Wednesday, April 1, 2009

Hanya sendirian diterima

Sebagai cadangan untuk masuk perguruan tinggi 30 tahun silam, saya juga mendaftar di fakultas teknik dari sebuah universitas swasta yang cukup ternama di Bandung. Univ ini merangsang minat saya karena ada di Bandung (kota yang amat saya sukai), dan SPP awal yang diminta waktu itu paling murah untuk ukuran univ swasta paling top di Indonesia.

Sebenarnya melalui jalur Proyek Perintis II (tanpa test) saya telah diterima dan diundang untuk masuk di Institut Pertanian yang terkenal di kota Bogor. Tapi karena saya kurang berminat pada bidang pertanian, maka undangan itu saya lepas. Lalu saya mengikuti ujian Proyek Perintis I yang merupakan pertarungan untuk 5 buah perguruan tinggi paling ternama di Indonesia (UI, ITB, IPB, UGM & ITS). PP I adalah sebuah ujian masuk dengan kompetisi bebas, jadi keputusan saya melepas PP II dari IPB tentulah sebuah tindakan "gambling".

Di univ swasta ternama yang di Bandung ini ada dua jurusan teknik (pada saat itu) yang dikenal sebagai jurusan teknik yang cukup baik dan ternama. Yang paling terkenal adalah jurusan Arsitekturnya dan yang satu lagi jurusan Sipil.
Karena saya merasa kurang mahir dalam menggambar teknik maka saya mendaftar untuk jurusan Sipil.

Banyak kami, yang berasal dari SMA St. Theresia Jakarta datang untuk mendaftar juga di univ tsb. Karena banyaknya yang berangkat, rasanya kami mengisi satu gerbong penuh di KA Parahyangan berangkat ke Bandung. Kami datang dua malam sebelum ujian diadakan. Jadi masih ada waktu untuk belajar bersama, sambil sight seeing di kota Bandung.

Kami tinggal di beberapa tempat. Khusus di tempat saya menginap (di SeskoAD, Jl. Gatot Subroto, karena komandannya adalah kawan baik ayah dan masih terhitung saudara), tinggal juga beberapa kawan.

Kami berhasil mendapatkan beberapa soal ujian tahun-tahun sebelumnya. Soal-soal tahun sebelumnya ternyata sangat berat (lebih berat dari ujian masuk PTN). Jenisnya selalu essay, jadi harus dikerjakan dengan baik. Analisisnya tentu sangat menentukan, tidak memungkinkan untuk sekedar menebak (seperti pilihan ganda di ujian masuk PTN).

Di tempat kami menginap masing-masing, terasa sekali upaya keras dikerahkan oleh setiap kami. Terutama untuk soal-soal bagi calon mahasiswa Sipil (bagi calon mhs Arsitektur ada ujian khusus menggambar teknik).
Paman saya (Komandan SeskoAD waktu itu/berpangkat Mayor Jenderal) sering melihat kami belajar. Sering dia geleng-geleng dan ketawa melihat kami begitu banyak jumlahnya datang ke Bandung, tapi cukup serius ketika belajar. Saya memanggil beliau "Tulang". Namanya EWP Tambunan. Dia sendiri mengajar di jurusan SosPol Universitas Pajajaran. Kelak dari posisi ini beliau dipromosikan menjadi Gubernur Sumatra Utara.

Betapa tidak beruntungnya saya rasakan waktu itu karena pada malam terakhir saya merasa tidak enak badan. Mungkin sekali karena ketika siangnya kami keluar jalan-jalan di Bandung terlalu banyak saya minum es.
Mendekati jam 20.00 malam badan saya terasa mulai menjadi hangat. Sekitar jam 21.00 saya berani memastikan bahwa suhu tubuh saya pasti telah cukup tinggi. Akhirnya tidak berapa lama kemudian saya mohon diri dari teman-teman yang sedang belajar di ruang tamu untuk tidur (setelah memakan obat), karena kepala saya sudah terasa berat sekali.

Keesokan harinya ketika bangun, syukurlah saya sudah merasa sehat kembali. Ketika sarapan sesudah mandi air panas, saya menanyakan sampai jam berapa teman-teman belajar tadi malam. Serentak mereka memberi berbagai jawaban menjelaskan serunya belajar tadi malam, bahkan sebagian besar ada yang tidur pagi (belajar sampai sekitar jam 3 pagi!).

Wah, wah ... pikir saya. Betapa siap-tempurnya tentunya semua teman ini, pikir saya. Agak saya sesalkan mengapa saya tidak sehat kemarin malam, tentulah persiapan saya kalah dibandingkan dengan teman-teman. Tetapi apa hendak dinyana, kepala saya sedemikian sakitnya semalam.

Berangkat pagi itu ke tempat ujian (waktu itu masih dilakukan di kantor univ yang terletak di Jalan Merdeka - sekarang sudah beberapa tahun ini saya rasa semua kegiatan telah dilakukan di kampus mereka di Jl. Ciumbeuleuit), hati saya agak gentar dan masih sedikit merasa bersalah karena tadi malam tidak belajar.

Ujian berlangsung sekian jam. Segala kemampuan saya kerahkan. Akhirnya habislah waktu dan ujian selesai. Kepala saya cukup pusing. Teman-teman juga kelihatan lelah tetapi cukup ceria.
Kami menghabiskan waktu hari itu berkeliling Bandung, untuk pulang lagi keesokan harinya ke Jakarta.
Pikiran saya banyak melayang ke ujian tadi. Berhasilkah saya? Kalaupun saya bisa mengerjakan ujian tadi, bagaimana posisi bersaing saya dengan teman-teman yang lebih siap dan lebih bisa mengerjakan semuanya? Alangkah kurang bertanggung-jawabnya saya kepada Ibu saya yang telah mengutus saya ke Bandung dengan mengerahkan uang yang tidak sedikit, padahal waktu itu Ibu dalam keadaan ekonomi yang sangat terbatas.

Bagitulah pengalaman ujian di univ swasta ternama yang di Bandung itu.
Waktu berlalu dalam penantian akan pengumuman ujian di beberapa perguruan tinggi sekitar sebulan sesudah rentetan ujian masuk perguruan tinggi.

Tidak disangka, beberapa waktu kemudian saya jatuh sakit pula di Jakarta dan harus diopname di RSPP Jl. Kyai Maja, Jakarta. Lagi-lagi karena panas tinggi.
Di kamar opname (untuk dua orang) datang bergabung ke sebelah saya beberapa hari setelah saya masuk, seorang senior. Belakangan setelah berkenalan, saya tahu bahwa dia adalah Rektor sebuah univ swasta cukup dikenal di Jakarta. Nama asli beliau Tan Goan Po. Dengan beliau kami sempat berdiskusi tentang banyak hal. Dia sempat bilang, kalau nanti saya tidak diterima di perguruan tinggi manapun, dengan senang hati saya akan diterimanya di univ swasta yang dipimpinnya.

Keluar dari rumah sakit pengumuman univ swasta yang di Bandung akan dilangsungkan. Kesehatan saya masih dalam pemulihan. Betapa shocknya saya melihat di koran, bahwa beberapa hari sesudah saya keluar dari RS, Rektor teman sekamar saya di RS itu telah meninggal dunia. Tidak dapat saya lupakan kebaikannya menawarkan tempat bagi saya.
Karena saya baru keluar dari rumah sakit, maka saya meminta seorang saudara sepupu/abang yang kuliah di ITB untuk melihat pengumuman di univ swasta di Merdeka/Ciumbeuleuit. Mengetahui maksud saya, maka sejumlah temanpun menitipkan nomornya untuk dilihat oleh abang saya itu.

Sejumlah nomor dibawa oleh abang saya menuju papan pengumuman. Betapa mengejutkannya, hanya saya yang diterima di univ tersebut!

Riuh rendahlah suasana kami di Jakarta mengetahui hal ini. Semua kami menggeleng-gelengkan kepala. Bagaimana mungkin saya yang justru malam terakhir tidak belajar justru masuk. Mereka yang mati-matian belajar sampai pagi justru tidak masuk.
Banyaklah analisa kami terhimpun. Ada yang mengatakan, justru karena tidurlah di malam terakhir itu maka saya merasa fresh mengerjakan soal-soal yang amat sulit di univ itu. Justru karena belajar sampai pagilah teman-teman tidak fresh lagi mengerjakan soal-soal yang berat itu.

Itulah pengalaman yang unik yang saya alami, di mana kami berangkat berbondong-bondong ke Bandung, hanya saya sendirian yang diterima di univ itu.
Beberapa saat kemudian ketika saya ke Bandung lagi, Tulang saya itu meminta saya "ngobrol" sampai malam di rumahnya. Dia terus tertawa dan menggeleng-gelengkan kepala, katanya: "Jadi teman-temanmu itu datang hanya untuk mengawal kamu rupanya".

Kemudian keluarlah pengumuman PP I. Ternyata sayapun diterima di perguruan tinggi yang saya cita-citakan. Akhirnya jurusan Sipil yang di univ swasta ternama di Bandung itupun saya lepas.

Itulah perjalanan hidup. Banyak analisa tentunya, tapi saya merasa bahwa semua itu adalah keputusan dan kemurahan dari Tuhan belaka.

Belakangan hari kemudian setelah umur saya bertambah, bahkan setelah saya menjadi dosen juga (setelah meninggalkan dunia kerja kantoran), bukan perguruan tingginya sebenarnya yang menjadi persoalan. Dalam maksud baik, semua perguruan tinggi yang saya sebut adalah perguruan tinggi yang baik adanya. Baik yang di PP I, maupun yang di PP II, demikian pula univ yang dipimpin almarhum teman sekamar saya di RS itu.

Yang penting sebenarnya adalah bagaimana semua lulusan mengembangkan dirinya pasca pendidikan yang telah dilalui.

No comments:

Post a Comment