Monday, June 21, 2010

Pengumpul sertifikat

Salah satu kesalahan fatal dari kita bermasyarakat adalah disambungkannya sertifikat pencapaian suatu kemampuan dengan hirarki jabatan dalam organisasi. Wujud nyatanya misalnya untuk jabatan tertentu di suatu organisasi dipersyaratkan harus sarjana, S2, S3 dan sebagainya. Apalagi kalau ditambahkan embel-embel bahwa sertifikat yang diakui hanyalah dari badan-badan yang dianggap kredibel.
Lalu ini dimasukkan ke dalam syarat-syarat untuk mencapai suatu jabatan.
Keadaan ini sudah sangat merebak di masyarakat kita, terutama memang di birokrasi-birokrasi kita.

Ini salah total.

Sudah umum terjadi sekarang, dan ini aneh bin ajaib, untuk mensahkan dijabatnya suatu jabatan atau kenaikan pangkat dalam suatu birokrasi, orang-orang menjadi pengumpul sertifikat. Orang-orang yang dicalonkan untuk menjadi pemimpin tertentu diperiksa apakah sudah sarjana, S2, S3, sudah ikut kursus ini dan itu, sudah ikut penataran ini dan itu dan sebagainya.

Ini rusak berat. Inilah salah satu pangkal korupsi itu.

Bukankah untuk mengetahui keabsahan seseorang yang akan diangkat seharusnya justru diuji kemampuan dan kepemimpinannya? Salah sekali bila penentuan hanya dilaksanakan dengan melihat segala sertifikat yang dimilikinya.

Dalam perjalanan hidup saya, saya pernah bergabung dengan beberapa perusahaan internasional besar dengan jangkauan bisnis di seluruh dunia. Secara prinsip tidak sekalipun pernah dipersoalkan sertifikat apa yang dimiliki oleh seseorang untuk menduduki jabatan tertentu. Tidak pernah sekalipun dipersoalkan seseorang menduduki jabatan tertentu karena memiliki sertifikat dari organisasi pengeluar sertifikat yang dianggap tidak hebat/kredibel.
Saya pernah mengikuti suatu interview selama satu hari penuh oleh seorang GM bangsa asing dari negara yang sangat maju untuk jabatan Project Manager. Tidak satu kalipun ditanya apakah saya seorang sarjana atau bukan, apalagi menanyakan bahwa saya sarjana dari universitas mana. Sejak pagi sampai jauh malam yang diujikan pada saya melulu persoalan teknis/non teknis tugas sebagai seorang Project Manager.
Baru setelah saya dinyatakan lulus, dia melihat-lihat dengan puas sertifikat yang saya miliki.

Jadi yang penting calon itu diuji. Sejauh seseorang telah memenuhi uji kualifikasi (untuk kenaikan pangkat ujian dilakukan selama kurun waktu yang panjang/bukan ujian sesaat, apalagi rekomendasi orang lain), dia berhak diangkat untuk jabatan itu.
Bila dia punya sertifikat ini dan itu, tentu lebih baik lagi.

Pernah saya temukan bahwa pemimpin perusahaan kami hanyalah seorang sarjana muda, sementara kami bawahannya ada yang S2, S3 dan juga sejumlah Professor Teknik.
Tapi jangan coba-coba bertanding dengan dia tentang kemampuan teknis lapangan, kemampuan memimpin, teknis negosiasi, pengambilan keputusan, pemasaran dunia, kemampuan sosial, kemampuan bahasa dan lain sebagainya, tidak mudah bagi kami untuk mengalahkan dia.

Mereka yang tegar tengkuk, terutama dari birokrasi negeri ini pernah menyanggah pernyataan saya ini dengan mengatakan kalau begitu buat apa orang sekolah capek capek mencapai strata tinggi? Buat apa itu? kata mereka.
Jawab saya, ya justru itulah kita semua harus sekolah setinggi-tingginya untuk siap mencapai kualifikasi yang dibutuhkan ketika kita diuji kelak. Bukan dengan menyodorkan sertifikat-sertifikat yang kita miliki lalu kita meminta untuk dinaikkan pangkat. Itulah kebodohan besar, ciri bangsa yang tidak cerdas.

Semoga organisasi kita semua sadar untuk tidak melakukan kekeliruan dengan mengabsahkan kualifikasi dengan melihat sertifikat atau menggagalkan kualifikasi karena pengeluar sertifikat adalah bukan badan/universitas yang dianggap favorit/kredibel. Tidak ada dasarnya mengatakan pemegang suatu sertfikat dari badan yang dianggap kredibel pasti lebih hebat dari yang dianggap tidak kredibel.

Uji kualifikasi yang dapat dipertanggungjawabkan, itulah kuncinya.

No comments:

Post a Comment