Friday, May 15, 2009

Terbang ke Medan

Terbang ke Medan adalah sesuatu yang kerap kulakukan.
Sekali waktu aku terbang sendiri ke Medan. Waktu itu belum banyak orang memakai handphone. Akupun baru saja mendapat handphone dari kantor.

Ketika pesawat baru saja touch down di Polonia Medan, terdengar seorang dengan suara logat Bataknya yang kental memberi instruksi dengan suara agak keras, nampaknya kepada anaknya di rumahnya di Medan:
"Kau itu Ucok?" Sejenak mungkin diiyakan oleh anaknya yang menerima telepon di rumah. Lalu laki-laki setengah baya dan berkumis (sesudah agak kucari dari mana suara orang yang langsung menghidupkan handphone itu) itu meneruskan: "Na jemput dulu Bapa ya!" katanya.
Sekian detik kemudian dia berkata lagi dengan suara keras: "Di mana lagi?! Ya di Airport!"

Dalam hati aku ketawa, dasar kawan ini tidak bisa untuk sedikit lebih lembut (apalagi kepada anaknya sendiri). Apalah salahnya kalau dia terangkan dulu bahwa dia (sang ayah ini) baru mendarat di Polonia dan minta tolong untuk dijemput oleh anaknya.

-------------------------------------------------------------------------------------------------

Sekali waktu yang lain aku terbang dengan seorang teman kantorku. Sama dengan aku, dia juga seorang berdarah Sumatera Utara.
Sejak naiknya sejumlah orang memang kulihat ada seorang wanita yang kelihatannya menangis sedih. Teman-temannyapun demikian.
Dan ketika pesawat telah mengangkasapun masih terdengar isak tangis perempuan. Tetapi yang membuat penasaran adalah kedengarannya suara isak tangis datang dari dua sumber yang berbeda.
Sumber pertama tampaknya datang dari belakang, yaitu dari perempuan dengan rombongan yang tadi kulihat naik ke pesawat (aku dan temanku telah duluan naik dan duduk di pesawat).
Sumber yang kedua tampaknya ada di sisi depan (kursi yang menghadap langsung ke dinding pemisah kelas ekonomi dengan kelas bisnis).

Kalau agak didengarkan memang kita jadi agak terganggu juga mendengar tangisan yang datang dari dua tempat itu.
Temanku terbang yang duduk di sebelahku itu memang seorang yang punya sifat "selalu mau tau". Maka setelah sekian waktu dia mengatakan bahwa dia akan ke toilet belakang sambil mencoba mengetahui kenapa perempuan yang duduk di belakang itu menangis.
Aku membiarkan dia pergi ke belakang.

Ketika dia sudah kembali lagi, agak bersemangat dia menceritakan temuannya. Dia mengatakan bahwa perempuan yang menangis di belakang itu rupanya pulang ke Medan untuk melihat suaminya yang meninggal di Medan.
Yang paling membuat perempuan itu sedih rupanya adalah bagaimana dia akan bersikap/atau bagaimana caranya dia datang ke tempat duka karena dia adalah bukan istri pertama.

Mungkin karena penasaran, beberapa saat kemudian dia bangkit lagi dan menuju ke arah depan pesawat. Sebetulnya aku tidak terlalu memperhatikan dia.
Ketika dia kembali lagi ke tempat duduk di sampingku, mukanya agak merah dan sedikit terengah-engah. Dikatakannya bahwa perempuan yang menangis di depan juga pulang ke Medan melihat suaminya yang meninggal, dan keduanya datang ke orang (meninggal) yang sama! (Rupanya temanku yang selalu ingin tahu ini sempat di belakang tadi menanya dengan lebih jauh tentang nama orang yang meninggal dan alamat duka yang dituju).

Yang paling hebat menurut dia, yang menangis di belakang dan di depan ini tidak tahu kalau mereka mendatangi orang yang sama!
Lalu dengan agak takjub dan sedikit geli kami mendiskusikan bagaimana kalau isteri-isteri ini nanti bertemu, termasuk dengan isteri pertama yang mungkin ditemui di Medan, dan bagaimana kalau ada isteri yang lain lagi?

Tuesday, May 12, 2009

Prof. KT Sirait masih menyimpan Tugas Akhir saya!

Hari ini istri saya yang mengajar di UKI (Sekretaris Universitas UKI) tanpa disengaja bertemu dengan Prof. KT Sirait.

Prof. DR. Ing. KT Sirait adalah mantan Rektor UKI. Beliau seorang yang hebat di bidangnya. Sekian puluh tahun dia mengajar di ITB Jurusan Elektro. Secara bersamaan dia mengajar juga di UKI Jurusan Elektro. Beliau ahli tegangan tinggi. Dikenal sebagai salah seorang ahli paling ternama di Indonesia di bidang ini. Menurut cerita, ketika beliau mengikuti test masuk di salah satu universitas yang sangat top di Jerman, beliau mendapatkan nilai tertinggi. Mengalahkan semua calon dari negara lain dan satu-satunya orang dari Indonesia saat itu. Kemudian dalam perjalanan karirnya, dia terpilih menjadi Rektor UKI. Selanjutnya dia dikenal pula sebagai seorang aktivis politik dan kemasyarakatan. Beberapa saat lamanya beliau bersama abangnya, Prof. DR. Midian Sirait, membentuk dan membina partai politik yang diberi nama PDKB (Partai Demokrasi Kasih Bangsa).
Meskipun tidak banyak jumlahnya, kiprah wakil mereka di DPR sangat berarti. Sekian tahun pula Prof. KT Sirait menjadi anggota DPR.

Tetapi bagi saya beliau itu sangat khusus, karena beliaulah pembimbing tugas akhir S1 saya di ITB beberapa tahun yang lampau. Waktu itu beliau juga adalah Dekan Fakultas Teknologi Industri. Jurusan Elektro adalah salah satu jurusan di bawah pengelolaan beliau.

Istri saya mengatakan bahwa beliau senang sekali bertemu dengan istri saya pada hari ini. Kebetulan memang ada hubungan khusus antara beliau dengan ayah mertua saya, Prof. DR. O. Simbolon, karena mereka pernah bekerjasama di banyak organisasi. Mulai dari di lingkungan Departemen Pendidikan Nasional sampai ke organisasi-organisasi kemasyarakatan lain.
Hubungan antar Prof. Sirait dengan mertua saya memang sangat baik. Mereka selalu saling mengirim salam satu sama lain. Mereka selalu saling mengingat. Beliau tahu bahwa saya (salah seorang yang pernah dibimbingnya di ITB) menyunting salah satu putri Prof. Simbolon, itulah istri saya. Beliau datang ke resepsi pernikahan kami beberapa tahun yang lampau sebagai rasa persahabatan yang erat dengan memenuhi undangan dari mertua saya.

Banyak mereka membicarakan tentang mertua saya. Beliau terkejut mendengar mertua saya mengalami stroke. Beliau berjanji suatu saat akan mengunjungi mertua saya.
Lalu pembicaraan mereka hari ini bergeser ke arah saya. Beliau dengan senang dan bangga menceritakan tentang saya (ini sungguh luar biasa bagi saya). Dengan senang diberikannya kartu namanya kepada istri saya agar disampaikan kepada saya. Saya selalu ingat sama dia (maksudnya saya), kata Beliau. Tugas akhirnya sampai sekarang masih saya pegang, lanjut Beliau (ini hebat bukan?!). Yang lebih mengagetkan saya lagi, Beliau menambahkan bahwa walaupun saya anak bimbingannya, tetapi Beliau merasa banyak mendapat input rohani dari saya (ini lebih gila lagi!).

Lama sekali waktu yang saya lalui untuk menyelesaikan tugas akhir S1 saya di ITB. Persoalan utamanya adalah ketidaktersediaan data yang memadai untuk penyusunan tugas akhir itu. Judul Tugas Akhir saya itu adalah "Pengaruh Ketinggian Kelompok Awan Rendah pada Penentuan Parameter Petir di Indonesia".
Sekian lama saya mondar-mandir mencari data, tetapi tidak saya dapatkan yang memadai waktu itu. Tidak terasa perjalanan membuat tugas akhir sudah tahunan. Lalu Pak Sirait meneguhkan saya agar saya mengontak ke luar negeri. Pergaulan, kompetensi dan kharisma Pak Sirait rupanya dikenal bukan hanya di Indonesia, tapi juga di banyak negara lain.
Syukurlah saya dikaruniai Tuhan kemampuan berbahasa Inggris yang cukup lumayan. Sambil memberikan daftar nama-nama rekanan beliau di luar negeri, saya ingat betul beliau memuji konsep surat saya kepada mereka yang telah saya siapkan. Tentunya dalam bahasa Inggris.

Dengan menggunakan telex (alat komunikasi paling canggih jaman itu), saya berkomunikasi dengan banyak ahli di luar negeri yang sayapun belum kenal sebelumnya. Luar biasa rupanya pergaulan antar ilmuwan di dunia ini (atau karena nama Pak Sirait yang begitu hebat?). Semua telex yang saya kirimkan tidak ada yang tidak berbalas. Bahkan ketika saya melebarkan kontak ke banyak ahli negara lain yang bukan rekomendasi Pak Siraitpun, saya mendapat balasan. Bayangkan bagaimana hebatnya saya berbalas telex dengan ahli dari Jerman, AS, Swiss, Perancis, Jepang, Kanada, Inggris dan banyak negara lain lagi, bahkan sampai dengan Afrika Selatan (waktu itu WNI tidak boleh pergi ke sana karena alasan politik, padahal saya berhubungan dengan telex). Pada prinsipnya semua mereka berusaha membantu. Saya cukup heran dengan solidaritas mereka. Banyak sekali bahan tertulis saya dapat dari luar negeri (dikirimkan cuma-cuma). Dari Jerman salah seorang yang baru promosi Doktor mengirimkan copy disertasinya!
Sempat saya berpikir apa yang memotivasi mereka untuk memberikan reaksi yang begitu hangat? Belakangan tampaknya saya sampai ke kesimpulan bahwa semua ahli itu memiliki solidaritas yang tinggi, karena sadar bahwa penelitian orang lain akan merupakan manfaat pula bagi mereka kelak di kemudian hari! Berarti mereka menganggap bahwa semua orang yang melakukan penelitian di dunia ini adalah saling menopang.

Akan tetapi sangat disayangkan bahwa bukan data utama yang saya perlukan yang mereka berikan. Hal ini karena rupanya dalam hal penelitian saya, merekapun belum tentu lebih hebat dari kita (Ingat bahwa Indonesia adalah negara yang amat kaya akan petir. Jauh lebih kaya dibandingkan dengan banyak negara, termasuk negara-negara yang dianggap memiliki teknologi tinggi. Suatu berkah yang luar biasa dari Tuhan bagi bangsa Indonesia).

Jadi sekian tahunlah tugas akhir saya itu tidak selesai-selesai. Sampai suatu ketika datang pertolongan Tuhan yang membisikkan kepada saya bahwa kondisi di Indonesia (data utama yang saya perlukan) bisa saya prediksi dengan menggunakan suatu rumus transformasi dari data-data lain yang tersedia. Jembatan pencapaian ini saya dapati dengan asumsi bahwa sesungguhnya fenomena fisika (alam) adalah sesungguhnya suatu data yang tersambung dengan sistem yang mengelilinginya.

Mendapat ide yang dari Tuhan itu saya lari menghadap Pak Sirait. Saya jelaskan dan tanyakan pada Pak Sirait, bolehkah data yang saya pakai adalah data transformasi (hal ini dinyatakan secara tertulis dalam tugas akhir saya, jadi sama sekali tidak ada maksud untuk berbohong). Langsung Pak Sirait menjawab, Boleh!

Satu minggu tanpa tidur saya mengetik (masih dengan mesin tik manual) menyelesaikan bab 4 dan bab 5 dari tugas akhir saya. Pada hari deadline untuk mengejar wisuda, saya lari pagi itu menghadap Pak Sirait. Biasanya pemeriksaan Pembimbing akan memakan waktu beberapa hari, dan dengan sejumlah koreksi pula. Pagi itu bagiku tidak ada hari lain karena sebelum jam 12 semua tandatangan Pembimbing harus didapatkan untuk kelengkapan sidang.

Mujizat datang ketika Pak Sirait memeriksa dengan seksama tulisan saya beberapa lama, tidak menemui sesuatu kesalahan prinsipiil sedikitpun, kecuali ada dua atau tiga notasi yang perlu ditambahkan. Pak Sirait berkali-kali mengucapkan kepuasannya tentang kata-kata yang saya susun. Beberapa kali dia bilang, Bagus ini, bagus ini! seolah dia sedang betul-betul menikmati tulisan itu.
Saya lari ke rumah memperbaikinya, membawa ke fotocopy dan semua selesai hari itu.

Tidak disangka ketika esoknya akan diadakan Sidang Tugas Akhir bagi saya, Pak Sirait tidak bisa datang karena rapat penting di Fakultas! Beliau memanggil 3 orang kami yang akan disidang esok hari. Beliau mengutarakan penyesalannya karena tidak bisa hadir besok. Lalu Beliau bertanya bagaimana kalau sidang ditunda. Betapa berkecamuk hati saya karena berarti saya harus menunggu wisuda setidaknya satu semester lagi, padahal sudah lama sekali saya belum lulus juga (sudah 7 tahun).
Karena kami bertiga membisu, Beliau melanjutkan bertanya lagi, Tapi saya mau bertanya pada saudara-saudara, apa saudara-saudara berani maju tanpa saya?
2 orang teman saya terdiam dan agak menggeleng ketika Pak Sirait memandang mereka satu persatu. Ketika pandangan Beliau sampai kepada saya, tanpa saya sadari ada kekuatan dari dada saya untuk berkata mantap: Berani Pak!

Pak Sirait gembira dan bangga dengan jawaban saya. Kata Beliau, Nah begitu dong! Saya bangga saudara Sahat berani, katanya.
Harus begitu. Kita harus berani, kata Beliau lagi.
Masih saya ingat, sambil berkata demikian Beliau mengepalkan tangan kanannya di dadanya.
Bagaimana saudara berdua yang lain ini? lanjutnya lagi.
Barulah kedua teman saya yang lain mengangguk pelan. Pak Sirait mengatakan bahwa Beliau akan mengutus salah seorang Dosen asisten Beliau untuk mendampingi kami.

Habislah saya dibantai tanpa Pembimbing di suatu hari yang bagi saya merupakan salah satu hari terpanjang dalam hidup saya (waktu berjalan lambat sekali di ruang sidang itu). Saya harus berhadapan dengan para penguji tanpa dihadiri Pembimbing. Saya mendapat nilai Judicium, B.
Ketika hari telah siang dan Pak Sirait telah kembali ke kantornya, saya menghadap. Beliau terperanjat karena saya dapat B. Beliau merasa tidak puas. Baiklah, katanya. Meskipun mereka memberi B, bagi saya saudara mendapat A, katanya lagi. Maka di kolom untuk nilai dari Pembimbing, beliau memberikan nilai A pada saya. Kami berjabatan tangan. Saya menjadi Insinyur Elektro ITB!

Suatu hari beberapa waktu sebelum semua hal di atas ini ..........................
saya bertugas menjadi salah satu anggota dari panitia Natal ITB. Pak Sirait menjadi Ketua Perayaan Natal ITB saat itu. Adalah beberapa kali kami bertemu dan berdiskusi untuk menyukseskan perayaan Natal tersebut. Mungkin secara tidak sengaja kami menjadi cukup bersahabat. Pak Sirait adalah seorang yang baik hati dan tidak banyak cingcong. Kami panitiapun telah berketetapan hati untuk tidak membuat Pak Sirait pusing. Semua urusan kami tackle dengan baik dengan bimbingan dan pengarahan Pak Sirait.
Ketika perayaan dilaksanakan, saya diminta untuk menjadi Pembawa Acara. Memang saya berusaha sekuat tenaga untuk membawakan acara tersebut dengan baik. Menurut banyak orang acara berlangsung dengan sangat baik. Baik dari para pendukung acara, penyusunan acara, maupun pemanduan keseluruhan acara. Banyak sekali orang yang merasa terkesan.
Ketika acara selesai Pak Sirait dan Ibu secara khusus datang menyalami saya. Masih saya ingat kata-kata Beliau, Saya merasa melihat seorang Pembawa Acara yang very professional! kata Beliau. Pak Sirait dan Ibu sangat senang waktu itu.

Suatu hari dalam hari-hari tanpa akhir ketika menyusun tugas akhir yang tidak berakhir-berakhir, Pak Sirait tiba-tiba memanggil saya. Itu adalah sesuatu yang amat menyentak, karena biasanya saya yang menghadap beliau untuk melaporkan progress tugas akhir. Kali ini Beliau yang memanggil saya. Berdebar-debar hati saya menuju ke kantor Beliau. Berita apakah gerangan akan Beliau sampaikan pada saya? tanya hati saya.
Ketika saya masuk, dia menerima saya dengan senang sekali. Rupanya kehadiran saya sudah ditunggu. Lalu dengan senang dia menceritakan bahwa dia membutuhkan saya hari itu, tapi bukan urusan tugas akhir. Hari itu rupanya ada salah satu staf Departemen yang kemalangan. Rupanya Beliau ingin mengirim karangan bunga besar. Hanya, Beliau sungguh-sungguh tidak tahu bagaimana kata-kata terbaik untuk dituliskan di karangan bunga itu. Itulah sebabnya dia memanggil saya.
Bukankah itu sesuatu yang luar biasa? Sekian banyak orang di sekitar Beliau yang dapat menolong seharusnya, tapi mengapa saya yang dibutuhkan Beliau? Saya betul-betul merasa dihargai oleh kerendahan hati Beliau. Lalu dia memanggil stafnya untuk mengikuti kata-kata yang saya keluarkan. Bagi saya memang ini tidak terlalu sulit karena sekian tahun lamanya saya kuliah di Bandung, saya mengikuti berbagai organisasi sosial kemasyarakatan. Melakukan hal-halyang seperti ini sudah biasa bagi saya.
Begitu tulisan yang dua kalimat itu selesai, Beliau begitu senang. Beliau menginstruksikan stafnya untuk segera mengirim tulisan itu ke ahli pembuat kembang untuk dipasang di karangan bunga. Tapi sebelum tulisan dibawa, lebih dulu Pak Sirait "menguliahi" staf-stafnya, bahwa inilah kata-kata yang dari tadi tidak keluar dari tangannya walaupun sebenarnya ada di pikirannya.
Berkali-kali beliau mengucapkan terima kasih pada saya. Aneh bukan?

Dalam proses pembimbingan Tugas Akhir, sekali Pak Sirait berkata pada saya, Kalau kau nanti, jadi asistenkulah kau ya, ujarnya. Ada berapa kali kata-kata ini diucapkannya kepada saya.
Saya merasa amat tersanjung. Tetapi di kemudian hari saya tidak memenuhinya, karena saya mendapat impresi yang salah dan persepsi yang salah pula melihat Isnuwardianto, kawan saya seangkatan yang telah lebih dulu menjadi dosen dan asisten Pak Sirait.
Sekarang Isnu menjadi Dekan Fakultas Teknologi Industri (sudah pernah menjadi Pembantu Rektor III) di ITB.
Saya memilih untuk meninggalkan Bandung dan bekerja profesional di beberapa perusahaan. Yah, memang jalan hidup orang berragam adanya.

Sekali waktu, ketika saya sudah sekian tahun bekerja, seorang teman mengajak saya bertemu Pak Sirait yang sudah menjadi Rektor UKI. Dia mengajak saya karena tahu bahwa saya punya hubungan dekat dengan Pak Sirait. Rupanya salah seorang teman kami yang sedang bersekolah di Inggris terancam tidak dapat meneruskan menjadi S3 karena dananya diputuskan dari Indonesia. Teman yang mengajak saya ini berinisiatif untuk meminta pertolongan Pak Sirait agar teman kami yang di Inggris itu kuliahnya tidak putus di tengah jalan.
Kami berdua pergi ke UKI. Secara protokoler kami agak dihambat Satpam karena pagi itu kami datang tanpa perjanjian dengan Pak Sirait. Pak Siraitpun memang belum datang. Kami diminta untuk datang lain kali. (Gayanya Satpam agak pongah, yah tentu dapat dimengertilah bahwa itu semua tentu tuntutan protokoler juga). Ketika kami mau meninggalkan ruang Rektorat, Pak Sirait datang. Dari jauh saya sangat berharap Beliau masih mengingat saya. Tanpa dinyana, justru Beliau yang berteriak, Hei, anda rupanya! katanya. Aku sedang cari anda!, lanjutnya pula.

Kami berjabatan tangan dengan erat sekali, penuh sukacita. Saya memperkenalkan teman yang bersama dengan saya (Edu Napitupulu). Dibimbingnya kami ke ruangannya yang besar. Tanpa tedeng aling-aling dia mengajak saya ke meja besarnya yang terletak di tengah ruangan.
Ada yang mau saya tunjukkan, katanya bahagia. Di atas meja besar itu saya lihat ada banyak dokumen. Sambil membimbing saya ke meja besar itu, dia mengatakan bahwa besok dia akan ke Perancis dan akan membawakan berbicara di suatu seminar.
Tahukah seminar apa yang akan saya bawakan? tanyanya pada saya sambil dari tadi tidak terlalu menghiraukan teman saya yang datang bersama saya tadi.

Dengan bangga diangkat dan dibukanya sebuah dokumen, lalu didekatkannya kepada saya sambil bertanya, Coba dulu perhatikan bagian yang ini, kenal tidak dengan materi ini? tanyanya.
Saya perhatikan pelan-pelan (sudah lama saya tidak memegang langsung masalah elektro). Lalu ketika memori saya bertaut, saya menjawab, Saya tahu Pak, jawab saya. Ini adalah tugas akhir saya di S1 dulu!
Begitu senangnya Pak Sirait rupanya Pak Sirait bisa memperlihatkan materi seminarnya itu kepada saya. Lalu dia menjelaskan lebih lanjut mengenai persiapan-persiapannya untuk membawa sejumlah materi yang salah satunya adalah tugas akhir saya sekian tahun yang lampau itu. Beliau merasa lega sekali memperlihatkan ini pada saya.

Teman kami yang sekolah di Inggris itu kemudian hari akhirnya bisa menyelesaikan S3nya dengan baik.

Sekian tahun kemudian seorang kerabat dekat saya meninggal dunia. Waktu itu saya telah berubah profesi menjadi dosen (saya tinggalkan dunia profesional). Di rumah duka itu saya bertemu dengan Pak Sirait. Betapa senang bertemu kembali dengan Beliau. Lalu Beliau bertanya pada saya, apa yang saya kerjakan sekarang. Lalu dengan agak tersipu-sipu saya menjawab, Saya sekarang mengajar Pak, kata saya.
Tiba-tiba Beliau tersentak dengan mata yang berbinar-binar, Nah, apa saya bilang dulu kan? Kan sudah dari dulu saya minta anda menjadi asisten saya. Sudah dari dulu saya perhatikan bahwa anda memiliki bakat mengajar! katanya. Akhirnya tidak kemana-mana juga bukan? Akhirnya anda jadi dosen juga!
Kami ketawa-ketawa.

Begitulah berkat besar hari ini. Bukankah suatu pengalaman menyedihkan sekolah 7 tahun mengambil S1 di ITB? Semua orang sudah meninggalkan (sudah lulus) saya. Tidak terhitung banyaknya air mata dan kesedihan pada waktu itu. Rasanya saya orang paling sial di dunia ini. Tetapi melihat pada hari ini, bahwa seorang sebesar Pak Sirait masih memegang tugas akhir saya dan selalu masih mengingat saya dengan "beberapa hal kecil" yang tidak saya perhitungkan sama sekali, bukankah itu suatu perkara yang besar?

Berapa ratus/mungkin ribu orang sudah dibimbing oleh Pak Sirait yang hebat itu, tapi tugas akhir dari saya yang bodoh ini yang masih dipegang Beliau. Yang saya susun bertahun-tahun. Dan Beliau masih ingat saya. Itu mujizat besar bagi saya. Sayapun tidak akan pernah melupakan Beliau dengan segala kebaikan dan kerendahan hatinya.

Kiranya Pak Sirait senantiasa diberkati Tuhan dan selalu memberikan kiprah terbaik bagi bangsa dan negara.