Sunday, April 5, 2009

Tidurnya orang Indonesia

Sepengamatan saya, orang Indonesia itu suka sekali tidur. Mudah sekali kita mendapatkan orang Indonesia tidur.

Di kendaraan umum yang begitu sumpek, ribut dan panas, tetap saja kita temui banyak yang tidur. Padahal barangkali perjalanan mereka tidak terlalu jauh (sebentar lagi juga akan turun di suatu tempat di depan). Di mana-mana di Jakarta mudah sekali kita temui orang tidur. Di siang hari bolong di taman-taman seperti taman pemisah jalan di Jl. Sutoyo (depan UI), banyak sekali orang beralaskan plastik atau koran tidur di bawah pohon. Demikian pula di taman-taman yang lain.

Supir-supir yang menunggui mobil di tempat parkir gedung perkantoran, perbelanjaan, sekolah dsb. banyak sekali bertiduran.
Gaya tidurnyapun bermacam-macam. Kebanyakan membuka satu pintu (ada juga yang dua pintu sekaligus). Ada yang tidak kelihatan dari luar kepalanya, tapi kakinya nyangsang ke atas ke sandaran kursi. Yang agak sama dari semuanya adalah lebarnya mulut mereka terbuka dan air liur mereka berlelehan (bagaimana baunya itu ya?).

Di kantor-kantor (terutama kantor pemerintah) banyak sekali yang tidur di siang bolong. Kadang-kadang mereka dengan tanpa dosa menelungkupkan dan menyilangkan badan dan kepalanya ke meja kerja. Ada yang kacamatanya dilepaskan dulu dan diletakkan di samping kepalanya.
Ada pula yang ngumpet di antara tumpukan berkas dan dokumen untuk tidur (barangkali terutama setelah kantor-kantor diberi AC).

Di kapal terbang kalau orang bule (atau mereka yang berasal dari negara lebih maju dari negara kita) biasanya membaca buku selama perjalanan. Entah itu buku novel atau buku non fiksi. Banyak pula yang terus membuka meja makan lipat dari belakang kursi di depannya untuk mengerjakan/menulis banyak hal, atau membuka laptopnya.
Kalau orang Indonesia, begitu kapal terbang take-off satu demi satu bertiduran. Gaya tidurnyapun seenaknya pula dengan muka terbuka lebar dan iler berlelehan. Orang-orang dari negara maju (atau Jepang) juga ada yang tidur satu dua, tetapi setidaknya tidur mereka kelihatannya lebih beradab. Tubuh mereka biasanya masih tegak, walaupun kepala mereka jatuh sekali-sekali. Tapi kalau kita perhatikan seksama seolah-olah tidurpun mereka serius (dahi mereka kebanyakan berkernyit, tidak seperti orang Indonesia yang tidur, dahinya polos sekali seolah tidak pernah berpikir apa-apa).

Meja makan lipat tidak pernah dibuka kecuali ketika pramugari menyenggol tubuhnya sedikit sambil menawarkan pilihan makanan (atau kalau aroma makanan sudah mulai tercium, berarti makanan sudah datang). Begitu bangun, dengan tenang mereka menyeka liurnya dan menegakkan badan karena mau makan. Mereka semangat sekali kalau mau makan. Dengan cepat makanan tandas, walaupun sebelum naik kapal terbang sudah makan (bahkan makan lagi di Executive Lounge sebelum menuju ke waving gallery) Orang-orang bule banyak yang tidak makan kalau memang mereka sudah makan sebelumnya sebelum terbang. Bukan cuma di Indonesia, di penerbangan-penerbangan di negara merekapun mereka punya kebiasaan itu. Paling cuma minum anggurnya.
Cara makan orang Indonesiapun penuh kecuekan. Dessert bisa disikat duluan, baru menu utamanya. Setelah makanan mau habis baru bingung di benaknya apa benar garpu di kanan pisau di kiri, apa justru terbalik? Entahlah.
Pokoknya apa yang sudah tersedia dimakan saja. Minum sikat saja, yang penting ada (minta) teh.
Lalu ritual penutupnya adalah mencongkeli sisa makanan di gigi dengan toothpicks yang biasanya dirobek dari bungkusannya. Dilakukan dengan penuh kelegaan dan kenikmatan sambil memandang keluar jendela yang cuma bisa melihat awan belaka, tidak ada pemandangan lain. Buranpun ada yang tidak malu-malu dengan kerasnya.
Kalau perjalanan masih jauh dan agak lama, bisa-bisa mereka tidur lagi sesudah makan kenyang. Untung sekarang tidak diberi kesempatan merokok.

Kalau saya pergi jauh ke benua lain (biasanya belasan jam perjalanan), sering saya perhatikan bahwa apabila telah sampai di negeri yang jauh, hal pertama yang dilakukan teman-teman orang Indonesia setelah check-in di hotel, adalah segera tidur lagi. Kalau esoknya ditanya kenapa langsung tidur, jawabnya, habis capek sekali sih perjalanan jauh. Padahal kemarin sepanjang perjalanan seingat saya mereka kebanyakan tidur!
Saya paling tidak betah seperti itu. Perjalanan jauh bagi saya adalah pengalaman yang amat mengasyikkan. Yang saya lakukan setelah check-in adalah justru keluar sesegera mungkin memanfaatkan sisa waktu yang ada hari itu untuk berjalan kemanapun saya mau (biasanya langsung ke Concierge/Reception counter, minta map, lalu jalan). Saya selalu merasa rugi, sudah datang jauh-jauh kok malah tidur.

Sekali saya memimpin suatu acara libur tengah tahun (panas) bersama dari perusahaan saya, di Anyer. Acara ini sifatnya internasional karena selain seluruh karyawan kami sekantor dengan keluarga masing-masing, juga disertai sejumlah teman counter-part kami yang berasal dari Perancis beserta keluarga mereka masing-masing juga (banyak ekspatriat waktu itu membawa keluarga ke Indonesia).
Kami berangkat dari Jakarta dengan armada sejumlah bus tour besar yang bagus-bagus. Seperti biasa, di bus walaupun sudah dibaurkan komposisinya (orang Indonesia dibaurkan dengan orang Perancis), kebanyakan orang Indonesia tidur! Sementara keluarga-keluarga Perancis bercanda dan ada yang bernyanyi dengan begitu senang (sepengamatan saya orang-orang dari negeri maju itu kalau liburan betul-betul all out). Di buspun orang-orang bule itu ada yang sudah bercelana pendek dan baju kaos yang siap dibuka kalau nanti sampai. Alas kaki mereka kebanyakan sepatu olah raga, ada yang cuma pakai sendal. Kontras dengan keluarga Indonesia ada yang pakai jaket tebal (mungkin takut kedinginan nanti di bus), dan ada banyak ibu-ibu berdandan dan berpakaian seperti mau ke pesta (pakai hak tinggi lagi).

Begitu tiba, kami check-in di sebuah kompleks hotel yang pada saat itu terbesar di Anyer. Semua kamar telah kami book. Telah diumumkan berkali-kali dan dinyatakan pula di buku acara yang dibagikan ketika bus mulai berangkat, bahwa setelah barang-barang diletakkan di kamar masing-masing, semua peserta harus segera datang dan berkumpul kembali di restoran utama untuk makan siang bersama.
Semua teman Perancis dan keluarganya telah berkumpul di restoran menunggu. Keluarga-keluarga Indonesia hanya segelintir yang datang. Ditunggu-tunggu sudah lebih dari sejam. Pengumuman dari pengeras suara berkali-kali menyampaikan agar segera semua keluar dari kamar masing-masing dan berkumpul di restoran utama. Tapi pengumuman itu semua seolah tidak ada gunanya.

Sebagai penanggungjawab acara, mulailah saya mendatangi kamar-kamar satu persatu. Mau tahu? Kebanyakan keluarga Indonesia memilih tidur (ngamar)!
Banyak yang bilang, Habis di luar udaranya panas sih (udara pantai musim panas), di kamar kan dingin!
Susah payahlah saya membujuk masing-masing keluarga dengan mengingatkan bahwa bila makan siang kita terlambat maka acara-acara lain yang disusunpun akan terlambat.
Akhirnya barulah mereka berdatangan untuk makan walaupun ogah-ogahan.
Teman-teman Perancis menggeleng-geleng kepala seraya bergumam, Kalau memang cuma mau tidur ngapain datang berlibur jauh-jauh ke Anyer?

Sore jam 16 direncanakan semua orang menuju berbagai venue untuk berolahraga (basket, volley, sepakbola, bulutangkis, dsb.). Di luar dugaan, hujan turun! Maka agak paniklah kami panitia untuk mengimprovisasi acara. Akhirnya karena terinspirasi semangat para bule untuk terus bermain sepakbola dan volley walau hujan atau bermain bowling dan snookers (ada pula yang bermain polo air di kolam renang walau hujan), kami usahakan sebanyak mungkin orang mau tetap main/berolahraga walau hujan.
Betapa kagetnya, keluarga-keluarga Indonesia di setiap tempat terbuka sudah tinggal segelintir saja. Kebanyakan sudah hilang entah kemana.
Selidik-punya selidik, rupanya mereka kebanyakan sudah pulang kembali ke kamar masing-masing untuk, ................tidur lagi!

Setengah mati lagi saya pada jam 19 malam mendatangi setiap kamar (hujan agak rintik-rintik) agar mau datang ke restoran utama lagi untuk makan malam bersama. Itupun banyak yang bersuara keras (nada tinggi) meminta kalau bisa makanannya dikirim saja ke kamar masing-masing.

Itulah sebagian yang saya tuliskan tentang "nafsu" besarnya orang Indonesia untuk tidur. Alangkah santainya bangsaku ini. Tidak pernah mudah untuk memanfaatkan waktu. Sulit untuk sedikit lebih "berbudaya". Selalu tidak mudah untuk bekerjasama demi kebaikan (lebih membawa segala hal hanya untuk kepentingannya). Susah sekali untuk praktis. Keras kepala, dan merasa pintar sendiri. Tidak mau belajar, padahal sudah jelas melihat contoh yang lebih baik. Dsb, dsb, .....

Semoga bangsaku bisa menyadari hal ini, dan berubah.
Michael E. Porter dari Harvard Univ dalam kedatangan terakhirnya ke Jakarta berkata bahwa krisis di Indonesia akarnya adalah Kontra Produktivitas (walaupun dikemas dalam kata-kata yang sedikit lebih halus).

Hiduplah tanahku, hiduplah negriku.
Bangsaku, rakyatku, semuanya.
Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya
untuk Indonesia Raya .........................

No comments:

Post a Comment