Sunday, June 20, 2010

Orang Indonesia sulit bersikap khidmat

Sudah beberapa kali Presiden SBY menyatakan kemarahannya bila sedang berbicara/berpidato mendapati peserta saling berbicara (mengobrol satu sama lain) atau mengantuk. Yang dimarahi ada yang berpangkat menteri, gubernur, pejabat tinggi dan lain sebagainya.

Sebagai seorang dosen, sayapun sering mendapati para mahasiswa mengobrol seenaknya ketika saya sedang mengajar. Tidak cuma mhs S1, juga pada tingkat lebih tinggi! Sayapun ada beberapa kali harus marah, terutama bila telah memberi peringatan beberapa kali dan tidak diindahkan.
Sepengamatan saya inipun terjadi sejak dulu di sekolah ketika saya memimpin rapat-rapat OSIS atau memimpin upacara bendera sebagai komandan/inspektur. Seringkali teman-teman mengobrol kiri-kanan dan depan-belakang seenaknya. Tidak perduli apa yang terjadi di depan dan seolah tidak menganggap perlu apa yang dibicarakan di depan. Berkali-kali harus dimintai perhatian, tetapi orang-orang akan senyap sejenak untuk kemudian mengobrol lagi.
Juga ketika di kantor dalam pertemuan-pertemuan rutin. Sering sekali orang mengobrol satu sama lain.

Keadaan sama saya temui pada banyak pertemuan lain yang saya amati. Kalau untuk pertemuan resmi saja orang tidak perduli apalagi di rapat-rapat RT, organisasi keluarga, kemasyarakatan dan termasuk keagamaan. Yang lebih mengerikan lagi, juga di tempat-tempat ibadah.

Di Indonesia betul-betul sering tidak tertib/khidmat suasana pertemuan-pertemuan yang diadakan. Apalagi bila ada dan banyak anak-anak. Anak-anak tidak terkendali untuk bicara seenaknya, berteriak, menangis, lari ke sana-kemari, dan lain sebagainya.

Sangat kontras perbedaannya saya lihat di negara-negara yang kita sebut "maju". Di sana orang semua akan diam khidmat ketika presiden/perdana menteri/direktur/pemimpin pertemuan berbicara. Semua akan mendengar dan memperhatikan dengan serius apa yang sedang dibicarakan. Tidak akan ada yang berbicara, menyela, atau bahkan tidur. Semua orang akan duduk dengan tegak, mendengar dengan khidmat. Tidak akan ada komentar merendahkan yang ingin didiskusikan dengan teman di sebelahnya. Itu semua sudah menjadi kebiasaan setiap orang. (Ciri masyarakat cerdas)

Yang paling hebat di tempat-tempat ibadah dan bahkan di tempat pergelaran musik klasik dilaksanakan, semua orang akan dengan serta merta untuk duduk dengan tenang mendengarkan. Di tempat-tempat ibadah atau tempat pergelaran musik juga banyak anak kecil, tetapi semua anak bisa dengan tenang mengikuti acara. Dengan elegan semua orangtua dapat mengendalikan agar anak-anaknya tidak berbicara, ngobrol atau berlarian ke sana ke mari. Andaikanpun ada sesuatu yang penting hendak ditanyakan, anak-anak akan menanya dengan tertib dan berbunyi setengah suara. Dengan setengah suara pula orangtua akan menjawab pertanyaan anak-anaknya dengan baik.
Ini berarti bahwa setiap orang di keluarga masing-masing telah terjadi proses pendidikan yang baik. Ini berarti bahwa di setiap keluarga telah diajarkan untuk saling menghormati orang lain.

Saya sangat sedih dengan perbedaan ini. Kebanyakan saya lihat yang mengobrol itu adalah orang yang tinggi hati yang merasa bahwa orang yang sedang berbicara di depan selalu lebih bodoh daripada dia (yang mendengar), sehingga perlu diobrolkan kepada orang lain. Entah mengapa orang Indonesia senang menyeletuk, memrotes, merasa lebih pintar, merasa harus mendiskusikan dengan setengah suara pidato/ceramah yang sedang dibagikan segera di ruang rapat tersebut ketika pidato/ceramah sedang dibagikan. Kalau tidak mereka, maka yang sering tidak tertib ini umumnya adalah saudara-saudara yang tingkat kehidupan bermasyarakatnya memang masih rendah.

Betapa orang Indonesia kehilangan banyak hal penting dengan mengabaikan/menganggap rendah pembicaraan yang sedang berlangsung. Betapa kita kehilangan banyak isi/konteks/makna dari pembicaraan/pidato/ceramah yang sedang dibagikan. Betapa rusak berantakannya kita mengartikan/mengartikulasikan/mengejawantahkan apa yang telah dibagikan. Selalu salah konteks, salah pengertian, salah sambung, dan seterusnya.
Tetapi selalu merasa sebagai bangsa yang besar/hebat/cerdas dan lain sebagainya.

Apabila ingin mencerdaskan kehidupan bangsa, kita harus bisa mengendalikan diri kita, teman-teman dan keluarga (termasuk anak-anak). Janganlah bermimpi menjadi bangsa yang besar, apalagi merasa sudah dekat menjadi bangsa yang besar.

Selama masih sering mengobrol satu sama lain di pertemuan-pertemuan dan tidak bisa mengendalikan anak-anak di acara-acara, kita tetaplah menjadi bangsa yang tolol.
Masih jauh cita-cita itu terwujud. Padahal sudah 65 tahun merdeka. Jangan kita cari excuse dengan melihat negara lain yang sudah berumur panjang. Banyak bangsa lain lebih muda dari kita merdeka, tapi sudah jauh meninggalkan kita.

No comments:

Post a Comment