Sunday, April 5, 2009

Huru hara II di KBB 45

Di KBB 45 ada kantin. Kantin itu bagus sekali. Kita senang sekali memiliki kantin yang bagus seperti itu. Di luar kantin disediakan tempat makan yang disusun dengan baik. Ada sejumlah meja dengan kursi-kursi memadai. Ditata dengan apik. Pokoknya enaklah.
Makanan yang disediakan walaupun tidak banyak tapi enak-enak. Favoritku adalah nasi dengan ayam opor. Biasanya disajikan panas. Sedaplah.

Penjaga kantin, sekaligus semacam pengurus harian dari KBB 45 (ditempatkan oleh pemilik tempat kost) kebetulan seorang laki-laki yang agak kemayu/banci. Secara alamiah, karena kami semua laki-laki agak seringlah kami meledek dia.
Sebenarnya aku tidak termasuk suka meledek dia. Biasa sajalah. Tapi dia memang selalu berusaha untuk dekat dengan semua kami.

Suatu hari sudah agak larut malam. Suasana agak hening. Aku belajar di kamarku karena ada midtest yang cukup berat. Cukup konsentrasi aku saat itu. Memang agak kudengar sedikit suara di salah satu kamar di atas. Pikirku, barangkali ada sejumlah teman sudah selesai belajar, jadi agak bersantai main kartu atau main apalah di atas sana.
Waktu itu kami masih belum lama selesai menjalani plonco. Jadi semua kami yang tingkat I masih botak, atau berkepala yang baru ditumbuhi rambut pendek/halus.

Tiba-tiba kamarku diketuk. Dari dalam kudengar suara si penjaga kantin mengetuk dari luar memanggil-manggil namaku dengan genit. Aku agak malas ngomong sama dia karena sedang konsentrasi. Kusibakkan saja gordijn jendelaku lalu tanpa membuka pintu kutanya padanya ada apa.
Lalu dia menjawab bahwa ada tamu. Katanya dia tidak kenal. Dia berbicara sambil agak-agak menahan ketawa, membuat aku agak merasa aneh.
Aku agak heran, kok mendekati jam 10 malam ada orang bertamu kepadaku.
Karena malas keluar, agak sedikit gusar (karena sedang konsentrasi belajar) kukatakan pada penjaga kantin itu, Mengapa tamu itu tidak disuruh datang saja langsung ke kamarku?
Lalu dijawab, Dia ngga mau. Dia tunggu di sana (ruang tamu) katanya. Akhirnya dengan enggan kuraih jaket, lalu kubuka pintu. Setelah itu aku berjalan ke ruang tamu (di lantai bawah, dekat kantin). Si penjaga kantin mengikuti di belakangku, sambil agak senyum-senyum mencurigakan.

Karena kulihat tidak ada orang di ruang tamu, aku menengok ke belakang bertanya pada si penjaga kantin, Di mana? Kok tidak ada orang? tanyaku.
Oh, dia tadi kayanya naik ke atas, jawab si penjaga kantin. Di atas mana? tanyaku lagi. Di atas, di depan..., jawabnya lagi. Tapi dia agak-agak menahan ketawa.
Aku sejurus melihat ke dia. Mau kutanya apa dia mempermainkan aku. Tiba-tiba dia berubah serius, lalu mengatakan tadi memang ada tamuku, dan dia yakin tamu itu menunggu di salah satu tempat di depan kamar di atas yang menghadap ke jalan.
Lalu aku berjalan naik tangga menuju tempat di atas yang dimaksud. Sesampainya di atas, mendekati tempat yang dimaksud, aku melihat seseorang sedang duduk melihat ke jalan. Tangannya bersilang dan bertumpu pada pagar di depan salah satu kamar yang biasanya ditempati seseorang teman kost yang tidak kuliah di tempat kami kebanyakan (universitas lain).
Agak aneh kurasa bahwa cara berpakaian orang ini tidak biasa, tapi memang karena agak malam jadi tidak terlihat jelas.

Ketika kutanya dengan sopan siapa dia, betapa kagetnya aku ketika dia menoleh ke arahku dia tersenyum menyeringai, rupanya dia seorang banci! Aku langsung berbalik arah bermaksud pulang ke kamarku secepatnya melalui jembatan penghubung antar bangunan dan turun di tangga yang dekat dengan kamarku.

Sementara itu kudengar di bawah sana si penjaga kantin tertawa-tawa. Jelas menertawai aku. Ketika kulewati jembatan penghubung antar bangunan, kulihat dia ketawa keras-keras. Senang sekali dia rupanya mempermainkan aku. Entah siapa banci yang ada di depan itu. Akupun bingung dari mana dan untuk apa dia ada di tempat kost kami. Tapi aku tidak mau ambil pusing. Dengan agak geram aku berjalan terus.
Tetapi di tengah perjalanan itu, karena kudengar ada suara-suara di kamar Micky, kuputuskan memasuki kamar Micky. Pintu tidak terkunci. Ternyata di dalam seingatku ada Rowin, Micky dan Putranto sedang bermain Risk (sejenis permainan keberanian memutuskan untuk menguasai daerah/dunia). Mereka bermain serius. Senang mereka aku datang. Masih berdiri aku berujar, Sialan Gua ditipu (si penjaga kantin)!
Serentak kawan-kawan itu menjawab, Banci ya? Lalu kawan-kawan itu serentak pula meneruskan, Kami juga ditipunya!
Wah ... wah ... wah ... kata kami (berdiskusi). Lalu satu sama lain melanjutkan, Tapi gila ya orangnya gede banget. Ngeri lagi, kata kami. Lalu kami ketawa-ketawa juga.
Ayo Rul, main! kata teman-teman. Tapi kujawab, Aku ngga lah. Masih ada yang mau kupelajari, kataku. Sorry ya, kataku lagi sambil melangkah mau membuka pintu dan pulang ke kamarku.

Betapa kagetnya aku ketika pintu kubuka, banci itu sudah ada di depan pintu dengan muka kencang. Langsung aku masuk lagi dan mengunci pintu. Sambil membelakangi pintu yang sudah terkunci, aku berkata (ketakutan), Bancinya ada di depan pintu! Barangkali dia akhirnya marah karena beberapa kali didatangi oleh kami yang ditipu dan diiringi ketawa-ketawa ngga karuan dari si penjaga kantin (yang kebetulan sejenis dengan dia).

Dalam hanya ukuran detik Rowin berlari ke jendela menutup jendela secepatnya. Micky langsung menarik gordijn. Putranto langsung mematikan lampu.
Di depan pintu mulailah banci itu menggedor-gedor pintu minta dibukakan pintu itu. Sumpah serapahnya langsung berhamburan. Katanya antara lain, Sialan Lu semua. Lu kira gua banci jalanan ya, dst.

Lalu aku berlari ke arah pintu kamar mandi untuk ngumpet. Putranto langsung melompat ke bawah tempat tidur, lalu diikuti oleh Rowin dan Micky. Di bawah tempat tidur Micky ada speaker audio systemnya. Kepala Putranto yang botak rupanya langsung menabrak sudut speaker. Dia berteriak mengaduh. Rowin dan Micky yang datang belakangan menyeruduk pantat Putranto pula dengan kepala-kepala mereka yang botak. Lalu kami bertiga ketawa sejadi-jadinya.
Putranto meringis karena kepalanya terantuk speaker, pantatnya diseruduk dua kepala botak. Tapi akhirnya ikut ketawa keras juga.

Ketawa-ketawa kami di dalam kamar yang sudah gelap itu rupanya makin membangkitkan amarah banci yang di depan pintu. Pukulannya ke pintu semakin keras (bukankah tenaganya tenaga laki-laki?). Makiannya sudah semakin keras dan kotor.
Akhirnya kami berempat diam saja, menahan mulut kami.

Gedoran demi gedoran rasanya sebentar lagi akan menjebol pintu kamar Micky. Ada dia mengatakan, Gua tembak lu semua!
Terus terang kami sudah menjadi agak takut, apa maksudnya mau menembak kami?
Lalu kami dengar di luar orang sudah ramai berdatangan, pastilah semua teman lain. Lalu terdengar suara senior kami Antony Marbun dan teman-teman lain mencoba menenangkan si banci.
Sudahlah, kata Bang Antony. Masa Lu musti urusin anak-anak kecil, lanjut Bang Antony.
Si banci menjawab, Apanya yang kecil?! Kepalanya doang botak, ............ (maaf saya sensor) nya semua udah pada gede tuh! Musti gua hancurin mereka semua, katanya lanjut.

Adalah hampir sejam kami dicekam ketakutan di kamar itu. Bang Antony dan teman-teman lain terus membujuk si banci. Akhirnya pergi juga dia, walaupun sempat melontarkan lagi kata-kata perpisahan: Gua dateng lagi bentaran. Gua bawa orang setasion, katanya.

Sesudah keadaan tenang, semua teman dan Bang Antony di luar memanggil kami keluar. Kami berempat keluar dengan sedikit agak lega.

Bang Antony mengatakan bahwa si banci tadi memang mengeluarkan sebuah pistol dari tasnya. Hanya kesabaran dan "usapan-usapan" Bang Antonylah rupanya yang meluruhkan amarahnya. Jago juga si Bang Antony menemukan "kelemahan"nya.

Demikianlah malam itu aku tidak berani tidur di kamarku (karena tadi hanya aku yang dilihat si banci ketika aku buka pintu). Aku ganti baju dan tidur di kamar Yanto yang baik.
Semua kami satu kost dalam keadaan siap kalau benar si banci datang lagi dan benar membawa orang stasion.

Aku tidak bisa tidur (banyak juga teman lain). Berjaga-jaga sambil pegang besi/pentungan pemukul (sisa bangunan).

Kasihan memang mereka yang kita sebut "tidak normal" ini. Mereka sering jadi sasaran ledekan karena gaya dan cara bicaranya. Disengaja ataupun tidak.
Heaven knows!

No comments:

Post a Comment