Wednesday, November 24, 2010

Proses pelahiran seorang tokoh/pemimpin

Di tengah hiruk pikuk abnormalnya negara, entah mengapa pikiran saya terarah kepada proses pelahiran seorang tokoh/pemimpin.

Saat ini rakyat sedang menyaksikan suatu perjalanan panjang terpilihnya pemimpin KPK karena Antasari Anshar (pemimpin KPK sebelumnya) tervonis secara hukum. Kandidat terpilih ada dua orang. Secara hati kita cukup terharu (seperti biasanya bagaimana seorang tokoh akan terpilih di negara ini, karena kita sebagai rakyat selalu merindukan sosok yang kita harapkan mampu menjadi pemimpin kita), bahwa rasanya kredibilitas siapapun yang akan terpilih ini kelihatannya cukup menjanjikan.

Akan tetapi betapa sedihnya saya barusan, ketika melihat suatu tayangan dari salah satu stasiun TV yang menampilkan salah satu dari kandidat yang diadu dengan seorang lawyer kawakan. Acara ini sendiri dipandu oleh salah satu penyiar kawakan dari stasiun TV tersebut.
Penyiar mencoba membangun suatu kontoversi yang membuat salah satu kandidat pemimpin KPK pada posisi berseberangan dengan lawyer kawakan tersebut. Semua dimulai dari titik berangkat bahwa sesungguhnya pekerjaan sehari-hari keduanya sebenarnya adalah lawyer.
Saya sebetulnya selama ini termasuk seorang yang sangat tidak suka dengan gaya bicara, lagak dan opini-opini si lawyer kawakan, walaupun dia kebetulan satu suku dengan saya. Lawyer kawakan ini selalu membuat saya merasa terganggu selama ini dengan segala tutur sikap, bicara dan gayanya.

Di awal perseberangan sepertinya terlihat bahwa kandidat ketua KPK itu memukul telak si lawyer karena gayanya yang santun dan elegan.
Akan tetapi si calon ketua KPK mulai memukul si lawyer dengan kata-kata yang menurut saya kasar (walaupun dengan gaya yang kelihatannya sopan) bahwa si lawyer sedang menjalankan "stategi neraka", dan si calket KPK (secara konsekuensi pembicaraan berada pada strategi sorga). Di sinilah terlihat belangnya si calket KPK itu. Menurut saya dia tidak perlu mencaci (maaf sekali lagi, walaupun dengan gaya sok santun dengan suara mendayu sesuai kekhasannya). Menurut saya buat apa dia harus memukul orang lain dan menepuk dada seolah dia orang paling baik di dunia ini.

Si lawyer kontroversial itu tentu saja bereaksi dengan gaya khasnya yang tengil tetapi sangat intelektual dan sangat membuktikan bahwa dia seorang yang sangat profesional. Semua yang dinyatakan oleh si calket KPK dimentahkan oleh si lawyer dengan baik sekali. Konstelasi pencacian terhadap dirinya justru dibalikkan oleh si lawyer menjadi suatu ajang untuk mengejek kemunafikan si calket KPK. Saya sungguh terbelalak melihat hal ini. Meskipun si lawyer orang yang selama tidak saya sukai, justru pada malam ini saya jelas berpihak pada si lawyer. Bukan karena unsur primordialisme (tokh dari dulu saya tidak pernah suka pada si lawyer), tapi semata karena logikalah keberpihakan saya tertuju pada si lawyer.

Merasa sudah tersudut, si calket KPK mulai lagi dengan pembelaan yang sangat fals mencoba menyatakan dirinya pada sudut moral dan menyebut si lawyer terkenal pada sisi/pemikiran profesional (yang katanya sangat antagonis dan tidak bisa dengan mudah diperbandingkan). Tentulah di sini si calket KPK secara obyektif sudah kalah karena mereka sebenarnya mereka seprofesi, tapi gelar profesional sudah diberikannya pada lawan yang dicercanya dalam pembicaraan). Lalu makin munafiklah saya lihat ketertelanjangan si calket KPK itu. Jelaslah dia sudah main subyektivitas dengan mengelakkan konstelasi (buktinya dia kerutkan posisi menjadi moral vs profesionalisme, berarti dia sudah mengaku kalah secara profesi bahwa di antara kedua lawyer ini si lawyer kawakanlah yang disebutnya pada posisi profesional). Kalau dalam tinju sebenarnya dia sendiri yang sudah melempar handuk, tapi berlagak masih mau main.
Sebagai dalih untuk tidak mau kalah (karena munafik dan sifat ngeyel rupanya ciri khasnya), dikatakannya dia berada pada sisi moral. Mata yang tajam sebenarnya tentu melihat bahwa dia sudah menarik pembicaraan pada sentimen yang ada padanya. Dia merasa sistem sentimen yang dimilikinya yang lebih hebat (dari si lawyer). Kekecewaan saya makin mantap ketika saya lihat si penyiarpun sepertinya sudah lebih pula berpihak pada si calket KPK yang munafik itu. Lucu sekali segera terlihat bahwa si penyiar memberi pertanyaan atau tanggapan otomatis (terlihat dari cara bicara, gaya tubuh dan gaya matanya) yang lebih memihak pada si munafik. Mengapa? Sistem sentimen!
Sistem sentimen si penyiar lebih mirip dengan sistem sentimen si munafik.

Untunglah si lawyer kawakan pandai menempatkan dirinya dan terus mengepung dengan profesionalismenya. Sehingga ketika si penyiar menutup acaranya dia seolah juga ikut kalah.

Itulah titik penting olah pikir saya tentang terlahirnya seorang pemimpin di negara ini. Saya memakai kata pelahiran dan bukan kelahiran, karena istilah pelahiran menurut saya lebih menyiratkan peran dominan pihak lain dalam proses terlahirnya sesuatu. Baru saya sadar betapa kacaunya negeri ini. Para pemimpin yang lahir dari suatu seleksi yang mulanya selalu kita pikir bagus atau demokratislah atau sesuai undang-undanglah dsb, padahal sesungguhnya semu dan penuh rekayasa. Pantaslah lahir pemimpin-pemimpin semu. Pemilihan ketua KPK baru juga saya sadari sebenarnya tidak jauh dari pelahiran yang penuh rekayasa juga. Apalagi sebabnya kalau bukan sentimen-sentimen yang itu-itu juga.

Di Amerika, Eropa Barat yang maju, Jepang dan sebagainya selalu pelahiran seorang tokoh/pemimpin ditandai dengan upaya untuk meminimasi rekayasa. Dieliminirlah politik uang (walaupun tentu tidak 100% hilang, tapi sangat penuh konsekuensi untuk kasus yang jelas sudah telanjang), dieliminirlah unsur sentimen pribadi (lihatlah Obama yang kulit hitam bisa menjadi presiden AS), dsb.
Pelahiran lebih mengutamakan evaluasi atas program yang akan dijalankan. Bukan dengan melihat pada titik mana seorang calon berdiri yang sarat dengan aroma sistem sentimen. Kalau yang terakhir ini dipakai, maka orang akan fanatik dengan calon mana yang sistem sentimennya sama, jadi tidak obyektif lagi.
Di negara yang disebut demokratis, terbukti bahwa seseorang bisa memilih calon yang berbeda sistem sentimennya dengan dia karena terlihat bahwa program calon tersebut lebih masuk di akalnya dan jelas lebih berpihak kepadanya.

Jelaslah di halaman kita selama ini lahir pemimpin-pemimpin semu. Jelaslah penyebab hiruk pikuk semua keadaan dengan segala keabnormalannya. Kasihan negeri ini!

No comments:

Post a Comment