yang akan sekamar dengan dia nanti. Pemilik mengatakan mahasiswa ITB juga, baru tadi pagi masuk tapi sekarang sedang keluar sebentar. Barang-barang orang itu sudah diletakkan di kamar itu. Sebagian sudah disusun.
Ferrypun meletakkan semua barangnya, lalu keluar juga.

Sudah kebiasaan Ferry untuk pulang agak malam (kukenal kebiasaannya karena sekian lama kami bersama di CW 20). Hari itupun Ferry pulang larut malam. Dimasukinya kamar barunya yang gelap karena lampu kamar telah dimatikan oleh teman sekamarnya. Teman sekamarnya tampaknya sudah tidur lelap menghadap ke sisi luar tempat tidur.
Ferry merasa tidak enak untuk menghidupkan lampu kamar, apalagi membangunkan kawan setempat tidurnya. Diapun menarik selimutnya, menghadap ke sisi luar berlawanan dan mencoba tidur.

Sialnya kata Ferry, semalaman dia tidak bisa tidur karena bunyi jam model lama milik teman setempat tidurnya itu. Kata Ferry bunyinya tik-tok, tik-tok, dst. Jam itu tipe metal (warna perak, biasanya Made in China) yang diputar manual. Kalau alarmnya berbunyi, akan keras sekali bunyinya karena berbentuk 2 bel sepeda yang dipalu dengan palu metal pula. (Saudara pembaca pasti mengerti tipe apa maksudnya jam ini).
Belum lagi katanya kawan setempat tidurnya ini suka menarik-narik ke belakang selimut yang milik Ferry. Tangan itu bergerak ke belakang dengan lihainya melompati bantal guling yang sudah diletakkan Ferry sebagai batas antar kedua punggung mereka.

Tiba-tiba Ferry teringat teman/musuhnya dulu di CW 20, si Agus yang punya jam model begitu. Berkali-kali Ferry mencoba mengintip ke samping/belakang, jangan-jangan yang setempat tidur ini memang si Agus. Tapi Ferry gagal mengidentifikasi karena kamar gelap dan orang itu menghadap ke arah berlawanan.

Menjelang pagi barulah Ferry agak tertidur. Sial bagi Ferry tiba-tiba jam kurang ajar itu (kata-kata Ferry) berbunyi. Ferry menarik selimut menutup kuping dan kepalanya.
Dia mendengar orang di sebelahnya bangun, lalu beberapa saat kemudian di samping tempat tidur melakukan senam ringan.

Kali ini Ferry ingat betul, orang yang punya kebiasaan tidur cepat, bangun cepat dan senam ringan adalah Agus! Langsung Ferry bangkit dan berseru, Lu Agus ya?
Iya, jawab orang yang semalam setempat tidur dengan Ferry itu.
Sialan Lu, dari kemarin Gua curiga, tapi ngga bisa mastiin, kata Ferry. Agus malah terkekeh-kekeh.

Lalu Ferry bertanya, Dari kemaren Elu udah tahu Gua yang masuk di sebelah Lu?
Tahu, jawab Agus singkat. Gila Lu, kata Ferry.

Pagi itu juga Ferry langsung keluar dari rumah itu, mencari kost baru. Uang yang sudah dibayar direlakannya.

Darwin & Totok sakit typhus

Darwin dan Aswin sahabat awalku di tingkat I. Waktu itu kami sekelas di T06 masih bersama-sama dicampur walaupun terbagi dalam 3 fakultas (F MIPA/Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, FTI/Teknologi Industri dan FTSP/Teknik Sipil dan Perencanaan).
Ada kesamaan kami bertiga yaitu bicara dengan logat Medan.

Darwin dan aku tinggal di Jalan Aceh (aku di No 123, Darwin kalau tak salah di No. 56). Karena Jl. Aceh itu panjang sekali, jarak rumahku dan rumah Darwin sebenarnya cukup jauh. Tidak selalu aku dan Darwin bisa pergi dan pulang bersama-sama. Aswin tinggal di lokasi lain. Kompak sekali kami waktu itu. Hampir selalu kami bersama-sama. Duduk kuliahpun berdekat-dekatan. Kebetulan memang kami sama-sama FTI.

Kemudian hari kamipun menjadi kelompok lebih besar yang kompak dengan Lilik Muflihun, Totok (Bambang Sugiarto), Yanto (Bambang Widjajanto), Andi Rusli, Erick (Arnold Frederick Lumanauw), Dedi (Rinaldi Bahri), Ari (Azhary), Atmo (Bambang Sudiatmo), Kamser Lumbanraja dan lain-lain. Kawan-kawan kami yang perempuan antara lain Eni, Yance, Mira, Karen, dll.

Suatu hari aku dan Aswin baru menyadari bahwa sudah dua tiga harian Darwin tidak masuk kuliah. Ke mana gerangan kawan kami itu?
Setelah masuk hari ke sekian, aku dan Aswin memutuskan datang ke rumah kost Darwin setelah pulang kuliah.

Kamar kost Darwin adalah eks garasi dari sebuah rumah. Dari jauh kami melihat bahwa motor Darwin (Honda bebek warna hijau) ada diparkir di luar. Kami bertanya-tanya dalam hati.
Setelah masuk ke rumah, kami minta ijin pada yang punya rumah untuk masuk ke kamar Darwin. Rupanya yang punya rumah tidak terlalu memperhatikan mereka yang kost pada rumah mereka, apalagi kamar Darwin/eks garasi secara bangunan terpisah dari rumah utama.

Setelah diijinkan, kami mendekati pintu kamar Darwin. Tidak ada jendela yang menghadap ke luar (mungkin yang ada menghadap ke samping atas atau ke belakang). Betapa kaget ketika kami intip dari lubang kunci, kuncinya kamar Darwin ada! Berarti Darwin pasti di dalam, pikir kami.
Mulailah kami mengetuk-ngetuk. Karena tak berjawab kami mulai memanggil nama kawan kami itu dengan suara keras. Lama-lama kami mulai menggedor-gedor dan memanggil-manggil namanya dengan berteriak.

Lantaran tidak ada jawaban juga, seingat aku mulailah kami mengadakan gerakan mundur beberapa langkah ke belakang, lalu lari cepat ke depan menerjang pintu kamar Darwin. Karena badanku lebih besar dari Aswin, seingatku gebrakankulah yang berhasil membuka pintu yang tadinya terkunci itu.

Betapa terkejutnya kami mendapati Darwin dalam keadaan sangat lemah, tidak bisa bergerak. Mukanya pucat, lemas sekali. Dia berselimut beberapa lapis dan bibirnya putih sekali.

Kami membawa Darwin ke rumah-sakit. Rupanya dia terserang typhus. Syukurlah akhirnya Darwin sembuh dan kami bersama-sama lagi.

Beberapa tahun kemudian aku mendapat cerita dari Lilik. Rupanya sahabat kami yang baik dan lucu minta ampun, Totok juga pernah sakit typhus. Kali ini aku betul-betul tidak tahu cerita ini pada waktu itu.
Menurut penuturan Lilik, Darwinlah yang mencari dan mendatangi Totok di tempat tinggalnya yang sangat sederhana (kalau tidak salah sekitar Sekeloa, betul/salah?).

Darwin mendapati Totok sedang sakit. Ei, kenapa kau? kata Darwin. Dengan lemas Totok menjawab, aku sakit Kawan.
Lalu Darwin berkata, Sudah ke dokter kau? Totok menjawab, Belum Kawan, aku nda' punya duit.
Wah .. wah .. kata Darwin, Sudah makan kau?
Belum Kawan, aku betul-betul ngga punya duit, kata Totok.
Lalu Darwin menyahut, Tunggu sebentar ya! Bergegaslah Darwin pergi meninggalkan Totok. Beberapa jenak kemudian dia datang lagi membawa nasi bungkus. Totok bertanya, Wah apa ini Kawan? Darwin menjawab pendek, Pokoknya makanlah!

Ternyata yang dibawa Darwin adalah nasi Padang! Totok shock berat. Bukan hanya karena kebaikan Darwin, tetapi bagaimana caranya makan nasi Padang dalam keadaan sakit typhus?!
Pertama, sahabat kami Totok adalah orang Jawa (timur). Saudara-saudara dari Jawa biasanya tidak kuat makan yang pedas-pedas. Kedua, bukankah orang sakit typhus tidak boleh makan yang pedas! Betapa berrisikonya sebenarnya makan nasi Padang tsb.
Tapi, mungkin karena sudah begitu lapar, Totok makan juga nasi Padang itu sambil sebentar-sebentar kepedasan.

Rupanya Tuhan memberkati niat baik Darwin itu. Sahabat kami Totok akhirnya kemudian sembuh dari typhusnya! What a miracle!

Menurut cerita, sampai hari ini Totok tidak pernah lupa akan kebaikan Darwin.

Sekarang Totok sudah menjadi pengusaha besar meubelair dan furniture di Cirebon. Setiap saat harus berpameran di Jerman, Belanda, dan manca negara lain. Kami semua selalu diundangnya untuk datang ke sanggarnya di Cirebon. Dia menikah dengan Yance, kawan sekelas kami juga yang sudah "jadian" sejak kami kuliah di Bandung.

Darwin Syam Siregar sekarang telah menjadi pejabat tinggi di Pemda DKI Jaya. Banyak sudah karyanya yang membanggakan. Tidak mudah tentunya sekarang mengganggu Big Boss ini.

Kawan kami Karen sekarang menjadi Dirut Pertamina. Waw! Luar biasa! Syukurlah dia tetap baik dan ramah kepada kami semua.

Mereka semua adalah sahabat-sahabatku yang baik. Syukurlah sekarang kami agak sering bertemu lagi setelah terjadinya Reuni Besar Angkatan 78 tahun 2008 yang lalu.
Mereka tetap baik, tidak sombong. Semua kami ingat akan masa-masa lalu yang penuh kenangan. Bukankah itu semua berkah dari Tuhan Yang Maha Kuasa? Bukankah itu menjadi harta kami bersama yang tak ternilai?

Special Note: Hanya Aswin Tobing yang belum kami dapatkan kabarnya. Di manakah engkau sekarang Sahabat? Salam hangat dari kami semua.
Kabari kami kalau kau terima salam kami.

Wednesday, April 1, 2009

Darwandi jadi Arsitek!

Darwandi adalah teman baik saya di SMA. Selalu senang berkawan dengan Darwandi. Rasanya banyak teman juga merasa demikian. Nama lengkapnya Darwandi Tenggara.
Dua masa selama SMA saya sekelas dengan dia.

Kebetulan nilai-nilai saya di SMA cukup baik. Kebalikan dengan Darwandi. Satu-satunya mata pelajaran yang dia suka dan mendapat nilai lumayan adalah menggambar.

Mungkin Darwandi yang "milik" semua teman ini jadi kurang waktu untuk dirinya sendiri. Karena kebaikannya dia menjadi tempat "curhat" banyak teman, baik laki-laki maupun perempuan. Orangnya supel dan murah hati, tidak pernah bisa diam untuk tidak menolong temannya. Dia selalu riang, lucu dan pembuat suasana gembira.

Mungkin karena kekurang-waktuannya untuk belajar, dia sering mendapat nilai kurang baik. Pernah dia dengan seorang teman mendapat nilai 0 (nol) untuk sebuah mata pelajaran. Guru kami cukup sadis. Angka nol itu dibuat besar di kertas ulangan dengan warna merah. Lalu oleh guru itu angka tersebut dihias menjadi wajah seseorang (ada mata, hidung, mulut, dsb.) Mulut wajah itu cemberut dan dari mata wajah tersebut dilukiskan air mata yang berjatuhan.
Akan tetapi Darwandi dan teman se"skor" yang kebetulan satu meja justru ketawa-ketawa dan bersalaman sambil berkata: "Sama nasib kita!"

Tidak seperti biasanya, menghadapi selesai SMA dan akan masuk perguruan tinggi Darwandi tidak seceria biasanya. Barangkali dia berpikir keras akan nasibnya di kemudian hari.

Sebagai teman, saya sedih melihat dia kurang ceria. Setelah lulus dari SMA (dia bersyukur bisa lulus juga), saya bertanya ke mana dia bermaksud meneruskan pendidikan. Dengan cemberut dia bilang agar saya tidak terlalu memikirkan dia. Saya katakan padanya, mengapa dia harus berpikir begitu?
Lalu dia bilang bahwa bagi kamu (maksudnya saya), tidak ada masalahlah untuk terus ke PT, tapi untuk dia katanya, mana ada tampang dia bakal diterima di PT.
Mana mungkin Kawan?, katanya. Saya kan orang paling goblok dari kita semua! (ini perkataannya yang tidak pernah saya lupakan sampai saat ini).

Saya sangat tergugah akan kata-katanya. Lalu saya sampaikan apa yang ada di pikiran saya, "Dar, saat ini kita dalam posisi sama. Ujian masuk PTN (PP I) yang akan datang tidak melihat apa nilai kita di SMA. Yang penting siapa bisa mendapat nilai baik pasti akan diterima."
Lalu dijawabnya, "Nah itu masalahnya. Kan saya tidak punya modal untuk bisa nanti mengerjakan soal ujian PP I yang akan datang?"

Kemudian saya katakan, bahwa dalam waktu dua bulan ini saya akan mengikuti bimbingan tes intensif. Kebanyakan teman juga akan mengikuti bimbingan tes ini. Jadi saya tekankan pada dia bahwa dia harus ikut dan mempersiapkan diri baik-baik. Tokh semua kita berangkat dari nol, ujar saya.

Bimbingan tes intensif yang dua bulan membuat saya belajar habis-habisan, bahkan pulang ke rumahpun saya selalu mengunci kamar untuk belajar. Darwandi kurang saya perhatikan dalam bimbingan tes ini, tetapi saya cukup sering juga sekedar mengontak dia. Selalu saya terima jawaban pesimis dari dirinya. Selalu lagi saya mencoba mengobarkan semangatnya.
Salah satu hal yang membuat dia bimbang adalah dia berdarah keturunan. Selalu saya bilang pada dia untuk membuang jauh pikiran itu. Yang penting dia adalah warga negara Indonesia. Sama dengan saya. Tidak ada urusan kalau dia keturunan.
Demikianlah selalu saya coba membangkitkan semangatnya.

Bimbingan tes telah selesai. Kami mendaftar PP I (membeli formulir dsb.). Karena membeli bersamaan maka kamipun harus mengembalikan sejumlah formulir isian pada saat yang bersamaan pula di salah satu ruangan di UI Salemba. Saya bermaksud mengambil Institut Teknologi terkemuka di kota Bandung (saya bermaksud mengambil jurusan Elektro kelak), dan Darwandi bermaksud mengambil jur Arsitektur di UI.
Alokasi untuk kelompok kami (sekitar 100 orang) untuk mendaftar ulang, hanya 1 jam. Saya sudah mengantri sekitar setengah jam, dan sudah pada posisi kira-kira sepertiga lagi ke petugas penerima formulir. Tetapi Darwandi tidak kelihatan, kemana dia? pikir saya. Akhirnya saya minta ijin meninggalkan tempat sebentar pada orang di depan dan belakang saya. Saya lari ke telepon umum (waktu itu belum ada handphone). Saya telepon, Darwandi masih di rumah. Dia masih ragu-ragu katanya. Lalu saya bentak dia, waktu tinggal setengah jam. Saya hardik (secara teman) agar dia cepat datang. Saya minta dia melupakan semua keragu-raguannya.
Saya lari kembali ke posisi antri semula sambil terus melihat ke jam. Akhirnya 5 menit sebelum alokasi waktu, Darwandi muncul. Untunglah rumahnya di Jatinegara tidak terlalu jauh dari Salemba.
Senang hati saya dan lega rasanya.

Hari H, ujian masuk PTN (PP I) tiba. Ujian diadakan di Stadion Utama Gelanggang Olah Raga Senayan. Betapa tercengangnya saya melihat ribuan orang di stadion (saya datang agak dekat/mepet dengan waktu ujian). Ketika saya melapor pada petugas pintu (ada banyak sekali pintu masuk), saya dituntun menuju tempat saya. Ternyata saya melihat Darwandi sudah duduk. Dia melambaikan tangan. Posisinya tidak terlalu jauh dari tempat saya.

Ketika soal dibagikan petugas kepada semua peserta, ternyata soal untuk saya tidak ada!
Saya mengangkat tangan dan melapor.
Rupanya soalpun jumlahnya persis dengan jumlah peserta, dan diberi nomor pula. Masih saya ingat nomor saya 3o tahunan yang lalu itu, 1117802437.
Kebetulan telah diumumkan bahwa tidak ada peserta ujian yang boleh menyentuh berkas apapun di depannya sebelum tanda waktu diberikan. Pelanggaran terhadap ini berakibat diskualifikasi! Kalau ada masalah, peserta hanya boleh mengangkat tangan dan melapor bila petugas datang.
Selain saya, semua petugas menjadi panik karena memang tidak ada soal yang lebih. Ketegangan juga terasa pada banyak orang sekitar saya.
Tiba-tiba Darwandi mengangkat tangan. Petugas datang. Mata saya mengikuti kejadian itu dengan jelas karena posisi Darwandi tidak jauh dari saya. Darwandi mengatakan (bisa saya dengar), rasanya di soal dia ada dua tumpukan soal.
Petugas memeriksa, ternyata soal saya ada tertumpuk (lebih bagi rupanya tadi) di bawah soal Darwandi.
Soal saya diberikan kepada saya, sekian detik sebelum ujian dimulai. Saya dan Darwandi saling melempar senyum.

Ujian telah selesai. Saya tidak terlalu yakin dengan hasilnya. Siapa yang bisa yakin untuk ujian PT seperti itu? Tetapi Darwandi sudah langsung mengatakan pada saya bahwa dia sama sekali tidak punya kans untuk diterima.
Sedih saya rasa, tapi saya mencoba menghibur dia sambil berkata marilah kita tunggu hasilnya.

Ketika hari pengumuman tiba, saya meluncur ke Senayan untuk mengambil pengumuman resmi dari panitia. Di jalan saya membeli koran. Saya melihat nomor saya ada dan rupanya saya diterima! Syukur pada Tuhan!
Di koran yang diumumkan hanya nomor. Ketika saya menerima pengumuman resmi dari panitia, saya melihat nomor dan nama saya ada dan memang saya resmi diterima. Betapa senang hati saya dan bersyukur kepada Tuhan.

Sambil memegang pengumuman resmi (juga berbentuk koran) saya melihat nama teman-teman lain yang juga diterima di Bandung. 6 orang dari SMA kami diterima di Bandung.
Iseng-iseng saya melihat pengumuman untuk UI. Ternyata Darwandi diterima di jurusan Arsitektur UI! Alangkah bertambah senangnya hati saya melihat kawan baik saya juga diterima.

Sampai di rumah langsung saya menelepon ke rumahnya untuk memberi selamat. Ternyata dia baru bangun! Saya ucapkan selamat karena dia diterima, tetapi dia justru menjawab bingung. Oh iya hari ini pengumuman ya? katanya. Gue lupa, katanya lagi.
Dengan penuh tekanan saya bilang, iya hari ini pengumuman sudah keluar dan Elu diterima! seru saya.
Dia menjawab sinis, ah dasar jago becanda Lu, katanya.
Dengan setengah kesal saya bilang pada dia supaya cepat mandi, dan ambil pengumuman resmi di Senayan sekarang. Ya oklah, jawabnya malas. Gua tetep ngga percaya Lu, ngga mungkin Gua keterima, katanya pada saya.

Beberapa jam kemudian Darwandi menelepon ke rumah.
Kali ini suaranya ceria dan agak terharu. Berkali-kali dia bilang minta maaf dan berterima kasih pada saya.
Lalu dia bilang, orang-tuanya (kebetulan sudah saya kenal baik karena saya sering ke rumahnya) bermaksud malam itu mengundang saya makan malam di sebuah restoran.

Malam itu saya dijamu oleh Darwandi sekeluarga di restoran Ekaria di Jalan Ketapang, Jakarta. Makanan di restoran itu enak sekali. Babenya, Nyaknya, Engkonya, Adiknya bahkan Kakek dan Neneknya hadir semua. Sebelum toast dan makan, Ayahnya khusus mengucapkan terima kasih kepada saya atas apa yang saya lakukan untuk Darwandi.

Sekarang sahabat saya Darwandi sudah menjadi arsitek terkenal. Banyak karyanya telah diapresiasi orang. Dia tetap menjadi sahabat saya. Tidak pernah berubah menjadi sombong. Selalu baik kepada saya.
Ketika saya kuliah di Bandung, dia selalu senang menerima saya bila saya pulang ke Jakarta. Dengan teman-teman lama pasti kami pergi jalan-jalan.

Ketika kami sudah menjalani hidup profesional, dia menjadi motor untuk kami bermain tennis bersama, main golf, bercanda dan makan bersama.

Hanya sendirian diterima

Sebagai cadangan untuk masuk perguruan tinggi 30 tahun silam, saya juga mendaftar di fakultas teknik dari sebuah universitas swasta yang cukup ternama di Bandung. Univ ini merangsang minat saya karena ada di Bandung (kota yang amat saya sukai), dan SPP awal yang diminta waktu itu paling murah untuk ukuran univ swasta paling top di Indonesia.

Sebenarnya melalui jalur Proyek Perintis II (tanpa test) saya telah diterima dan diundang untuk masuk di Institut Pertanian yang terkenal di kota Bogor. Tapi karena saya kurang berminat pada bidang pertanian, maka undangan itu saya lepas. Lalu saya mengikuti ujian Proyek Perintis I yang merupakan pertarungan untuk 5 buah perguruan tinggi paling ternama di Indonesia (UI, ITB, IPB, UGM & ITS). PP I adalah sebuah ujian masuk dengan kompetisi bebas, jadi keputusan saya melepas PP II dari IPB tentulah sebuah tindakan "gambling".

Di univ swasta ternama yang di Bandung ini ada dua jurusan teknik (pada saat itu) yang dikenal sebagai jurusan teknik yang cukup baik dan ternama. Yang paling terkenal adalah jurusan Arsitekturnya dan yang satu lagi jurusan Sipil.
Karena saya merasa kurang mahir dalam menggambar teknik maka saya mendaftar untuk jurusan Sipil.

Banyak kami, yang berasal dari SMA St. Theresia Jakarta datang untuk mendaftar juga di univ tsb. Karena banyaknya yang berangkat, rasanya kami mengisi satu gerbong penuh di KA Parahyangan berangkat ke Bandung. Kami datang dua malam sebelum ujian diadakan. Jadi masih ada waktu untuk belajar bersama, sambil sight seeing di kota Bandung.

Kami tinggal di beberapa tempat. Khusus di tempat saya menginap (di SeskoAD, Jl. Gatot Subroto, karena komandannya adalah kawan baik ayah dan masih terhitung saudara), tinggal juga beberapa kawan.

Kami berhasil mendapatkan beberapa soal ujian tahun-tahun sebelumnya. Soal-soal tahun sebelumnya ternyata sangat berat (lebih berat dari ujian masuk PTN). Jenisnya selalu essay, jadi harus dikerjakan dengan baik. Analisisnya tentu sangat menentukan, tidak memungkinkan untuk sekedar menebak (seperti pilihan ganda di ujian masuk PTN).

Di tempat kami menginap masing-masing, terasa sekali upaya keras dikerahkan oleh setiap kami. Terutama untuk soal-soal bagi calon mahasiswa Sipil (bagi calon mhs Arsitektur ada ujian khusus menggambar teknik).
Paman saya (Komandan SeskoAD waktu itu/berpangkat Mayor Jenderal) sering melihat kami belajar. Sering dia geleng-geleng dan ketawa melihat kami begitu banyak jumlahnya datang ke Bandung, tapi cukup serius ketika belajar. Saya memanggil beliau "Tulang". Namanya EWP Tambunan. Dia sendiri mengajar di jurusan SosPol Universitas Pajajaran. Kelak dari posisi ini beliau dipromosikan menjadi Gubernur Sumatra Utara.

Betapa tidak beruntungnya saya rasakan waktu itu karena pada malam terakhir saya merasa tidak enak badan. Mungkin sekali karena ketika siangnya kami keluar jalan-jalan di Bandung terlalu banyak saya minum es.
Mendekati jam 20.00 malam badan saya terasa mulai menjadi hangat. Sekitar jam 21.00 saya berani memastikan bahwa suhu tubuh saya pasti telah cukup tinggi. Akhirnya tidak berapa lama kemudian saya mohon diri dari teman-teman yang sedang belajar di ruang tamu untuk tidur (setelah memakan obat), karena kepala saya sudah terasa berat sekali.

Keesokan harinya ketika bangun, syukurlah saya sudah merasa sehat kembali. Ketika sarapan sesudah mandi air panas, saya menanyakan sampai jam berapa teman-teman belajar tadi malam. Serentak mereka memberi berbagai jawaban menjelaskan serunya belajar tadi malam, bahkan sebagian besar ada yang tidur pagi (belajar sampai sekitar jam 3 pagi!).

Wah, wah ... pikir saya. Betapa siap-tempurnya tentunya semua teman ini, pikir saya. Agak saya sesalkan mengapa saya tidak sehat kemarin malam, tentulah persiapan saya kalah dibandingkan dengan teman-teman. Tetapi apa hendak dinyana, kepala saya sedemikian sakitnya semalam.

Berangkat pagi itu ke tempat ujian (waktu itu masih dilakukan di kantor univ yang terletak di Jalan Merdeka - sekarang sudah beberapa tahun ini saya rasa semua kegiatan telah dilakukan di kampus mereka di Jl. Ciumbeuleuit), hati saya agak gentar dan masih sedikit merasa bersalah karena tadi malam tidak belajar.

Ujian berlangsung sekian jam. Segala kemampuan saya kerahkan. Akhirnya habislah waktu dan ujian selesai. Kepala saya cukup pusing. Teman-teman juga kelihatan lelah tetapi cukup ceria.
Kami menghabiskan waktu hari itu berkeliling Bandung, untuk pulang lagi keesokan harinya ke Jakarta.
Pikiran saya banyak melayang ke ujian tadi. Berhasilkah saya? Kalaupun saya bisa mengerjakan ujian tadi, bagaimana posisi bersaing saya dengan teman-teman yang lebih siap dan lebih bisa mengerjakan semuanya? Alangkah kurang bertanggung-jawabnya saya kepada Ibu saya yang telah mengutus saya ke Bandung dengan mengerahkan uang yang tidak sedikit, padahal waktu itu Ibu dalam keadaan ekonomi yang sangat terbatas.

Bagitulah pengalaman ujian di univ swasta ternama yang di Bandung itu.
Waktu berlalu dalam penantian akan pengumuman ujian di beberapa perguruan tinggi sekitar sebulan sesudah rentetan ujian masuk perguruan tinggi.

Tidak disangka, beberapa waktu kemudian saya jatuh sakit pula di Jakarta dan harus diopname di RSPP Jl. Kyai Maja, Jakarta. Lagi-lagi karena panas tinggi.
Di kamar opname (untuk dua orang) datang bergabung ke sebelah saya beberapa hari setelah saya masuk, seorang senior. Belakangan setelah berkenalan, saya tahu bahwa dia adalah Rektor sebuah univ swasta cukup dikenal di Jakarta. Nama asli beliau Tan Goan Po. Dengan beliau kami sempat berdiskusi tentang banyak hal. Dia sempat bilang, kalau nanti saya tidak diterima di perguruan tinggi manapun, dengan senang hati saya akan diterimanya di univ swasta yang dipimpinnya.

Keluar dari rumah sakit pengumuman univ swasta yang di Bandung akan dilangsungkan. Kesehatan saya masih dalam pemulihan. Betapa shocknya saya melihat di koran, bahwa beberapa hari sesudah saya keluar dari RS, Rektor teman sekamar saya di RS itu telah meninggal dunia. Tidak dapat saya lupakan kebaikannya menawarkan tempat bagi saya.
Karena saya baru keluar dari rumah sakit, maka saya meminta seorang saudara sepupu/abang yang kuliah di ITB untuk melihat pengumuman di univ swasta di Merdeka/Ciumbeuleuit. Mengetahui maksud saya, maka sejumlah temanpun menitipkan nomornya untuk dilihat oleh abang saya itu.

Sejumlah nomor dibawa oleh abang saya menuju papan pengumuman. Betapa mengejutkannya, hanya saya yang diterima di univ tersebut!

Riuh rendahlah suasana kami di Jakarta mengetahui hal ini. Semua kami menggeleng-gelengkan kepala. Bagaimana mungkin saya yang justru malam terakhir tidak belajar justru masuk. Mereka yang mati-matian belajar sampai pagi justru tidak masuk.
Banyaklah analisa kami terhimpun. Ada yang mengatakan, justru karena tidurlah di malam terakhir itu maka saya merasa fresh mengerjakan soal-soal yang amat sulit di univ itu. Justru karena belajar sampai pagilah teman-teman tidak fresh lagi mengerjakan soal-soal yang berat itu.

Itulah pengalaman yang unik yang saya alami, di mana kami berangkat berbondong-bondong ke Bandung, hanya saya sendirian yang diterima di univ itu.
Beberapa saat kemudian ketika saya ke Bandung lagi, Tulang saya itu meminta saya "ngobrol" sampai malam di rumahnya. Dia terus tertawa dan menggeleng-gelengkan kepala, katanya: "Jadi teman-temanmu itu datang hanya untuk mengawal kamu rupanya".

Kemudian keluarlah pengumuman PP I. Ternyata sayapun diterima di perguruan tinggi yang saya cita-citakan. Akhirnya jurusan Sipil yang di univ swasta ternama di Bandung itupun saya lepas.

Itulah perjalanan hidup. Banyak analisa tentunya, tapi saya merasa bahwa semua itu adalah keputusan dan kemurahan dari Tuhan belaka.

Belakangan hari kemudian setelah umur saya bertambah, bahkan setelah saya menjadi dosen juga (setelah meninggalkan dunia kerja kantoran), bukan perguruan tingginya sebenarnya yang menjadi persoalan. Dalam maksud baik, semua perguruan tinggi yang saya sebut adalah perguruan tinggi yang baik adanya. Baik yang di PP I, maupun yang di PP II, demikian pula univ yang dipimpin almarhum teman sekamar saya di RS itu.

Yang penting sebenarnya adalah bagaimana semua lulusan mengembangkan dirinya pasca pendidikan yang telah dilalui.