Wednesday, April 1, 2009

Darwandi jadi Arsitek!

Darwandi adalah teman baik saya di SMA. Selalu senang berkawan dengan Darwandi. Rasanya banyak teman juga merasa demikian. Nama lengkapnya Darwandi Tenggara.
Dua masa selama SMA saya sekelas dengan dia.

Kebetulan nilai-nilai saya di SMA cukup baik. Kebalikan dengan Darwandi. Satu-satunya mata pelajaran yang dia suka dan mendapat nilai lumayan adalah menggambar.

Mungkin Darwandi yang "milik" semua teman ini jadi kurang waktu untuk dirinya sendiri. Karena kebaikannya dia menjadi tempat "curhat" banyak teman, baik laki-laki maupun perempuan. Orangnya supel dan murah hati, tidak pernah bisa diam untuk tidak menolong temannya. Dia selalu riang, lucu dan pembuat suasana gembira.

Mungkin karena kekurang-waktuannya untuk belajar, dia sering mendapat nilai kurang baik. Pernah dia dengan seorang teman mendapat nilai 0 (nol) untuk sebuah mata pelajaran. Guru kami cukup sadis. Angka nol itu dibuat besar di kertas ulangan dengan warna merah. Lalu oleh guru itu angka tersebut dihias menjadi wajah seseorang (ada mata, hidung, mulut, dsb.) Mulut wajah itu cemberut dan dari mata wajah tersebut dilukiskan air mata yang berjatuhan.
Akan tetapi Darwandi dan teman se"skor" yang kebetulan satu meja justru ketawa-ketawa dan bersalaman sambil berkata: "Sama nasib kita!"

Tidak seperti biasanya, menghadapi selesai SMA dan akan masuk perguruan tinggi Darwandi tidak seceria biasanya. Barangkali dia berpikir keras akan nasibnya di kemudian hari.

Sebagai teman, saya sedih melihat dia kurang ceria. Setelah lulus dari SMA (dia bersyukur bisa lulus juga), saya bertanya ke mana dia bermaksud meneruskan pendidikan. Dengan cemberut dia bilang agar saya tidak terlalu memikirkan dia. Saya katakan padanya, mengapa dia harus berpikir begitu?
Lalu dia bilang bahwa bagi kamu (maksudnya saya), tidak ada masalahlah untuk terus ke PT, tapi untuk dia katanya, mana ada tampang dia bakal diterima di PT.
Mana mungkin Kawan?, katanya. Saya kan orang paling goblok dari kita semua! (ini perkataannya yang tidak pernah saya lupakan sampai saat ini).

Saya sangat tergugah akan kata-katanya. Lalu saya sampaikan apa yang ada di pikiran saya, "Dar, saat ini kita dalam posisi sama. Ujian masuk PTN (PP I) yang akan datang tidak melihat apa nilai kita di SMA. Yang penting siapa bisa mendapat nilai baik pasti akan diterima."
Lalu dijawabnya, "Nah itu masalahnya. Kan saya tidak punya modal untuk bisa nanti mengerjakan soal ujian PP I yang akan datang?"

Kemudian saya katakan, bahwa dalam waktu dua bulan ini saya akan mengikuti bimbingan tes intensif. Kebanyakan teman juga akan mengikuti bimbingan tes ini. Jadi saya tekankan pada dia bahwa dia harus ikut dan mempersiapkan diri baik-baik. Tokh semua kita berangkat dari nol, ujar saya.

Bimbingan tes intensif yang dua bulan membuat saya belajar habis-habisan, bahkan pulang ke rumahpun saya selalu mengunci kamar untuk belajar. Darwandi kurang saya perhatikan dalam bimbingan tes ini, tetapi saya cukup sering juga sekedar mengontak dia. Selalu saya terima jawaban pesimis dari dirinya. Selalu lagi saya mencoba mengobarkan semangatnya.
Salah satu hal yang membuat dia bimbang adalah dia berdarah keturunan. Selalu saya bilang pada dia untuk membuang jauh pikiran itu. Yang penting dia adalah warga negara Indonesia. Sama dengan saya. Tidak ada urusan kalau dia keturunan.
Demikianlah selalu saya coba membangkitkan semangatnya.

Bimbingan tes telah selesai. Kami mendaftar PP I (membeli formulir dsb.). Karena membeli bersamaan maka kamipun harus mengembalikan sejumlah formulir isian pada saat yang bersamaan pula di salah satu ruangan di UI Salemba. Saya bermaksud mengambil Institut Teknologi terkemuka di kota Bandung (saya bermaksud mengambil jurusan Elektro kelak), dan Darwandi bermaksud mengambil jur Arsitektur di UI.
Alokasi untuk kelompok kami (sekitar 100 orang) untuk mendaftar ulang, hanya 1 jam. Saya sudah mengantri sekitar setengah jam, dan sudah pada posisi kira-kira sepertiga lagi ke petugas penerima formulir. Tetapi Darwandi tidak kelihatan, kemana dia? pikir saya. Akhirnya saya minta ijin meninggalkan tempat sebentar pada orang di depan dan belakang saya. Saya lari ke telepon umum (waktu itu belum ada handphone). Saya telepon, Darwandi masih di rumah. Dia masih ragu-ragu katanya. Lalu saya bentak dia, waktu tinggal setengah jam. Saya hardik (secara teman) agar dia cepat datang. Saya minta dia melupakan semua keragu-raguannya.
Saya lari kembali ke posisi antri semula sambil terus melihat ke jam. Akhirnya 5 menit sebelum alokasi waktu, Darwandi muncul. Untunglah rumahnya di Jatinegara tidak terlalu jauh dari Salemba.
Senang hati saya dan lega rasanya.

Hari H, ujian masuk PTN (PP I) tiba. Ujian diadakan di Stadion Utama Gelanggang Olah Raga Senayan. Betapa tercengangnya saya melihat ribuan orang di stadion (saya datang agak dekat/mepet dengan waktu ujian). Ketika saya melapor pada petugas pintu (ada banyak sekali pintu masuk), saya dituntun menuju tempat saya. Ternyata saya melihat Darwandi sudah duduk. Dia melambaikan tangan. Posisinya tidak terlalu jauh dari tempat saya.

Ketika soal dibagikan petugas kepada semua peserta, ternyata soal untuk saya tidak ada!
Saya mengangkat tangan dan melapor.
Rupanya soalpun jumlahnya persis dengan jumlah peserta, dan diberi nomor pula. Masih saya ingat nomor saya 3o tahunan yang lalu itu, 1117802437.
Kebetulan telah diumumkan bahwa tidak ada peserta ujian yang boleh menyentuh berkas apapun di depannya sebelum tanda waktu diberikan. Pelanggaran terhadap ini berakibat diskualifikasi! Kalau ada masalah, peserta hanya boleh mengangkat tangan dan melapor bila petugas datang.
Selain saya, semua petugas menjadi panik karena memang tidak ada soal yang lebih. Ketegangan juga terasa pada banyak orang sekitar saya.
Tiba-tiba Darwandi mengangkat tangan. Petugas datang. Mata saya mengikuti kejadian itu dengan jelas karena posisi Darwandi tidak jauh dari saya. Darwandi mengatakan (bisa saya dengar), rasanya di soal dia ada dua tumpukan soal.
Petugas memeriksa, ternyata soal saya ada tertumpuk (lebih bagi rupanya tadi) di bawah soal Darwandi.
Soal saya diberikan kepada saya, sekian detik sebelum ujian dimulai. Saya dan Darwandi saling melempar senyum.

Ujian telah selesai. Saya tidak terlalu yakin dengan hasilnya. Siapa yang bisa yakin untuk ujian PT seperti itu? Tetapi Darwandi sudah langsung mengatakan pada saya bahwa dia sama sekali tidak punya kans untuk diterima.
Sedih saya rasa, tapi saya mencoba menghibur dia sambil berkata marilah kita tunggu hasilnya.

Ketika hari pengumuman tiba, saya meluncur ke Senayan untuk mengambil pengumuman resmi dari panitia. Di jalan saya membeli koran. Saya melihat nomor saya ada dan rupanya saya diterima! Syukur pada Tuhan!
Di koran yang diumumkan hanya nomor. Ketika saya menerima pengumuman resmi dari panitia, saya melihat nomor dan nama saya ada dan memang saya resmi diterima. Betapa senang hati saya dan bersyukur kepada Tuhan.

Sambil memegang pengumuman resmi (juga berbentuk koran) saya melihat nama teman-teman lain yang juga diterima di Bandung. 6 orang dari SMA kami diterima di Bandung.
Iseng-iseng saya melihat pengumuman untuk UI. Ternyata Darwandi diterima di jurusan Arsitektur UI! Alangkah bertambah senangnya hati saya melihat kawan baik saya juga diterima.

Sampai di rumah langsung saya menelepon ke rumahnya untuk memberi selamat. Ternyata dia baru bangun! Saya ucapkan selamat karena dia diterima, tetapi dia justru menjawab bingung. Oh iya hari ini pengumuman ya? katanya. Gue lupa, katanya lagi.
Dengan penuh tekanan saya bilang, iya hari ini pengumuman sudah keluar dan Elu diterima! seru saya.
Dia menjawab sinis, ah dasar jago becanda Lu, katanya.
Dengan setengah kesal saya bilang pada dia supaya cepat mandi, dan ambil pengumuman resmi di Senayan sekarang. Ya oklah, jawabnya malas. Gua tetep ngga percaya Lu, ngga mungkin Gua keterima, katanya pada saya.

Beberapa jam kemudian Darwandi menelepon ke rumah.
Kali ini suaranya ceria dan agak terharu. Berkali-kali dia bilang minta maaf dan berterima kasih pada saya.
Lalu dia bilang, orang-tuanya (kebetulan sudah saya kenal baik karena saya sering ke rumahnya) bermaksud malam itu mengundang saya makan malam di sebuah restoran.

Malam itu saya dijamu oleh Darwandi sekeluarga di restoran Ekaria di Jalan Ketapang, Jakarta. Makanan di restoran itu enak sekali. Babenya, Nyaknya, Engkonya, Adiknya bahkan Kakek dan Neneknya hadir semua. Sebelum toast dan makan, Ayahnya khusus mengucapkan terima kasih kepada saya atas apa yang saya lakukan untuk Darwandi.

Sekarang sahabat saya Darwandi sudah menjadi arsitek terkenal. Banyak karyanya telah diapresiasi orang. Dia tetap menjadi sahabat saya. Tidak pernah berubah menjadi sombong. Selalu baik kepada saya.
Ketika saya kuliah di Bandung, dia selalu senang menerima saya bila saya pulang ke Jakarta. Dengan teman-teman lama pasti kami pergi jalan-jalan.

Ketika kami sudah menjalani hidup profesional, dia menjadi motor untuk kami bermain tennis bersama, main golf, bercanda dan makan bersama.

No comments:

Post a Comment