Thursday, April 2, 2009

Ferry dan Agus

Ferry dan Agus adalah teman-teman tingkat I yang pernah tinggal bersama aku di Jl. Ciung Wanara 20.
Mereka datang bergabung setelah mendapat informasi dari aku. Ferry tinggal di kamar yang persis di sebelah kamarku. Agus jauh di kamar yang paling ujung. Di rumah kost itu ada 7 kamar. Masing-masing kamar diisi satu orang.

Rumah kami di CW 20 adalah rumah yang paling dekat dengan kampus. Tempat-tempat lain yang dekat dengan kampus adalah asrama-asrama, seperti Asrama B, Asrama F, Villa Merah dlsb. Tapi kalau rumah, yang terdekat dengan kampus adalah rumah kami. Berdekatan dengan rumah kami adalah asrama mahasiswa asal Bali, lalu tempat kost (cukup banyak kamarnya) di mana tinggal dua bersaudara terkenal Amir Sambodo dan Umar Djuoro.

Tapi karena dekatnya (paling-paling 5 menit berjalan kaki ke ruang kuliah), akulah yang paling sering terlambat masuk kelas.

Rumah ini kudapati kosong ketika aku mencari-cari tempat tinggal yang lebih dekat dari rumah kost sebelumnya di Jl. Kebon Bibit Barat No. 45. Ibuku selalu mendesakku agar mendapatkan rumah yang lebih dekat dengan kampus agar beliau lebih tenang di Jakarta.
Tadinya rumah kost ini adalah rumah kost putri. Karena lama kosong, jadi kamar-kamarnya cukup kotor. Belakangan baru kutahu bahwa rumah ini sudah lama tidak didatangi oleh pencari kost karena katanya banyak hantunya. Orang takut dan tidak mau tinggal kost di situ.
Semua saya tahu ketika saya sudah masuk dan membayar kost di situ. Secara manusia sempat juga aku agak takut ketika mulai tinggal di situ. Seorang diri pula. Tapi kuserahkan semuanya kepada Tuhan.
Setiap ada orang yang sudah lama di Bandung bertanya di mana aku tinggal dan kujawab di Jl. CW 20, Oh rumah yang ada hantunya itu ya? tanya orang. Udah pernah diganggu? tanya mereka pula.
Selalu kujawab, Tidak pernah. Barangkali hantunya takut sama orang Batak.

Sebenarnya rumah kost ini sangat cantik. Struktur dan dindingnya terbuat dari kayu, demikian pulan dengan lantainya. Terletak di lantai 2. Meskipun seperti diletakkan di atas rumah utama (masuk harus dari pintu samping dekat garasi), tetapi dalam kesehariannya kita tidak berkontak langsung dengan pemilik rumah.
Indah dan artistik tempat kost itu, bahkan kamarku kelak aku pilih yang berbentuk penthouse. Banyak orang senang dengan keindahan rumah ini. Karena dekatnya dengan kampus, rumah kami ini juga menjadi semacam pos untuk teman-teman yang belum mau pulang ke rumah masing-masing pada setiap harinya.

Ferry Tanzil dan Agus Kristianto adalah dua teman yang tertarik bergabung ke CW 20. Lalu ada lagi beberapa orang lain.
Ternyata Ferry dan Agus tidak akur. Ferry orangnya easy going dan supel. Agus orangnya serius walaupun bukan kaku sekali. Agus ini kelak menjadi mahasiswa angkatan kami dengan IP paling tinggi (980 dari maksimum 1000). Tidak ada yang menyaingi kerajinan dan kepintarannya. Semua orang yang terkenal pintar kalah angkanya dibandingkan dia. Sayang karena sifatnya yang tidak akomodatif, nasibnya di ITB hancur lebur (masuk Elektro, keluar, ujian lagi angkatan baru, masuk Sipil, dimusuhi kawan, dlsb.)

Di rumah, aku lebih berperan sebagai penengah bagi keduanya. Ferry benci sekali pada Agus yang sering membawa koran (iuran bersama) ke kamar dan tidak mengembalikan ke ruang tamu. Sudah ada perjanjian kami yang tinggal satu kost bahwa koran (yang dibayar dengan iuran bersama, demikian pula dengan makanan) harus dibaca di ruang tamu. Kalaupun mau dibaca sebentar harus cepat dikembalikan lagi ke ruang tamu.
Sering Ferry pulang ke rumah dan ingin makan di ruang makan, makanan habis. Usut punya usut ternyata Agus menyikat jatah Ferry. Kalau kencing di kamar mandi Agus sering tidak membersihkan/flushing.
Antar mereka tidak ada kontak. Akulah mediator mereka.
Pernah kutemui mereka hampir berkelahi. Ferry sudah sempat mengacungkan pisau roti ke leher Agus, di kamar makan.

Ketika suatu masa libur panjang datang, keduanya keluar dari CW 20. Biasanya kami pulang ke kota asal kami. Ferry ke Jakarta, Agus ke Semarang. Aku juga pulang ke Jakarta, tapi karena senang di CW 20, meski kosong kamarku tetap kubayar.

Ferry bercerita kepadaku ketika masa perkuliahan dimulai lagi dan semua mahasiswa telah kembali ke Bandung. Cukup sulit dia mencari kamar kost, apalagi Bandung makin padat mahasiswa dan tempat kost banyak yang penuh. Akhirnya di saat sudah agak sore dia mendapat satu kamar di dekat Jl. Pasteur. Pemilik rumah mengatakan hanya tinggal satu kamarnya yang masih kosong. Itupun untuk berdua. Pemilik minta maaf tempat tidurnya masih tempat tidur besar dan belum sempat membeli 2 tempat tidur kecil untuk 2 orang.

Ferry bertanya siapa orang yang satu lagi yang akan sekamar dengan dia nanti. Pemilik mengatakan mahasiswa ITB juga, baru tadi pagi masuk tapi sekarang sedang keluar sebentar. Barang-barang orang itu sudah diletakkan di kamar itu. Sebagian sudah disusun.
Ferrypun meletakkan semua barangnya, lalu keluar juga.

Sudah kebiasaan Ferry untuk pulang agak malam (kukenal kebiasaannya karena sekian lama kami bersama di CW 20). Hari itupun Ferry pulang larut malam. Dimasukinya kamar barunya yang gelap karena lampu kamar telah dimatikan oleh teman sekamarnya. Teman sekamarnya tampaknya sudah tidur lelap menghadap ke sisi luar tempat tidur.
Ferry merasa tidak enak untuk menghidupkan lampu kamar, apalagi membangunkan kawan setempat tidurnya. Diapun menarik selimutnya, menghadap ke sisi luar berlawanan dan mencoba tidur.

Sialnya kata Ferry, semalaman dia tidak bisa tidur karena bunyi jam model lama milik teman setempat tidurnya itu. Kata Ferry bunyinya tik-tok, tik-tok, dst. Jam itu tipe metal (warna perak, biasanya Made in China) yang diputar manual. Kalau alarmnya berbunyi, akan keras sekali bunyinya karena berbentuk 2 bel sepeda yang dipalu dengan palu metal pula. (Saudara pembaca pasti mengerti tipe apa maksudnya jam ini).
Belum lagi katanya kawan setempat tidurnya ini suka menarik-narik ke belakang selimut yang milik Ferry. Tangan itu bergerak ke belakang dengan lihainya melompati bantal guling yang sudah diletakkan Ferry sebagai batas antar kedua punggung mereka.

Tiba-tiba Ferry teringat teman/musuhnya dulu di CW 20, si Agus yang punya jam model begitu. Berkali-kali Ferry mencoba mengintip ke samping/belakang, jangan-jangan yang setempat tidur ini memang si Agus. Tapi Ferry gagal mengidentifikasi karena kamar gelap dan orang itu menghadap ke arah berlawanan.

Menjelang pagi barulah Ferry agak tertidur. Sial bagi Ferry tiba-tiba jam kurang ajar itu (kata-kata Ferry) berbunyi. Ferry menarik selimut menutup kuping dan kepalanya.
Dia mendengar orang di sebelahnya bangun, lalu beberapa saat kemudian di samping tempat tidur melakukan senam ringan.

Kali ini Ferry ingat betul, orang yang punya kebiasaan tidur cepat, bangun cepat dan senam ringan adalah Agus! Langsung Ferry bangkit dan berseru, Lu Agus ya?
Iya, jawab orang yang semalam setempat tidur dengan Ferry itu.
Sialan Lu, dari kemarin Gua curiga, tapi ngga bisa mastiin, kata Ferry. Agus malah terkekeh-kekeh.

Lalu Ferry bertanya, Dari kemaren Elu udah tahu Gua yang masuk di sebelah Lu?
Tahu, jawab Agus singkat. Gila Lu, kata Ferry.

Pagi itu juga Ferry langsung keluar dari rumah itu, mencari kost baru. Uang yang sudah dibayar direlakannya.

No comments:

Post a Comment