Thursday, April 2, 2009

Erik

Erick (Erik) adalah kawan baikku juga di tingkat I. Semua kami di T06 mengenal Erik sebagai seorang kawan yang baik hati. Orangnya periang, optimistis, santai dan pengawan. Tubuhnya berotot bagus, atletis dan geraknya lincah.
Sekali sepulang sekolah aku menanyakan padanya apakah olahraganya. Dengan santainya dia jawab bahwa dia senang bermain volleyball. Wah karena akupun senang main volley maka kukatakan senang sekali kalau kita bisa bermain bersama.

Di awal kuliah Erik sering datang ke tempat kostku yang terletak di Jl. Kebon Bibit Barat No. 45. Kami yang tinggal di situ menyebut diri kami Kelompok KBB 45.
Sering Erik datang untuk belajar bersama di kamar kostku.
Dalam kedatangan-kedatangannya tentu kami juga bercerita dan berdiskusi tentang banyak hal. Erik yang keturunan Kawanua adalah seorang teman bicara yang baik. Dia bisa mengimbangi pikiran kita dengan baik. Segala hal yang menarik perhatian kami, kami bicarakan dan obrolkan. Mulai dari politik, pemerintahan dan lain sebagainya sampai ke olahraga.

Sekali kami membicarakan topik seputar olahraga beladiri. Aku kebetulan seorang yang amat menyukai dan mengamati banyak hal. Senang sekali aku memotret dalam hatiku banyak hal yang menarik perhatianku. Biasanya orang senang dan menikmati sekali ketika aku mengeluarkan lagi apa yang ada di hatiku itu.
Begitulah mulai dari membicarakan soal tinju. Aku pengamat tinju sudah lama. Dengan fasih aku dapat meretrieve banyak fakta tentang tinju, apalagi kelas berat. Padahal kebanyakan itu kudapatkan dari bacaan atau menonton televisi/rekaman dokumenter. Aku dengan senang akan menceritakan tentang Jack Dempsey, Rocky Marciano, Max Baer sampai kepada Joe Louis. Aku ceritakan kehebatan mereka masing-masing. Selain aku ceritakan pula Jack Dempsey yang bisa sekali pukul membengkokkan tiang listrik dari besi. Rocky Marciano memecahkan kepala banteng aduan. Joe Louis (AS) mematahkan tulang rusuk Max Scmelling (Jerman) di sekitar Perang Dunia ke II.
Apalagi tentang petinju-petinju seputar jaman remajaku seperti Mohammad Ali yang bisa kuperagakan dengan baik gaya "float like a butterfly and sting like a bee"nya, atau gaya "rope a dope"nya, bahkan ducking, weavingnya. Belum lagi jab, counter dan hook/long hooknya yang dilontarkan sambil mengejek lawannya. George Foremanpun agak bisa kutirukan gayanya. Joe Frazier, Floyd Patterson, Oscar Bonavena dll kutahu sekali gayanya.

Mengimbangi cerita-ceritaku Erik sangat menyukainya. Itu terlihat sekali dari pancaran matanya yang menyatakan kesukaannya. Kami berdiskusi dalam sekali dalam hal ini.

Pembicaraan bergeser ke beladiri. Mulailah kami bicarakan tentang Judo, Tae Kwon Do bahkan sampai kepada Karate. Kebetulan yang kuketahuipun ada jugalah tentang beberapa jenis beladiri ini. Aku tahu bahkan sampai pada kembangan pukulan intinya perbedaan Karate Non Contact dan Full Body Contact. Akupun agak tahu sampai ke beberapa gerakannya perbedaan gaya pukul Lemkari, Inkai sampai ke Kyokushinkai.
Salah satu yang sangat menarik perhatian Erik adalah ketika aku memeragakan bagaimana juara dunia karate Non Contact waktu itu memenangkan finalnya yang gemilang. Aku memeragakan bagaimana dari gerakan siapnya (awal pertandingan), dengan satu gerakan harmonis memasukkan satu kali saja pukulan langsung ke ulu hati lawannya, lalu langsung kembali ke posisi siap dan menang Ippon (kemenangan KO sempurna, seperti skak mat dalam catur).

Beberapa kali adegan ini kami ulangi. Erik memeragakan lawan yang dikalahkan dan aku memerankan sang juara dunia. Hal ini kukuasai benar karena aku melihat film rekaman pertandingan itu, di mana gerakan itu berulang kali diputar dalam gerakan lambat.
Erik berkali-kali meminta aku menjelaskan kembali gerakan itu. Beberapa kali dia menggeleng-gelengkan kepala menyatakan kekagumannya akan gerakan itu. (Sering Erik curiga bahwa aku disangkanya seorang karateka. Padahal kubilang aku hanya seorang pencinta karate dan pengamat)
Semua itu kami lakukan di kamar kostku di KBB 45 itu.

Sekali waktu datanglah libur panjang. Banyak kami kembali ke kota masing-masing. Setahuku Erik berasal dari Surabaya tapi sudah cukup lama tinggal di Bandung sebelum masuk ke ITB.
Waktu libur itu sedang dilangsungkan PON (Pekan Olah Raga Nasional). Di tengah libur ada beberapa kali aku memutar TV untuk melihat beberapa tayang langsung dari berbagai arena. Tak kusangka suatu saat disiarkanlah final karate untuk kelas berat (kalau tidak salah). Dalam karate kelas dinyatakan dalam ukuran berat (satuan kg berat). Penyiar mengumumkan bahwa salah seorang yang akan tampil di final adalah karateka dari Jawa Barat, bernama Arnold Frederick Lumanauw. Betapa kagetnya aku, karena setahuku itu adalah nama panjang dari Erik, temanku.

Ketika dia disorot, ternyata betullah bahwa karateka dari Jabar itu adalah Erik sahabatku. Dia penyandang Black Belt. Astaga malunya aku bahwa selama ini aku sok tahu di depan seorang juara karate nasional. Aku benar-benar terkelabui. Dan bukan aku saja, ternyata banyak juga teman sekelas yang tidak tahu bahwa Erik adalah salah seorang juara karate nasional. (Erik sempat beberapa kali mewakili Indonesia ke event internasional karate, termasuk Olimpiade)
Bisa dibayangkan bagaimana sumpah serapahku waktu ketemu lagi dengan dia di kuliah setelah libur itu bukan? Yang jelas kata "sialan" pastilah beberapa kali keluar.

Itulah Erik yang benar-benar rendah hati. Sampai kepada aku sahabatnyapun dia tidak perlu untuk membangga-banggakan diri. Aku dan semua teman sangat bangga memiliki seorang teman yang jagoan tapi rendah hati ini. Bahkan ketika dikonfrontirpun dia hanya senyum-senyum saja.

Sekali waktu kelas kami dikepung sejumlah senior dari salah satu jurusan yang punya masalah dengan salah seorang teman kami. Kami semua siap untuk membela teman kami itu. Erikpun ikut menemani, tetapi dia selalu tenang dan mengatakan sedapat mungkin tidak perlu kita berkelahi. Di suatu tempat yang sudah dijanjikan, kami semua datang untuk menemani teman kami yang bermasalah itu. Di antara kami Erik duduk saja berjongkok dengan tenang di salah satu sudut.
Ketika senior-senior sudah datang mengepung dalam jumlah banyak, pemimpinnya begitu sombong menantang kami. Kelihatannya mereka tukang-tukang pukul juga. Sambil mengelilingi kami satu persatu dia menantang-nantang kami. Betapa kagetnya dia melihat salah seorang dari kami yang duduk jongkok dari tadi melihat ke bawah (tanah) tanpa suara.
Eh, Elu Rik!, kata senior itu kaget. Iya, jawab Erik tersenyum.
Waaah, Gua kagak tau Lu dari tadi di sini, kata senior itu kemudian. Kontan senior itu ikut jongkok dan berubah jadi seperti orang paling baik hati di seluruh dunia dan berbicara sopan sekali dengan Erik.
Sore itu senior-senior itu pulang tanpa ada perkelahian dengan pihak kami. Belakangan baru saya tahu bahwa pemimpinnya itu juga seorang karateka, tapi kemampuannya masih di bawah Erik.

Kontras sekali bukan, yang mana yang juara sejati dan yang mana yang macan ompong?

No comments:

Post a Comment