Sunday, April 26, 2009

Terbang Bandung-Jakarta

Dalam beberapa perjalanan naik kapal terbang, ada sejumlah peristiwa menarik yang kualami. Salah satunya seperti di bawah ini.

Untuk pertama kali aku naik kapal terbang dari Bandung ke Jakarta. Itu adalah perjalanan yang tidak terlalu terpikirkan akan pernah kulakukan. Jakarta-Bandung adalah jarak yang tidak terlalu jauh. Sekian tahun aku menjadi mahasiswa di Bandung kebanyakan aku memakai ka Parahyangan sebagai transportasi utama.
Ketika jalan tol belum ada biasanya pilihan siapapun kita yang akan pergi-pulang ke Bandung akan naik mobil dengan 2 alternatif utama jaman dulu yaitu lewat Jl. Raya Bogor Lama atau lewat Parung.
Setelah jalan tol Jagorawi selesai maka ada 1 alternatif lagi yaitu lewat Jagorawi dan melalui Puncak. Sekarang setelah Jl. Tol Cikampek disambungkan langsung ke Bandung, tentulah perjalanan menjadi sangat cepat (hanya sekitar 1,5 - 2 jam). Ini sungguh luar biasa kalau dibandingkan masa paling baheula yang silam di mana ke Bandung bisa memakan waktu 7-10 jam.

Waktu itu aku berdua dengan kawan kantorku, Andy Natanael Manik. Kami baru menyelesaikan suatu tugas di Bandung dan ingin pulang agak cepat ke Jakarta. Dengan ide yang melintas saja di kepala kami, kami memutuskan naik kapal terbang supaya cepat sampai di Jakarta. Kami start dari Husein Sastranegara di Bandung. Andy yang mencetuskannya ketika kami meninggalkan kantor klien kami. "Bagaimana kalau kita naik kapal terbang saja pulang supaya cepat sampai ke kantor Bang?", katanya. Dia memang selalu memanggil aku abangnya. Akupun sangat setuju.

Lucu rasanya, sekian tahun di Bandung dan sering ada sejumlah kegiatan sekitar lap terbang di Bandung, tapi baru sekali itu naik kapal terbang dari Bandung. Khusus bagiku lebih berarti rasanya, karena lap terbang ini dekat dengan Jl. Pajajaran, jalan panjang yang dituju oleh tukang becakku ketika kami bermaksud ke Unpad pada awal masa tinggalku di Bandung. (Lihat tulisanku Tgl 7 Maret 2009, "Naik becak ke Universitas Pajajaran")

Kapal terbangnya CN 235. Untuk kedua kalinya jenis pesawat ini kupakai (yang pertama ketika kami dari Ujung Pandang/Makassar menuju Pomalaa/Sulawesi Tenggara). Perjalanan udara ternyata begitu singkat, hanya sekitar 15 menit. Dalam waktu sesingkat itu kami telah mendarat lagi di lap terbang Halim Perdana Kusumah, Jakarta. Di sana supir dan mobil kantor kami masing-masing telah siap menjemput dan membawa kami langsung ke kantor.

Itulah uniknya perjalanan itu. Dari kantor klien kami yang cukup jauh (untuk ukuran Bandung) di sekitar Ujung Berung ke lap terbang Husein S. diperlukan sejumlah waktu karena siang itu traffic cukup padat di sekitar Jl. Pahlawan dan juga di sekitar Jl. Pajajaran/Andir. Untuk membeli tiket kemudian menunggu untuk naik ke pesawat juga membutuhkan sejumlah waktu. Ketika kami sampai di Halim PK Jakarta menuju kantor, juga makan waktu karena agak macet. Padahal komponen perjalanan terjauh (Bandung-Jakarta) justru berlangsung cuma 15 menit. Sebentar saja kami take off, lalu sudah turun lagi.

Waktu itu belum banyak orang memiliki handphone. Sebagai eksekutif di perusahaan kami, saat itu perusahaan belum membekali kami dengan hp. Hp pun waktu itu masih sangat mahal. Terlalu mahal untuk kami beli secara pribadi.

Yang duduk di depan kami di pesawat ternyata adalah orang yang sejak di ruang tunggu di Husein S. telah memakai-makai hp. Lumayanlah petantang-petentengnya dia. Maklum waktu itu pemakai hp masih langka. Dari penampilannya kelihatannya dia seorang eksekutif muda perusahaan swasta. Badannya cukup tegap. Tangan kanan memegang hp, tangan kiri menenteng tas kerja tipis.
Ketika pesawat berjalan, stewardess memeragakan petunjuk keselamatan terbang. Tapi kami lihat orang yang punya hp itu terus masih ngobrol menggunakan hpnya. Bahkan sampai ketika stewardess mengatakan agar semua peralatan elektronik termasuk hp harus dimatikan karena akan mengganggu sistem navigasi penerbangan, dia masih belum juga mematikan hpnya.
Hal ini membuat kami berdua kesal. Selain mungkin kami juga sebenarnya cemburu karena belum punya hp, perasaan kami yang tadinya masih agak cuek lihat orang terus bicara dengan hp berubah menjadi kesal. Norak orang ini, pikir kami. Mungkin dasar orang kaya baru, pikir kami.

Ketika pesawat sudah dalam posisi standby dan dalam beberapa saat akan dipacu untuk terbang, Andy yang sudah kesal betul nampaknya berkata kepadaku: "Yang macam ginilah bikin aku palak, Bang" katanya. "Palak" dalam bahasa Medan berarti kesal sekali/keki.
Bagaimana kalau kutegor si goblok ini Bang?, lanjutnya. Karena mengingat keselamatan terbang maka aku menjawab, "Tegorlah Dek". Lalu Andy memanjangkan badan dan lehernya ke depan menghardik orang di depannya itu, "Hey! katanya. Matikan hpmu itu!"
Agak kaget tapi cuek orang itu cuma memandang sebentar ke belakang di mana empat buah bola mata kami sudah memandang dengan kesal kepadanya.

Tidak disangka, orang itu berbalik lagi dan masih terus memakai hpnya! Makin marahlah si Andy. Bagaimana Bang, kutumbuklah orang ini? katanya. (Kutumbuk dalam bahasa Medan artinya kutonjok). Cepat nalarku memberi komando ke mulutku yang dengan geram berkata, "Memang gila ini orang!"

Selanjutnya terjadilah hal yang tak disangka. Andy melepas seatbeltnya, lalu berdiri, dan dari belakang langsung dijitaknya kepala eksekutif muda gila itu dengan keras.
Orang itu kaget dan melihat ke belakang, tapi bertumbukan mata dengan 4 bola mata nanar penuh amarah. Lalu Andy bilang, "Kau mau bikin mati kita semua?! Mau kuhantam lagi kau?!" kata Andy.
Mendengar bentakan keras Andy dan tak kuat melihat mata-mata kami yang sudah memiliki ukuran diameter di atas normal, barulah nampaknya dia kecut dan mematikan hpnya.

Kapal terbang memacu, Andy terduduk dan memasang seatbeltnya. Lalu sejenak kemudian kami sudah di udara, melihat bendungan Jatiluhur sebentar dari atas, lalu mendengar pengumuman akan turun lagi di Halim PK.

Sampai kami turun tidak sedikitpun eksekutif muda yang sok itu berani melihat kepada kami.

No comments:

Post a Comment