Thursday, June 10, 2010

Piala Dunia

Tidak terasa Piala Dunia 2010 besok dimulai. Bagi saya piala dunia seolah perjalanan hidup. Seingat saya, saya menonton semua siaran langsung piala dunia sejak saya "melek" piala dunia pada tahun 1970.
Piala dunia 1970 itu sangat memorable buat saya. Waktu itu yang bisa dinikmati di Indonesia adalah finalnya saja. Final kali itu dilangsungkan di Mexico di mana di final bertemu Brazil melawan Italia.
Sejak sore ayah saya telah menggelar kasur di depan televisi agar saya dan adik (Tigor) bisa tidur dulu sejenak bila telah mengantuk menunggu. Ayah berjanji akan membangunkan kami lepas tengah malam di mana final disiarkan secara langsung oleh TVRI (satu-satunya saluran tv di tanah air waktu itu).

Ini adalah kali kedua ayah kami menyiapkan kasur di mana kami disuruh tidur dulu dan akan dibangunkan pada sekitar jam 2 lepas tengah malam. Yang pertama adalah tahun sebelumnya yakni tahun 1969, ketika kami menonton siaran langsung pendaratan Apollo 11 di bulan. Ayah berkata kepada kami berdua (saya kelas 5 SD dan Tigor kelas 4 SD), bahwa yang akan kami tonton adalah sejarah besar dunia. Ayah ingin kami menjadi saksi sejarah atas pendaratan pertama manusia di bulan. Dalam keadaan sangat mengantuk, kami mencoba membangun kesadaran ketika ayah membangunkan dan menyemangati kami berdua anakya untuk menonton. Cara ayah sangat membangun semangat. Dia mencoba menerangkan apa yang sedang kami saksikan. Walaupun kualitas gambar tidak terlalu baik tetapi kami jelas melihat bagaimana pesawat pendarat mendekati, dan bahkan mendarat di bulan. Itu berlangsung cukup lama. Bahkan kami melihat bagaimana Neil Amstrong keluar, menginjak bulan dan berjalan di bulan. Diikuti pula oleh Edwin Aldrin. Sementara kedua temannya ini mendarat dan berjalan di bulan, astronot ke 3 Michael Collins mengorbit bulan, siap menerima kedua temannya ini kelak bergabung kembali dengan pesawat pelontar yang akan bergabung dengan pesawat Collins dan mereka bertiga kembali ke bumi. Dengan sangat baiknya ayah menerangkan semua kejadian itu sehingga selama beberapa tahun saya ingat dengan baik nama semua pesawat/sub pesawat dari Apollo 11. Sayang hari ini saya sudah mulai lupa.

Tahun 1970 itu kami menonton bagaimana final hebat piala dunia dimenangkan oleh Brazil dengan skor 4-1. Pele mencetak 1 gol. Habis pertandingan Pele diarak dan didukung oleh banyak sekali orang. Pele tinggal memakai celana dalam karena semua pakaiannya telah habis ditarik dan dirobek oleh penggemarnya untuk dijadikan kenang-kenangan.

Pele memang pemain terbaik masa itu. Dialah pemain terbaik dunia saat itu. Dan bagi saya dialah tetap pemain terbaik dunia sampai saat ini. Maradona bagi saya tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan Pele. Maradona bagi saya adalah kesempurnaan skill pemain umum yang justru lebih "Eropa". Maradona sanggup bermain dengan kecepatan luar biasa dengan kontrol yang prima, tetapi semua seolah menjalankan satu set-up yang sudah ditentukan. Messi sejenis tapi masih di bawah Maradona. Pele bukan hanya sempurna dalam segala skill, tetapi dia juga sanggup mengatur ritme bermain dan bergerak sehingga permainan langsung terlihat bisa bervariasi setiap saat dan kapan saja Pele menghendakinya. Pele orangnya ramah, santun, permainannya bersih dan baik hati. Moralnya baik dan tampang/ekspresinya adalah orang elok pula. Maradona kebalikannya dalam segala hal. Tidak ramah, tidak santun, pemain "super kotor", culas dan bermoral buruk. Ekspresinyapun adalah ekspresi penjahat.

Walaupun yang dapat dinikmati waktu itu adalah siaran langsung final, tetapi saya dan adik saya mengikuti dengan cermat seluruh perkembangan final di Mexico sejak babak pertama. Semua kami dapatkan dari surat kabar. Kami sangat mengagumi sketsa terjadinya gerakan hebat atau gol yang terjadi yang disajikan dalam karikatur. Di lapangan (karena kami juga sangat senang bermain bola), sketsa itu sering kami coba-coba tiru dengan sesama anak-anak tetangga teman kami bermain bola. Itulah sebabnya kami sangat mengenal Sandro Mazzola, Facchetti, Boninsegna, kiper Albertosi, Gianni Rivera dan bahkan penyerang paling terkenal Italia yaitu Luigi Riva. Yang terakhir ini sering dipanggil Gigi Riva. Saya sangat menyenangi dia. Dia sangat hebat dan gigih. Sayang Italia yang memomulerkan "Il Cattenaccio"/Sistem Grendel itu gagal di final dan cuma mencetak satu gol.
Adapun Carlos Alberto, Rivelinho, Tostao, Gerson, Jairzinho dan Pele adalah pemain-pemain yang hampir semua gerakan mereka ada di kepala dan hati kami dan sering kami praktekkan di lapangan. Dulu klub sepak bola kami dinamai PSFP I (Pers. Spkbola Flat Pertamina I). Kami waktu itu tinggal di sebuah flat Pertamina di Tanah Abang V, Jakarta.

Kami juga mengenal pemain-pemain kesebelasan lain. Yang sangat meresap di hati saya adalah Jerman Barat. Tahun 1970 itulah saya jatuh cinta pada kesebelasan Jerman Barat (sekarang Jerman). Sampai sekarang saya telah menonton pergelaran 10 piala dunia dan saya belum pernah berubah untuk tetap menjagokan Jerman Barat (Jerman). Tahun 70 itu saya jatuh cinta pada permainan Franz Beckenbauer (dia telah main tahun 1966 di Inggris). Cara bermain dia (sbg libero) sangat mengilhami saya dalam berpikir dan bertindak dalam hidup. Banyak feed back orang lain yang saya terima atas perilaku saya, saya pikir sangat terilhami oleh cara bermain Beckenbauer. Puluhan organisasi besar kecil yang saya ketuai (hampir di semua organisasi yang saya ikuti, saya dipilih menjadi ketua) saya handle dengan ilham posisi libero. Menurut saya posisi libero itu sangat agung. Secara umum bermain sebagai libero itu artinya mengatur permainan keseluruhan dengan terus bergerak menemani dan mendukung semua pemain yang sedang menguasai bola. Jadi kita harus siap berlari ke depan/belakang, kiri/kanan dengan mata yang terus mengamati perkembangan yang ada. Bila dalam bertahan kita ikut menggalang dan mengatur pertahanan, dalam membangun serangan kita menjadi sentral pola permainan, dalam menyerang kita menjadi eksponen ekstra yang menyukseskan terjadinya gol. Banyak yang tidak sadar bahwa selain memainkan bola dan mata, seorang libero harus juga bermain dengan mulut! Artinya setiap saat apakah kita di depan atau di samping atau di belakang teman kita, kita memberi informasi dan aba-aba yang dibutuhkan oleh teman kita itu. Tidak heran bila Beckenbauer itu digelari "Der Kaizer". Dia betul-betul seorang kaisar. Sayang sang Kaisar hanya bisa membawa timnya sampai di semi final. Ditekuk Italia dengan skor 4-3 lewat pertandingan super dramatis.

Sayapun sangat mengagumi Sepp Maier yang merupakan penjaga gawang pujaan saya sampai saat ini. Lalu, pemain favorit saya sepanjang masa adalah Gerd Muller. Pemain dengan julukan "Der Bomber" ini selalu mengagumkan saya dengan kejeliannya untuk berdiri di tempat terbaik dan memainkan manuver brilyan untuk mencetak gol. Dia digelari pula raja kotak penalti. Dia pencetak gol terhebat dalam era modern (14 gol dalam 2 piala dunia, rata-rata 7 gol!). Ronaldo dari Brazil yang tidak saya sukai itu mematahkannya dengan 15 gol, tetapi dalam 3 piala dunia (rata-rata 5 gol). Ronaldo sangat tidak bisa disejajarkan dengan Gerd Muller.

Tahun 70 itu saya juga masih melihat kehebatan dari Uwe Seeler. Pemain Hamburger SV ini adalah "header"/penanduk bola yang belum ada duanya sampai saat ini. Betapa bahagianya saya ketika suatu saat di masa yang lalu Seeler pernah datang ke Indonesia. Tentu saja tahun 70 itu sayapun waktu itu mengenal Juergen Grabowski, Wolfgang Overath, Schnellinger dan lain-lainnya. Juga pemain-pemain dari kesebelasan negara lain. Kelak di kemudian hari ada sebuah film dokumenter tentang final piala dunia 70 ini yang diputar di bioskop-bioskop. Sudah pasti saya dan adik saya Tigor menonton film ini. Judulnya "The world is under their feet". Kami menonton di Jakarta Theater (bioskop paling top jaman itu). Di situ kami makin melihat betapa hebatnya strategi yang dibuat para kesebelasan, yang diselenggarakan di lapangan dengan skill tingkat dunia.

Tahun 74 saya sudah SMP kelas 2. Final mempertemukan Jerman Barat dengan Belanda. Hampir semua orang di Indonesia dan dunia memegang Belanda, termasuk ayah dan adik saya. Saya tetaplah Jerman Barat. Saya punya kompleks ketidaksukaan pada Belanda. Entah mengapa kompleks itu tidak pernah hilang sampai hari ini. Saya suka agak kesal melihat orang pro Belanda. Saya selalu melihat Belanda sebagai kesebelasan yang sombong.
Memang perjalanan Belanda ke final 74 itu hebat. Cruyff dengan timnya mencetak banyak gol dan tidak pernah kebobolan. Kiper Jongbloed, Krol, Hulshoff, Neeskens, Rep, van Hanegem dan lain-lainnya memang mengagumkan. Tetapi saya melihat mereka tetaplah kesebelasan yang punya kelemahan. Kelemahan mereka menurut saya adalah pada ketidakstabilan diri mereka. Terlalu banyak bintang justru menurut saya merupakan kelemahan mereka. Saya selalu merasa jauh sebelum final dimulai bahwa kekuatan Jerman Barat sebagai tim adalah jauh lebih hebat. Jerman Barat menang menurut saya dalam kekompakan dan usaha maksimal bersama sebagai suatu bangsa. Ketika menit awal Belanda leading saya tetap tenang. Akhirnya Jerman Barat yang menang dengan skor 2-1. Suatu trauma bagi Cruyff dan Belanda pada umumnya yang menurut saya tidak pernah hilang dari jidat mereka sampai hari ini. Lihat saja kejuaraan Eropa 2008 yang lalu. Begitu sombongnya pencinta Belanda bilang bahwa Belanda tinggal memilih lawan untuk di final nanti (untuk kemudian akan dihancurkan pula oleh Belanda). Semua ini karena rekor yang mengagumkan di awal. Ternyata keok kepada Rusia. Kelihatannya Belanda menjadi spesialis hebat di awal tapi rapuh di ujung. Yah semoga sajalah tahun ini bisa sembuh.

Tahun 78 saya menonton final di Argentina sebagai mahasiswa S1 di Bandung. Itu adalah masa yang memorable karena kampus saya sedang tidak normal berkenaan dengan bentrok demo besar-besaran saat itu. Ada kelas-kelas yang menyelenggarakan proses belajar mengajar dengan TV siaran terbatas. Jadi hanya 1 dosen yang mengajar tapi disiarkan ke banyak kelas. Kita melihat dosen mengajar kita melalui tv. Betapa shocknya dosen melihat dari monitor feedbacknya para mahasiswa mengerubungi tv yang terletak di ujung setiap kelas yang diganti channelnya untuk melihat siaran piala dunia. Sejak saat itulah program TVST di kampus saya diganti dengan single channel dan akhirnya gagal total.
Jerman keok. Di final Belanda yang "kelihatannya hebat" dipurukkan oleh duet Argentina Mario Kempes dan Leopoldo Luque.

Tahun 82 saya berharap banyak tetapi Jerman di final dikalahkan oleh Italia 3-1. Saya menonton pada tingkat akhir di perkuliahan.

Tahun 86 Jerman dikalahkan Argentina 3-2 di menit-menit akhir (berawal dari umpan silang yang hebat dari Maradona). Waktu itu saya telah memulai karir dalam bekerja.

Tahun 90 Jerman menjadi juara dunia mengalahkan Argentina 1-0 (Maradona menangis tersedu-sedu). Waktu itu saya dalam persiapan menuju pernikahan.

Tahun 94 dan 98 adalah tahun kelam bagi Jerman. Semua saya tonton dalam rona kehidupan yang berbeda di mana anak-anak beranjak besar dan perubahan karir dari bekerja profesional menjadi dosen.

Tahun 2002 Jerman kalah lagi di final kepada Brazil (2-0). Gol dicetak oleh Ronaldo dan Rivaldo (dikenal dengan sebutan Ro-Ro). Saya memegang sebuah jabatan tinggi di sebuah universitas.

Tahun 2006 Jerman dikalahkan di semi final oleh Italia dalam pertandingan yang dramatis.

Demikianlah piala dunia. Dia terus bergulir. Entah mengapa rasanya saya melihatnya seperti pilar-pilar berjarak sama yang dihiasi oleh ornamen-ornamen dan tumbuhan menjalar yang membuat pilar-pilar itu indah. Nama ornamen-ornamen itu, "kehidupan saya."

No comments:

Post a Comment