Monday, June 21, 2010

Mencerdaskan kehidupan bangsa

Yang ditulis dalam pembukaan UUD 45 kita adalah "mencerdaskan kehidupan bangsa".
Jadi "kehidupan bangsa" itulah yang perlu dicerdaskan.

Mengikuti hukum DM (Diterangkan-Menerangkan), maka D nya "kehidupan". M nya "bangsa". Yang penting? D nya, yaitu "kehidupan". (Sama seperti "mobil hitam", "mobil"nya yang penting. Bukan "hitam"nya. "Hitam"nya adalah sekunder, bertugas menerangkan "mobil". Mendorong mobil hitam artinya mendorong mobil, bukan mendorong hitam.

Itu berarti bukan semua orang Indonesia dengan secepatnya dibuat menjadi sarjana, tetapi "perikehidupan" orang Indonesia yang perlu dicerdaskan. Itupun bukan berarti orang Indonesia yang sudah sarjana adalah bangsa yang cerdas. Banyak sekali sarjana strata tertinggi rusak moralnya.

Tidakpun seseorang menjadi sarjana, apabila dia telah memaknai dan melaksanakan dengan baik hakekat kehidupan berbangsa, dia telah menjadi unsur pembentuk kehidupan bangsa yang cerdas.

Ciri-ciri kehidupan bangsa yang cerdas? Di antaranya yang penting: sopan/hormat dan tertib, menjunjung tinggi permufakatan, meletakkan nilai-nilai subyektif/pribadi di bawah nilai-nilai kebersamaan yang sudah disepakati, melaksanakan semua ketentuan dari otoritas yang ada (lalu lintas, disiplin organisasi, disiplin kemasyarakatan), menyadari bahwa tidak ada yang homogen (yang benar adalah "di mana-mana selalu ada perbedaan"), menyadari bahwa fungsi mayoritas justru adalah membela minoritas, menyetop semua perbuatan/tindakannya yang merendahkan/mengurangi/menghilangkan hak orang lain, menghargai pendapat yang berbeda, menghormati antrian.

Di "sana" yang kehidupan bangsanya telah cerdas, orang berpikir untuk kebaikan kehidupan masyarakatnya. Membuang sampah ke tempatnya. Bertanggung jawab untuk kebersihan lingkungannya. Tidak melanggar lalu lintas walaupun tidak ada polisi. Antri pada jalurnya. Committed kepada keadilan dan hukum, taat membayar pajak. Menyetop segala hal yang berasal dari dirinya yang bisa mengganggu tetangganya. Berjalan kaki di sisi yang seharusnya (tidak sembrono kemana dia suka). Malu dan bertanggung jawab atas kegagalan menjalankan apa yang seharusnya dilakukan. Menghormati orang yang berbeda sistem nilainya, berbeda alirannya, berbeda fisiknya. Ramai-ramai kompak menolong orang lain yang membutuhkan pertolongan. Menangkap pencuri untuk diserahkan pada yang berwajib, bukan untuk disiksa dan main hakim sendiri. Mencintai keragamannya untuk membuktikan betapa hebatnya muncul secara bersama sebagai suatu bangsa.

Mari kita berjuang, Bangsa Indonesia!

Pengumpul sertifikat

Salah satu kesalahan fatal dari kita bermasyarakat adalah disambungkannya sertifikat pencapaian suatu kemampuan dengan hirarki jabatan dalam organisasi. Wujud nyatanya misalnya untuk jabatan tertentu di suatu organisasi dipersyaratkan harus sarjana, S2, S3 dan sebagainya. Apalagi kalau ditambahkan embel-embel bahwa sertifikat yang diakui hanyalah dari badan-badan yang dianggap kredibel.
Lalu ini dimasukkan ke dalam syarat-syarat untuk mencapai suatu jabatan.
Keadaan ini sudah sangat merebak di masyarakat kita, terutama memang di birokrasi-birokrasi kita.

Ini salah total.

Sudah umum terjadi sekarang, dan ini aneh bin ajaib, untuk mensahkan dijabatnya suatu jabatan atau kenaikan pangkat dalam suatu birokrasi, orang-orang menjadi pengumpul sertifikat. Orang-orang yang dicalonkan untuk menjadi pemimpin tertentu diperiksa apakah sudah sarjana, S2, S3, sudah ikut kursus ini dan itu, sudah ikut penataran ini dan itu dan sebagainya.

Ini rusak berat. Inilah salah satu pangkal korupsi itu.

Bukankah untuk mengetahui keabsahan seseorang yang akan diangkat seharusnya justru diuji kemampuan dan kepemimpinannya? Salah sekali bila penentuan hanya dilaksanakan dengan melihat segala sertifikat yang dimilikinya.

Dalam perjalanan hidup saya, saya pernah bergabung dengan beberapa perusahaan internasional besar dengan jangkauan bisnis di seluruh dunia. Secara prinsip tidak sekalipun pernah dipersoalkan sertifikat apa yang dimiliki oleh seseorang untuk menduduki jabatan tertentu. Tidak pernah sekalipun dipersoalkan seseorang menduduki jabatan tertentu karena memiliki sertifikat dari organisasi pengeluar sertifikat yang dianggap tidak hebat/kredibel.
Saya pernah mengikuti suatu interview selama satu hari penuh oleh seorang GM bangsa asing dari negara yang sangat maju untuk jabatan Project Manager. Tidak satu kalipun ditanya apakah saya seorang sarjana atau bukan, apalagi menanyakan bahwa saya sarjana dari universitas mana. Sejak pagi sampai jauh malam yang diujikan pada saya melulu persoalan teknis/non teknis tugas sebagai seorang Project Manager.
Baru setelah saya dinyatakan lulus, dia melihat-lihat dengan puas sertifikat yang saya miliki.

Jadi yang penting calon itu diuji. Sejauh seseorang telah memenuhi uji kualifikasi (untuk kenaikan pangkat ujian dilakukan selama kurun waktu yang panjang/bukan ujian sesaat, apalagi rekomendasi orang lain), dia berhak diangkat untuk jabatan itu.
Bila dia punya sertifikat ini dan itu, tentu lebih baik lagi.

Pernah saya temukan bahwa pemimpin perusahaan kami hanyalah seorang sarjana muda, sementara kami bawahannya ada yang S2, S3 dan juga sejumlah Professor Teknik.
Tapi jangan coba-coba bertanding dengan dia tentang kemampuan teknis lapangan, kemampuan memimpin, teknis negosiasi, pengambilan keputusan, pemasaran dunia, kemampuan sosial, kemampuan bahasa dan lain sebagainya, tidak mudah bagi kami untuk mengalahkan dia.

Mereka yang tegar tengkuk, terutama dari birokrasi negeri ini pernah menyanggah pernyataan saya ini dengan mengatakan kalau begitu buat apa orang sekolah capek capek mencapai strata tinggi? Buat apa itu? kata mereka.
Jawab saya, ya justru itulah kita semua harus sekolah setinggi-tingginya untuk siap mencapai kualifikasi yang dibutuhkan ketika kita diuji kelak. Bukan dengan menyodorkan sertifikat-sertifikat yang kita miliki lalu kita meminta untuk dinaikkan pangkat. Itulah kebodohan besar, ciri bangsa yang tidak cerdas.

Semoga organisasi kita semua sadar untuk tidak melakukan kekeliruan dengan mengabsahkan kualifikasi dengan melihat sertifikat atau menggagalkan kualifikasi karena pengeluar sertifikat adalah bukan badan/universitas yang dianggap favorit/kredibel. Tidak ada dasarnya mengatakan pemegang suatu sertfikat dari badan yang dianggap kredibel pasti lebih hebat dari yang dianggap tidak kredibel.

Uji kualifikasi yang dapat dipertanggungjawabkan, itulah kuncinya.

Sunday, June 20, 2010

Orang Indonesia sulit bersikap khidmat

Sudah beberapa kali Presiden SBY menyatakan kemarahannya bila sedang berbicara/berpidato mendapati peserta saling berbicara (mengobrol satu sama lain) atau mengantuk. Yang dimarahi ada yang berpangkat menteri, gubernur, pejabat tinggi dan lain sebagainya.

Sebagai seorang dosen, sayapun sering mendapati para mahasiswa mengobrol seenaknya ketika saya sedang mengajar. Tidak cuma mhs S1, juga pada tingkat lebih tinggi! Sayapun ada beberapa kali harus marah, terutama bila telah memberi peringatan beberapa kali dan tidak diindahkan.
Sepengamatan saya inipun terjadi sejak dulu di sekolah ketika saya memimpin rapat-rapat OSIS atau memimpin upacara bendera sebagai komandan/inspektur. Seringkali teman-teman mengobrol kiri-kanan dan depan-belakang seenaknya. Tidak perduli apa yang terjadi di depan dan seolah tidak menganggap perlu apa yang dibicarakan di depan. Berkali-kali harus dimintai perhatian, tetapi orang-orang akan senyap sejenak untuk kemudian mengobrol lagi.
Juga ketika di kantor dalam pertemuan-pertemuan rutin. Sering sekali orang mengobrol satu sama lain.

Keadaan sama saya temui pada banyak pertemuan lain yang saya amati. Kalau untuk pertemuan resmi saja orang tidak perduli apalagi di rapat-rapat RT, organisasi keluarga, kemasyarakatan dan termasuk keagamaan. Yang lebih mengerikan lagi, juga di tempat-tempat ibadah.

Di Indonesia betul-betul sering tidak tertib/khidmat suasana pertemuan-pertemuan yang diadakan. Apalagi bila ada dan banyak anak-anak. Anak-anak tidak terkendali untuk bicara seenaknya, berteriak, menangis, lari ke sana-kemari, dan lain sebagainya.

Sangat kontras perbedaannya saya lihat di negara-negara yang kita sebut "maju". Di sana orang semua akan diam khidmat ketika presiden/perdana menteri/direktur/pemimpin pertemuan berbicara. Semua akan mendengar dan memperhatikan dengan serius apa yang sedang dibicarakan. Tidak akan ada yang berbicara, menyela, atau bahkan tidur. Semua orang akan duduk dengan tegak, mendengar dengan khidmat. Tidak akan ada komentar merendahkan yang ingin didiskusikan dengan teman di sebelahnya. Itu semua sudah menjadi kebiasaan setiap orang. (Ciri masyarakat cerdas)

Yang paling hebat di tempat-tempat ibadah dan bahkan di tempat pergelaran musik klasik dilaksanakan, semua orang akan dengan serta merta untuk duduk dengan tenang mendengarkan. Di tempat-tempat ibadah atau tempat pergelaran musik juga banyak anak kecil, tetapi semua anak bisa dengan tenang mengikuti acara. Dengan elegan semua orangtua dapat mengendalikan agar anak-anaknya tidak berbicara, ngobrol atau berlarian ke sana ke mari. Andaikanpun ada sesuatu yang penting hendak ditanyakan, anak-anak akan menanya dengan tertib dan berbunyi setengah suara. Dengan setengah suara pula orangtua akan menjawab pertanyaan anak-anaknya dengan baik.
Ini berarti bahwa setiap orang di keluarga masing-masing telah terjadi proses pendidikan yang baik. Ini berarti bahwa di setiap keluarga telah diajarkan untuk saling menghormati orang lain.

Saya sangat sedih dengan perbedaan ini. Kebanyakan saya lihat yang mengobrol itu adalah orang yang tinggi hati yang merasa bahwa orang yang sedang berbicara di depan selalu lebih bodoh daripada dia (yang mendengar), sehingga perlu diobrolkan kepada orang lain. Entah mengapa orang Indonesia senang menyeletuk, memrotes, merasa lebih pintar, merasa harus mendiskusikan dengan setengah suara pidato/ceramah yang sedang dibagikan segera di ruang rapat tersebut ketika pidato/ceramah sedang dibagikan. Kalau tidak mereka, maka yang sering tidak tertib ini umumnya adalah saudara-saudara yang tingkat kehidupan bermasyarakatnya memang masih rendah.

Betapa orang Indonesia kehilangan banyak hal penting dengan mengabaikan/menganggap rendah pembicaraan yang sedang berlangsung. Betapa kita kehilangan banyak isi/konteks/makna dari pembicaraan/pidato/ceramah yang sedang dibagikan. Betapa rusak berantakannya kita mengartikan/mengartikulasikan/mengejawantahkan apa yang telah dibagikan. Selalu salah konteks, salah pengertian, salah sambung, dan seterusnya.
Tetapi selalu merasa sebagai bangsa yang besar/hebat/cerdas dan lain sebagainya.

Apabila ingin mencerdaskan kehidupan bangsa, kita harus bisa mengendalikan diri kita, teman-teman dan keluarga (termasuk anak-anak). Janganlah bermimpi menjadi bangsa yang besar, apalagi merasa sudah dekat menjadi bangsa yang besar.

Selama masih sering mengobrol satu sama lain di pertemuan-pertemuan dan tidak bisa mengendalikan anak-anak di acara-acara, kita tetaplah menjadi bangsa yang tolol.
Masih jauh cita-cita itu terwujud. Padahal sudah 65 tahun merdeka. Jangan kita cari excuse dengan melihat negara lain yang sudah berumur panjang. Banyak bangsa lain lebih muda dari kita merdeka, tapi sudah jauh meninggalkan kita.

Thursday, June 17, 2010

Busway (Bus Jakarta Transport)

Saya rasa suatu saat Busway (Bus Jakarta Transport) akan dibongkar dan dihapus.

World Cup participants - Peserta Piala Dunia sekarang

Since the participants of the World Cup now were drawn from allotment system, as the consequence the participants grow higher (32 countries). I have the feeling that the tension (and perhaps the quality) of world cup goes lower.
I think (not offensing or humiliating) Honduras, New Zealand and some Africans are a little bit "lower class" than the others who failed at qualification stages such as Russia, Czech, Belgium, Sweden, etc.
Japan and Koreans are also in my opinion "not too strong", even up to now we still hope they will survive. South Korea got romantic memory of 2002, but at that time they were one of the hosts. At the 1st round they beat Greek (ex-Euro champion but unbelievably appear so weak this time. They won yesterday but still unpromising) but yesterday were crushed 1-4 by Argentine.

Some years ago world cup triumphant participants were 16. Schedules arranged in knock out system since round 1. It was so exciting since the beginning. A real world soccer fiesta.

Now it can not be done as in the past. Perhaps because of tolerance to give chances to the other countries to participate, additional allotments given. Now participants higher and of course not easy to apply knock out sistem since round 1.

The arranger of world cup must rethink about this. Perhaps considerable if participants of "second class" countries be put into such a preliminary rounds to get 4 qualifiers. Say, 4 out of 16. But the "first class" countries also will have a preliminary rounds to get 12 countries (maybe 12 from 16, the system can be arranged). Then the last 16 candidates drawn in free knock outs.

Hopefully it will be more exciting and the quality of football gets better.



Karena negara-negara peserta piala dunia sekarang diatur dengan sistem jatah dan sebagai konsekuensinya jumlah peserta menjadi lebih banyak (32 negara), maka saya merasa bahwa ada penurunan ketegangan (mungkin pula kualitas) dari piala dunia. Saya pikir Honduras, Selandia Baru dan beberapa negara Afrika agak lebih rendah kualitasnya dibandingkan beberapa yang gagal kualifikasi, seperti Rusia, Ceko, Belgia, Swedia, dan beberapa negara kuat lain.
Jepang, Korsel dan Korut juga sebenarnya tidak terlalu kuat, tapi sampai hari ini masih agak kelihatan kuat. Korsel memang punya nostalgia tahun 2002, tapi itu karena mereka termasuk tuan rumah (sempat menang 2-0 dari Yunani, eks juara Eropa yang sangat mengherankan bermain jauh di bawah form, tapi tadi malam Korsel dihajar Argentina 4-1).

Dulu jumlah peserta terfokus pada 16 besar. Sistem gugur (KO) sejak ronde pertama. Betul-betul seru dan menegangkan sejak awal. Benar-benar pesta sepak bola dunia.

Sekarang tidak lagi demikian. Mungkin karena tidak sampai hati maka diberikan jatah tambahan kepada beberapa negara yang dianggap masih di bawah kualitas agar bisa berpartisipasi. Kalau langsung sistem gugur tentu tidak mudah mengaturnya.

Penyelenggara piala dunia perlu memikirkan formulasi negara peserta agar tension piala dunia betul-betul seru.
Mungkin bisa dipikirkan untuk membuat preliminary rounds dulu untuk sejumlah peserta "kelas bawah" untuk menghasilkan 4 kandidat. Katakanlah mendapatkan 4 dari 16 negara. Lalu beberapa negara "kelas satu"pun bertarung untuk menghasilkan 12 kandidat. Mungkin 12 dari 16. Sistemnya bisa diatur.
Lalu yang 16 ini diundi untuk sistem gugur sampai ke final.

Semoga piala dunia menjadi lebih seru dan mutu sepakbola dunia meningkat.

Thursday, June 10, 2010

Piala Dunia

Tidak terasa Piala Dunia 2010 besok dimulai. Bagi saya piala dunia seolah perjalanan hidup. Seingat saya, saya menonton semua siaran langsung piala dunia sejak saya "melek" piala dunia pada tahun 1970.
Piala dunia 1970 itu sangat memorable buat saya. Waktu itu yang bisa dinikmati di Indonesia adalah finalnya saja. Final kali itu dilangsungkan di Mexico di mana di final bertemu Brazil melawan Italia.
Sejak sore ayah saya telah menggelar kasur di depan televisi agar saya dan adik (Tigor) bisa tidur dulu sejenak bila telah mengantuk menunggu. Ayah berjanji akan membangunkan kami lepas tengah malam di mana final disiarkan secara langsung oleh TVRI (satu-satunya saluran tv di tanah air waktu itu).

Ini adalah kali kedua ayah kami menyiapkan kasur di mana kami disuruh tidur dulu dan akan dibangunkan pada sekitar jam 2 lepas tengah malam. Yang pertama adalah tahun sebelumnya yakni tahun 1969, ketika kami menonton siaran langsung pendaratan Apollo 11 di bulan. Ayah berkata kepada kami berdua (saya kelas 5 SD dan Tigor kelas 4 SD), bahwa yang akan kami tonton adalah sejarah besar dunia. Ayah ingin kami menjadi saksi sejarah atas pendaratan pertama manusia di bulan. Dalam keadaan sangat mengantuk, kami mencoba membangun kesadaran ketika ayah membangunkan dan menyemangati kami berdua anakya untuk menonton. Cara ayah sangat membangun semangat. Dia mencoba menerangkan apa yang sedang kami saksikan. Walaupun kualitas gambar tidak terlalu baik tetapi kami jelas melihat bagaimana pesawat pendarat mendekati, dan bahkan mendarat di bulan. Itu berlangsung cukup lama. Bahkan kami melihat bagaimana Neil Amstrong keluar, menginjak bulan dan berjalan di bulan. Diikuti pula oleh Edwin Aldrin. Sementara kedua temannya ini mendarat dan berjalan di bulan, astronot ke 3 Michael Collins mengorbit bulan, siap menerima kedua temannya ini kelak bergabung kembali dengan pesawat pelontar yang akan bergabung dengan pesawat Collins dan mereka bertiga kembali ke bumi. Dengan sangat baiknya ayah menerangkan semua kejadian itu sehingga selama beberapa tahun saya ingat dengan baik nama semua pesawat/sub pesawat dari Apollo 11. Sayang hari ini saya sudah mulai lupa.

Tahun 1970 itu kami menonton bagaimana final hebat piala dunia dimenangkan oleh Brazil dengan skor 4-1. Pele mencetak 1 gol. Habis pertandingan Pele diarak dan didukung oleh banyak sekali orang. Pele tinggal memakai celana dalam karena semua pakaiannya telah habis ditarik dan dirobek oleh penggemarnya untuk dijadikan kenang-kenangan.

Pele memang pemain terbaik masa itu. Dialah pemain terbaik dunia saat itu. Dan bagi saya dialah tetap pemain terbaik dunia sampai saat ini. Maradona bagi saya tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan Pele. Maradona bagi saya adalah kesempurnaan skill pemain umum yang justru lebih "Eropa". Maradona sanggup bermain dengan kecepatan luar biasa dengan kontrol yang prima, tetapi semua seolah menjalankan satu set-up yang sudah ditentukan. Messi sejenis tapi masih di bawah Maradona. Pele bukan hanya sempurna dalam segala skill, tetapi dia juga sanggup mengatur ritme bermain dan bergerak sehingga permainan langsung terlihat bisa bervariasi setiap saat dan kapan saja Pele menghendakinya. Pele orangnya ramah, santun, permainannya bersih dan baik hati. Moralnya baik dan tampang/ekspresinya adalah orang elok pula. Maradona kebalikannya dalam segala hal. Tidak ramah, tidak santun, pemain "super kotor", culas dan bermoral buruk. Ekspresinyapun adalah ekspresi penjahat.

Walaupun yang dapat dinikmati waktu itu adalah siaran langsung final, tetapi saya dan adik saya mengikuti dengan cermat seluruh perkembangan final di Mexico sejak babak pertama. Semua kami dapatkan dari surat kabar. Kami sangat mengagumi sketsa terjadinya gerakan hebat atau gol yang terjadi yang disajikan dalam karikatur. Di lapangan (karena kami juga sangat senang bermain bola), sketsa itu sering kami coba-coba tiru dengan sesama anak-anak tetangga teman kami bermain bola. Itulah sebabnya kami sangat mengenal Sandro Mazzola, Facchetti, Boninsegna, kiper Albertosi, Gianni Rivera dan bahkan penyerang paling terkenal Italia yaitu Luigi Riva. Yang terakhir ini sering dipanggil Gigi Riva. Saya sangat menyenangi dia. Dia sangat hebat dan gigih. Sayang Italia yang memomulerkan "Il Cattenaccio"/Sistem Grendel itu gagal di final dan cuma mencetak satu gol.
Adapun Carlos Alberto, Rivelinho, Tostao, Gerson, Jairzinho dan Pele adalah pemain-pemain yang hampir semua gerakan mereka ada di kepala dan hati kami dan sering kami praktekkan di lapangan. Dulu klub sepak bola kami dinamai PSFP I (Pers. Spkbola Flat Pertamina I). Kami waktu itu tinggal di sebuah flat Pertamina di Tanah Abang V, Jakarta.

Kami juga mengenal pemain-pemain kesebelasan lain. Yang sangat meresap di hati saya adalah Jerman Barat. Tahun 1970 itulah saya jatuh cinta pada kesebelasan Jerman Barat (sekarang Jerman). Sampai sekarang saya telah menonton pergelaran 10 piala dunia dan saya belum pernah berubah untuk tetap menjagokan Jerman Barat (Jerman). Tahun 70 itu saya jatuh cinta pada permainan Franz Beckenbauer (dia telah main tahun 1966 di Inggris). Cara bermain dia (sbg libero) sangat mengilhami saya dalam berpikir dan bertindak dalam hidup. Banyak feed back orang lain yang saya terima atas perilaku saya, saya pikir sangat terilhami oleh cara bermain Beckenbauer. Puluhan organisasi besar kecil yang saya ketuai (hampir di semua organisasi yang saya ikuti, saya dipilih menjadi ketua) saya handle dengan ilham posisi libero. Menurut saya posisi libero itu sangat agung. Secara umum bermain sebagai libero itu artinya mengatur permainan keseluruhan dengan terus bergerak menemani dan mendukung semua pemain yang sedang menguasai bola. Jadi kita harus siap berlari ke depan/belakang, kiri/kanan dengan mata yang terus mengamati perkembangan yang ada. Bila dalam bertahan kita ikut menggalang dan mengatur pertahanan, dalam membangun serangan kita menjadi sentral pola permainan, dalam menyerang kita menjadi eksponen ekstra yang menyukseskan terjadinya gol. Banyak yang tidak sadar bahwa selain memainkan bola dan mata, seorang libero harus juga bermain dengan mulut! Artinya setiap saat apakah kita di depan atau di samping atau di belakang teman kita, kita memberi informasi dan aba-aba yang dibutuhkan oleh teman kita itu. Tidak heran bila Beckenbauer itu digelari "Der Kaizer". Dia betul-betul seorang kaisar. Sayang sang Kaisar hanya bisa membawa timnya sampai di semi final. Ditekuk Italia dengan skor 4-3 lewat pertandingan super dramatis.

Sayapun sangat mengagumi Sepp Maier yang merupakan penjaga gawang pujaan saya sampai saat ini. Lalu, pemain favorit saya sepanjang masa adalah Gerd Muller. Pemain dengan julukan "Der Bomber" ini selalu mengagumkan saya dengan kejeliannya untuk berdiri di tempat terbaik dan memainkan manuver brilyan untuk mencetak gol. Dia digelari pula raja kotak penalti. Dia pencetak gol terhebat dalam era modern (14 gol dalam 2 piala dunia, rata-rata 7 gol!). Ronaldo dari Brazil yang tidak saya sukai itu mematahkannya dengan 15 gol, tetapi dalam 3 piala dunia (rata-rata 5 gol). Ronaldo sangat tidak bisa disejajarkan dengan Gerd Muller.

Tahun 70 itu saya juga masih melihat kehebatan dari Uwe Seeler. Pemain Hamburger SV ini adalah "header"/penanduk bola yang belum ada duanya sampai saat ini. Betapa bahagianya saya ketika suatu saat di masa yang lalu Seeler pernah datang ke Indonesia. Tentu saja tahun 70 itu sayapun waktu itu mengenal Juergen Grabowski, Wolfgang Overath, Schnellinger dan lain-lainnya. Juga pemain-pemain dari kesebelasan negara lain. Kelak di kemudian hari ada sebuah film dokumenter tentang final piala dunia 70 ini yang diputar di bioskop-bioskop. Sudah pasti saya dan adik saya Tigor menonton film ini. Judulnya "The world is under their feet". Kami menonton di Jakarta Theater (bioskop paling top jaman itu). Di situ kami makin melihat betapa hebatnya strategi yang dibuat para kesebelasan, yang diselenggarakan di lapangan dengan skill tingkat dunia.

Tahun 74 saya sudah SMP kelas 2. Final mempertemukan Jerman Barat dengan Belanda. Hampir semua orang di Indonesia dan dunia memegang Belanda, termasuk ayah dan adik saya. Saya tetaplah Jerman Barat. Saya punya kompleks ketidaksukaan pada Belanda. Entah mengapa kompleks itu tidak pernah hilang sampai hari ini. Saya suka agak kesal melihat orang pro Belanda. Saya selalu melihat Belanda sebagai kesebelasan yang sombong.
Memang perjalanan Belanda ke final 74 itu hebat. Cruyff dengan timnya mencetak banyak gol dan tidak pernah kebobolan. Kiper Jongbloed, Krol, Hulshoff, Neeskens, Rep, van Hanegem dan lain-lainnya memang mengagumkan. Tetapi saya melihat mereka tetaplah kesebelasan yang punya kelemahan. Kelemahan mereka menurut saya adalah pada ketidakstabilan diri mereka. Terlalu banyak bintang justru menurut saya merupakan kelemahan mereka. Saya selalu merasa jauh sebelum final dimulai bahwa kekuatan Jerman Barat sebagai tim adalah jauh lebih hebat. Jerman Barat menang menurut saya dalam kekompakan dan usaha maksimal bersama sebagai suatu bangsa. Ketika menit awal Belanda leading saya tetap tenang. Akhirnya Jerman Barat yang menang dengan skor 2-1. Suatu trauma bagi Cruyff dan Belanda pada umumnya yang menurut saya tidak pernah hilang dari jidat mereka sampai hari ini. Lihat saja kejuaraan Eropa 2008 yang lalu. Begitu sombongnya pencinta Belanda bilang bahwa Belanda tinggal memilih lawan untuk di final nanti (untuk kemudian akan dihancurkan pula oleh Belanda). Semua ini karena rekor yang mengagumkan di awal. Ternyata keok kepada Rusia. Kelihatannya Belanda menjadi spesialis hebat di awal tapi rapuh di ujung. Yah semoga sajalah tahun ini bisa sembuh.

Tahun 78 saya menonton final di Argentina sebagai mahasiswa S1 di Bandung. Itu adalah masa yang memorable karena kampus saya sedang tidak normal berkenaan dengan bentrok demo besar-besaran saat itu. Ada kelas-kelas yang menyelenggarakan proses belajar mengajar dengan TV siaran terbatas. Jadi hanya 1 dosen yang mengajar tapi disiarkan ke banyak kelas. Kita melihat dosen mengajar kita melalui tv. Betapa shocknya dosen melihat dari monitor feedbacknya para mahasiswa mengerubungi tv yang terletak di ujung setiap kelas yang diganti channelnya untuk melihat siaran piala dunia. Sejak saat itulah program TVST di kampus saya diganti dengan single channel dan akhirnya gagal total.
Jerman keok. Di final Belanda yang "kelihatannya hebat" dipurukkan oleh duet Argentina Mario Kempes dan Leopoldo Luque.

Tahun 82 saya berharap banyak tetapi Jerman di final dikalahkan oleh Italia 3-1. Saya menonton pada tingkat akhir di perkuliahan.

Tahun 86 Jerman dikalahkan Argentina 3-2 di menit-menit akhir (berawal dari umpan silang yang hebat dari Maradona). Waktu itu saya telah memulai karir dalam bekerja.

Tahun 90 Jerman menjadi juara dunia mengalahkan Argentina 1-0 (Maradona menangis tersedu-sedu). Waktu itu saya dalam persiapan menuju pernikahan.

Tahun 94 dan 98 adalah tahun kelam bagi Jerman. Semua saya tonton dalam rona kehidupan yang berbeda di mana anak-anak beranjak besar dan perubahan karir dari bekerja profesional menjadi dosen.

Tahun 2002 Jerman kalah lagi di final kepada Brazil (2-0). Gol dicetak oleh Ronaldo dan Rivaldo (dikenal dengan sebutan Ro-Ro). Saya memegang sebuah jabatan tinggi di sebuah universitas.

Tahun 2006 Jerman dikalahkan di semi final oleh Italia dalam pertandingan yang dramatis.

Demikianlah piala dunia. Dia terus bergulir. Entah mengapa rasanya saya melihatnya seperti pilar-pilar berjarak sama yang dihiasi oleh ornamen-ornamen dan tumbuhan menjalar yang membuat pilar-pilar itu indah. Nama ornamen-ornamen itu, "kehidupan saya."